Mengenang Kerusuhan Tanjung Priok 12 September 1984, Ini Latar Belakangnya
Merdeka.com - 12 September 1984 lalu, terjadi sebuah kerusuhan di kawasan Tanjung Priok Jakarta. Kerusuhan ini lantas dikenal dengan sebutan Peristiwa Tanjung Priok. Kerusuhan ini mengakibatkan sejumlah orang tewas dan beberapa lainnya luka-luka.
Gedung-gedung pun banyak terbakar, karena massa yang terlibat bertindak anarkis dengan merusak kawasan dan akhirnya bentrok dengan aparat TNI. Aksi penembakan pun menyusul tak terhindarkan. Diketahui, sedikitnya 9 orang tewas terbakar dan 24 orang lainnya tewas akibat tembakan aparat.
Kerusuhan yang terjadi di Tanjung Priok ini menjadi salah satu bentuk kerusuhan besar dengan aksi pelanggaran HAM berat pada masa pemerintahan Orde Baru. Berikut kilas balik latar belakang Peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984 yang patut untuk Anda ketahui.
-
Apa yang terjadi pada kerusuhan ini? Dalam peristiwa tersebut, 47 orang Yahudi dan satu orang Prancis terbunuh, banyak yang terluka, dan harta benda dirusak.
-
Dimana kerusuhan terjadi? Prada Triwandi berani mengamankan masyarakat saat terjadi kerusuhan di wilayah Sentani, Kabupaten Jayapura.
-
Apa yang terjadi di Bintaro pada 19 Oktober 1987? Tanggal 19 Oktober 1987 menjadi momen yang sangat tragis dalam sejarah transportasi di Indonesia, khususnya dalam hal kecelakaan kereta api. Di hari itu, masyarakat dikejutkan oleh terjadinya tabrakan kereta api yang juga dikenal dengan sebutan 'Tragedi Bintaro I' , yang menewaskan dan melukai banyak penumpang.
-
Siapa yang terlibat dalam kerusuhan ini? Pada saat itu Maroko adalah protektorat Prancis, dan komisaris Prancis untuk Oujda, René Brunel, menyalahkan kekerasan yang terjadi pada orang-orang Yahudi karena meninggalkan Oujda dan bersimpati dengan gerakan Zionis.
-
Siapa pelaku pembakaran di Tanjung Priok? Pengungkapan kasus ini bermula dari peristiwa kebakaran Seorang paman bernama DZ (53), tega menghabisi nyawa remaja perempuan berinisial AZH (15) yang juga merupakan keponakannya di Jalan Sunter Permai Raya, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
-
Di mana kerusuhan terjadi? Kerusuhan anti-Yahudi terjadi pada 7–8 Juni 1948, di kota Oujda dan Jerada, di protektorat Prancis di Maroko sebagai tanggapan terhadap Perang Arab-Israel tahun 1948 yang diikuti dengan deklarasi berdirinya Negara Israel pada tanggal 14 Mei.
Berawal dari Spanduk di Masjid
Tragedi Peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984 kala itu dihujani dengan aksi penembakan oleh aparat TNI terhadap warga sipil. Jumlah korban hingga saat ini masih samar-samar angkanya, namun menurut berbagai sumber diperkirakan mencapai 50 orang lebih.
Awal mula kerusuhan ini adalah percekcokan antara seorang Bintara Pembina Desa (Babinsa) dengan warga. Ditengarai pada saat itu Babinsa meminta warga untuk melepaskan spanduk dan brosur-brosur yang tertempel lantaran dinilai tidak menganut paham Pancasila.
Perlu diketahui bahwa pada saat ini pemerintah Orde Baru memang sangat melarang paham-paham dan ideologi yang anti Pancasila. Jadi, apapun yang tidak mendukung paham Pancasila mudah menyulut para simpatisan Orde Baru.
Siapapun yang tidak sejalan dengan garis politik rezim Orba maka layak dituduh sebagai anti-Pancasila (Tohir Bawazir, Jalan Tengah Demokrasi, 2015: 161).
Ternyata hingga 2 hari kemudian spanduk tersebut tak kunjung dilepas oleh warga. Sehingga, petugas Babinsa Sersan Satu Hermanu pun mencopot spanduk yang dipermasalahkan itu sendiri.
Saat melakukan aksinya mencopot spanduk yang tertempel pada masjid Masjid Baitul Makmur, petugas tersebut diketahui melakukan pencemaran terhadap masjid lantaran tidak melepas alas kaki saat masuk ke dalamnya.
Kabar petugas Babinsa mencopot spanduk di dalam masjid dengan masih mengenakan alas kaki ini pun membuat warga marah dan berkumpul di masjid. Pengurus Masjid Baitul Makmur, Syarifuddin Rambe, Sofwan Sulaeman, dan Ahmad Sahi mencoba menenangkan warga namun tanpa hasil.
Warga pun sudah kadung emosi dan membakar sepeda motor petugas Babinsa. Buntutnya, pelaku yang diduga melakukan pembakaran yakni Syarifuddin, Sofwan, Ahmad, dan Muhammad Nur pun ditangkap aparat.
Karena Tindakan Represi Orde Baru
Peristiwa Tanjung Priok Tahun 1984 merupakan peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi pada masa Orde Baru.
