Akhir Kejayaan Pabrik Arang Legendaris di DKI, Setop Operasi Buntut Biang Polusi
Sejak 1975 silam, ternyata pabrik arang itu sudah beroperasi di sana. Tetapi seiring padatnya penduduk di sana, keberadaan pabrik menjadi masalah.
Pabrik ini sudah dua kali mendapat teguran Dinas Lingkungan Hidup.
Akhir Kejayaan Pabrik Arang Legendaris di DKI, Setop Operasi Buntut Biang Polusi
Bedeng yang tersusun tinggi menyerupai sebuah bangunan hari ini terlihat sepi. Padahal sebelumnya, kawasan ini cukup ramai aktivitas.
Sepinya lokasi setelah Dinas Lingkungan Hidup melakukan penutupan operasional bedeng buntut keluhan polusi udara yang muncul.
Bedeng itu rupanya sebuah pabrik pembuatan arang. Letaknya Jalan Jembatan 1 RT 07 RW 05, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur. Tak terlalu jauh dari Stasiun Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Pabrik arang berbahan baku batok kelapa ini cukup melegenda. Usianya sudah nyaris setengah abad. Sejak 1975 silam, ternyata pabrik arang itu sudah beroperasi di sana. Tetapi seiring padatnya penduduk di sana, keberadaan pabrik menjadi masalah. Warga mengeluhkan polusi yang dihasilkan pabrik itu. Saking parahnya, polusi dihasilkan tak hanya mencemari udara, tetapi menggangu pernapasan.
merdeka.com menelusuri tempat tersebut hari ini, Senin (29/4). Area bangunan bedeng itu sudah dipasang garis polisi. Di sana juga ada tulisan dari Dinas Lingkungan Hidup sebagai bukti bahwa tempat tersebut telah secara resmi dinonaktifkan oleh DLH.
Eri, ketua RT setempat mengaku bahwa penutupan pabrik arang tersebut dilakukan demi kebaikan warga sekitar. Meski dia pribadi cukup prihatin bisnis turun-temurun milik salah satu warganya itu harus kandas.
“Saya juga sebagai ketua lingkungan, saya mengimbangi tapi karena memang sudah aturannya (untuk ditutup). Di satu sisi mereka cari makan, usaha, satu sisi saya mempunyai tanggung jawab di lingkungan untuk masyarakat,” ujarnya.
Eri memastikan, penutupan dilakukan DLH tidak dilakukan secara sepihak dan tiba-tiba. Dipastikannya, sudah melalui proses yang runut dan sistematis.
“Sudah ada (pemberitahuan), nggak langsung main tutup aja. Semuanya sudah berdasarkan langkah ketentuan,” tutur Eri.
Bahkan, kata Eri, sebelum dilakukan, penutupan DLH sudah memberikan teguran sebanyak dua kali pada pemilik pabrik untuk mengurangi limbah udara yang menjangkau hingga ke kawasan sekitar Jakarta Selatan. Melalui teguran itu, pemilik seharusnya mengetahui bahwa usahanya terancam ditutup.
“Kebetulan saat polusi itu tinggi, DLH dapat laporan dari CRM (Manajemen hubungan pelanggan) langsung dari gubernur, ditindak melalui kecamatan, kelurahan, baru ke kita. Dari DLH dateng untuk memberikan teguran pertama, kedua sosialisasi lagi tuh. Saya sendiri sebagai ketua RT di sini yang mengetahui. Kalau di berita yang lain-lain bahwa itu adalah (tindakan) sepihak, itu tidak, semua sudah berdasarkan prosedur,” katanya.
merdeka.com mencoba meminta keterangan pemilik pabrik yang bertempat tinggal tidak jauh dari lokasi pabrik. Keluarga pemilik mengatakan bahwa yang bersangkutan sedang tidur dan tidak bisa diganggu.
Warga setempat yang menjadi tetangga dari pemilik juga enggan memberikan komentar lebih dan bersikap menutup diri ketika ditanya mengenai dampak dan persoalan terkait penyegelan pabrik.
Reporter Magang: Alma Dhyan Kinansih