Sempat Merantau ke Jakarta untuk Mengadu Nasib, Ini Kisah Sukses Petani Lereng Sumbing
Walaupun warga asli Sukomakmur, namun Lihun merasakan betul bagaimana sulitnya merintis pekerjaan sebagai petani.

Walaupun warga asli Sukomakmur, namun Lihun merasakan betul bagaimana sulitnya merintis pekerjaan sebagai petani.

Sempat Merantau ke Jakarta untuk Mengadu Nasib, Ini Kisah Sukses Petani Lereng Sumbing
Negeri Sayur Sukomakmur, begitulah biasanya orang menyebut, merupakan sebuah kawasan pertanian dengan panorama indah di lereng Gunung Sumbing. Di dusun itu, tinggal seorang petani bernama Lihun.

Saat masih muda, Lihun sempat merantau ke Jakarta untuk mencari pekerjaan dan pengalaman. Saat itu orang tuanya sebenarnya telah meminta Lihun untuk melanjutkan aktivitas bertani saja. Tapi ia tidak mau. Setelah menikah pada tahun 2014, barulah Lihun tertarik terjun ke dunia pertanian.
“Kalau pas merantau sama kan nggak bisa kumpul sama keluarga. Tapi kalau sekarang di pertanian kan tiap hari, pagi, sore, malam, bisa kumpul bareng keluarga,” kata Lihun, mengutip YouTube Cap Capung.
Berikut selengkapnya:
Walaupun warga asli Sukomakmur, namun Lihun merasakan betul bagaimana sulitnya merintis pekerjaan sebagai petani. Ia kemudian belajar dari orang-orang yang lebih tua bagaimana cara bertani dengan baik dan benar.
“Jadi saya tanya-tanya tentang obat, tentang pupuk, dan lain sebagainya harus belajar terus. Jadi kalau hidup di pertanian itu nggak ada yang namanya nggak belajar,” kata Lihun.
Lihun butuh waktu lima tahun untuk belajar di bidang pertanian. Awalnya ia menanam daun bawang, dan sekarang ia menanam kentang. Salah satu tantangan terberat dalam bertani adalah, mereka menyediakan modal yang tinggi untuk masa tanam, namun saat panen, mereka mendapat hasil yang rendah.
“Kalau daerah-daerah lain panen kentang pada saat yang bersamaan otomatis harga kentang jadi murah. Memang takut rugi itu ada. Tapi kita nggak boleh takut. Kalau takut ya kita nggak bisa menanam lagi,” ujarnya.

Lihun mengeluhkan pembelian pupuk yang harus menggunakan kartu tani. Kalau tidak menggunakan kartu itu, petani harus membeli pupuk eceran yang harganya sangat mahal.

Selain itu, kendala berikutnya ada pada harga obat. Menurut Lihun, harga obat yang dijual untuk para petani Desa Sukomakmur terlalu mahal.
Untuk penjualan, di Desa Sukomakmur para petani sudah punya pembelinya sendiri. Mereka tidak bisa menjual langsung hasil panen mereka ke pasar karena kebanyakan memang tidak mampu.
Dalam satu tahun, biasanya para petani Desa Sukomakmur tiga kali panen dengan hasil panen beragam.
“Sekarang kita menanam kentang. Kalau kentang sudah dipanen kita menanamnya daun bawang,” kata Lihun.
Manfaatkan Kawasan Wisata
Lahan tempat Lihun bertani, Negeri Sayur Sukomakmur, kini jadi tempat wisata. Kawasan wisata dikelola warga sekitar. Status Desa Sukomakmur sebagai desa wisata sangat menguntungkan petani di sana.
“Dulu kebanyakan pemuda sini merantau ke Jakarta, ke Jogja, setelah ada wisata ini Alhamdulillah sekarang sudah di rumah semua,” kata Lihun.

Lihun mengatakan, dengan adanya kawasan wisata ini, para petani bisa menambah pendapatan dari penghasilan pengelolaan desa wisata.