Hal ini rupanya berawal dari ceramah-ceramah yang dilakukan di Masjid-masjid di sekitar daerah Tanjung Priok. Dimana ceramah membahas dan mengkritisi kebijakan-kebijakan yang di tetapkan oleh pemerintah Orde Baru, seperti kebijakan menjadikan asas tunggal Pancasila, sebagai asas tunggal ideologi bangsa Indonesia.
Pamflet dan spanduk yang berisi kegelisahan umat Islam ini pun disebar dan tertempel di lingkungan masyarakat, membuat gerah aparat pro Orde Baru. Setelah peristiwa pelepasan spanduk oleh Babinsa Hermanu dan kemarahan warga lantaran Babinsa masuk ke masjid tanpa sopan santun disusul dengan membakar motornya, Keesokan harinya pada 11 September, warga meminta bantuan tokoh masyarakat setempat yakni Amir Biki untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Amir Biki menghubungi pihak-pihak yang berwajib untuk meminta pembebasan empat orang jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang diyakininya tidak bersalah. Amir Biki memang memiliki peran sebagai salah seorang pimpinan Posko 66.
Beliau adalah orang yang dipercaya semua pihak yang bersangkutan untuk menjadi penengah jika ada masalah antara penguasa (militer) dan masyarakat. Namun ternyata, usaha Amir Biki untuk meminta keadilan sia-sia belaka.
Berkembang Menjadi Pelanggaran HAM
Pada tanggal 12 September tahun 1984, beberapa orang mubaligh menyampaikan ceramahnya di tempat terbuka dan mengulas berbagai persoalan politik dan sosial. Di antaranya adalah kasus bentrok Babinsa dengan warga yang baru saja terjadi.
Mengutip publikasi uinbanten.ac.id, di hadapan massa Amir Biki berbicara lantang dan menyerukan ultimatum agar militer membebaskan para tahanan paling lambat pukul 23.00 WIB malam itu. Jika tidak, mereka akan mengerahkan massa mengadakan demonstrasi.
Di saat ceramah telah usai, berkumpullah sekitar 1500 orang demonstran bergerak menuju Kantor Polsek dan Koramil setempat. Sebelum massa tiba di tempat, rupanya mereka telah dikepung dari dua arah oleh pasukan bersenjata.
Massa demonstran berhadapan dengan tentara yang sudah siaga tempur. Lalu kemudian terdengar suara tembakan diikuti oleh pasukan yang langsung mengarahkan moncong senjatanya kepada kerumunan massa demonstran. Dari segenap penjuru terdengar suara letusan senjata, tiba-tiba ratusan orang demonstran tersungkur berlumuran darah.
Sebagian korban berusaha bangkit dan lari menyelamatkan diri, namun pada saat yang sama mereka ditembak lagi dengan menggunakan bazoka. Dalam beberapa detik jalanan sudah dipenuhi jasad manusia sedangkan beberapa korban luka yang tidak begitu parah berusaha lari dan berlindung ke tempat-tempat di sekitarnya.
Saat tentara-tentara mengusung korban yang telah mati dan luka-luka ke dalam truk-truk militer, tembakan terus berlangsung tanpa henti. Semua korban dibawa ke Rumah Sakit Militer di tengah kota Jakarta. Sedangkan Rumah Sakit lain diultimatum untuk tidak menerima pasien korban penembakan Tanjung Priok. (mdk/edl)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Sebanyak 2.000 tengkorak dan 1.000 nisa kuburan ditampilkan secara dramatis.
Baca SelengkapnyaAwal mula peristiwa Talangsari dipicu oleh semakin kuatnya doktrin pemerintahan Soeharto tentang asas tunggal Pancasila.
Baca SelengkapnyaCara Soeharto menangani kriminalitas di Indonesia ini lantas mendapatkan kecaman dari publik.
Baca SelengkapnyaSimak foto langka suasana di Jakarta usai tragedi G30S. Banyak tank berkeliaran memburu anggota PKI.
Baca SelengkapnyaHari ini, 13 November pada tahun 1998 silam, terjadi demonstrasi besar-besaran di kawasan Semanggi, Jakarta.
Baca SelengkapnyaRibka mengajak kader PDI Perjuangan dan aktivis ikut mendesak Presiden Jokowi memasukkan peristiwa Kudatuli sebagai pelanggaran HAM berat masa lalu.
Baca SelengkapnyaPeristiwa kelam ini cukup memberikan luka mendalam bagi masyarakat Aceh yang dilakukan oleh aparat TNI di era konflik Aceh.
Baca SelengkapnyaMenurut Hasto, pengungkapan tragedi Kudatuli diharapkan mampu menghilangkan kekuasaan yang menindas.
Baca SelengkapnyaMereka mendesak Komnas HAM menetapkan peristiwa penyerbuan kantor DPP PDI sebagai pelanggaran HAM berat.
Baca SelengkapnyaRevolusi Sosial Sumatra Timur kisah kelam pembantaian kesultanan Melayu.
Baca SelengkapnyaIstilah "Tritura" merupakan singkatan dari "Tri Tuntutan Rakyat" (Tiga Tuntutan Rakyat).
Baca SelengkapnyaTahun 1980an, preman merajalela. Aparat Orde Baru punya satu penyelesaian: Penembak Misterius
Baca Selengkapnya