Kejanggalan Penangkapan Dua Tersangka
Merdeka.com - Masih ada kejanggalan saat Polisi mengamankan Rahmat Kadir Mahulette alias RM dan Ronny Bugis alias RB. Dua nama itu merupakan terduga pelaku penyiraman air keras penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan.
Setidaknya itu yang dirasakan Alghiffari Aqsa sebagai kuasa hukum sepupu Anies Baswedan itu. Memang pada 27 Desember 2019 Polisi berhasil mengamankan RB dan RM sebagai eksekutor penyiraman. Keduanya merupakan anggota Polri aktif yang bertugas di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.
Karopenmas Polri Brigjen Argo Yuwono mengaku Kepolisian menangkap dua terduga pelaku tersebut. Dia menegaskan, penangkapan tidak dilakukan tiba-tiba. Menurut Argo, ada lima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang telah dikeluarkan. Pertama pada April 2017 tepatnya setelah kejadian Polsek Jakarta Pusat menerbitkan SPDP.
-
Kenapa polisi belum bisa pastikan motif pembunuhan? Awaluddin mengaku belum bisa memastikan kasus tersebut apakah pembunuhan atau perampokan. Ia menegaskan saat ini personel sedang melakukan penyelidikan.
-
Apa kasus yang sedang diselidiki? Pemerasan itu berkaitan dengan penanganan kasus dugaan korupsi di Kementan tahun 2021 yang tengah ditangani KPK.
-
Apa yang dilakukan polisi tersebut? Penyidik menetapkan Bripka ED, pengemudi mobil Toyota Alphard putih yang viral, sebagai tersangka karena melakukan pengancaman dengan pisau terhadap warga.
-
Bagaimana pelaku menutupi kejahatannya? Kapolsek Tanjung Priok Kompol Nazirwan, Senin (26/2), menyebut kebakaran dikondisikan oleh pelaku DZ untuk menutupi kejahatannya. Pelaku diduga sakit hati karena orang tua korban menagih utang kepadanya.
-
Apa yang dilakukan pelaku? Mereka juga meminta Y agar menyerahkan diri agar dapat diperiksa. 'Saya imbau kepada yang diduga pelaku berinisial Y yang sesuai dengan video yang beredar agar menyerahkan diri,' kata Rahman saat dikonfirmasi, Minggu (28/4).
-
Siapa yang diduga sebagai pelaku? 'Kalau musuh kita mah nggak tahu ya, kita gak bisa nilai orang depan kita baik di belakang mungkin kita nggak tahu. Kalo musuh gue selama ini nggak ada musuh ya, mungkin musuh gua yang kemarin doang ya, yang bermasalah sama gua doang kali yak,' ungkapnya.
Enam bulan kemudian terbit lagi SPDP untuk peralihan penanganan kasus dari Polsek Jakarta Utara ke Polres. SPDP ketiga dikeluarkan saat ada pengalihan penanganan lagi dari Polres Jakarta Utara ke Polda Metro Jaya.
Sedangkan SPDP keempat dan lima terbit ketika Polisi sudah mulai mengendus terduga pelaku. Meski sudah banyak SPDP yang dikeluarkan, Alghif tetap merasa ada yang janggal dari penangkapan pelaku.
Kejanggalan pertama, kata Alghif, terlihat dari inkonsistensi Polisi pada awal pengungkapan bagaimana cara tersangka bisa diamankan. Saat itu, Argo menyebut pelaku ditangkap, sedangkan Wakabareskrim Irjen Antam Novambar mengatakan para pelaku menyerahkan diri.
"Tidak jelas orang ini (pelaku) ditangkap atau menyerahkan diri. Kemudian ada klarifikasi dari Kepolisian yang kita baca di media bahwa ada yang menyerahkan diri ada yang ditangkap," kata Alghif pada merdeka.com, Jumat pekan lalu.
Alghif merasa sangat aneh jika memang pelaku menyerahkan diri setelah dua tahun lebih jadi buronan. Terlebih salah satu pelaku juga baru menikah dalam hitungan bulan.
Kejanggalan selanjutnya, menurut Alghif, Polisi tampak tertutup saat menangani kasus ini. Dia mempertanyakan, mengapa Polisi tidak langsung mengungkap motif para pelaku yang menyiram Novel.
Kemudian, sebelum rilis penangkapan resmi, Indonesia Police Watch (IPW) justru membuat rilis yang mengetahui pelaku sebelum Polisi mengungkapnya terlebih dahulu. "Sebelum pengumuman juga ada rilis dari IPW yang lebih tau banyak fakta-fakta mengenai kasus ini dibandingkan polisi," ujarnya.
Selain itu, Alghif juga ragu dua orang yang ditangkap itu adalah pelaku sebenarnya. Sebab, salah satu pelaku berbeda dari sketsa yang dikeluarkan.
Tito Karnavian ketika menjadi Kapolri pernah mengumumkan sketsa pelaku penyerang Novel di Istana Negara pada 31 Juli 2017. Sketsa itu berhasil dibuat berdasarkan keterangan dari salah seorang saksi kunci yang meminta identitasnya dirahasiakan. Saksi kunci itu memberi informasi saat subuh, sebelum peristiwa penyiraman terjadi, ada orang tak dikenal berdiri di dekat masjid.
Tito ketika masih menjabat Kapolri mengumumkan ciri-ciri pelaku penyerangan Novel Baswedan ©2017 Biro Pers SetpresSosok orang itu sangat mencurigakan. Diduga, orang itu merupakan pengendara sepeda motor yang membonceng pelaku penyerangan terhadap Novel.
"Ada saksi cukup penting tapi dia enggak mau disebutkan identitas demi keamanan, dia lihat ada orang berdiri di dekat masjid dan sosoknya mencurigakan. Dia diduga pengendara sepeda motor, sepeda motor penyerang Novel," kata Tito.
Dari keterangan saksi tersebut, pihaknya lantas bekerjasama dengan berbagai pihak, salah satunya dengan AFP, kepolisian Australia, untuk membuat sketsa foto pelaku. Alhasil, sketsa orang yang diduga sebagai pengendara sepeda motor penyerang Novel itu berhasil dibuat.
Tito ketika itu mengatakan ciri-ciri pelaku tersebut yakni memiliki tinggi badan antara 167 cm hingga 170 cm, berwarna kulit agak hitam, berambut keriting, dan memiliki badan cukup ramping.
"Ini agak beda dengan empat orang yang sudah diperiksa sebelumnya. H dan M ada di sebelah rumah Novel sebelum kejadian tapi ciri-cirinya sangat beda tinggi badannya enggak ada yang 167-170 cm," katanya.
Tim Kuasa Hukum Novel Baswedan juga merasa aneh pelaku hanya dikenakan Pasal 170 tentang penggunaan kekerasan terhadap orang dan Pasal 351 KPUHP tentang penganiayaan yang hukumannya terbilang ringan. Padahal, kata dia, pelaku seharusnya dikenakan pasal pembunuhan berencana atau penganiayaan berat.
Mantan Direktur LBH ini mengatakan para pelaku sudah merencanakan untuk melukai Novel. Sehingga wajar jika dikenakan pasal pembunuhan berencana. Dia pun khawatir pengenaan pasal ringan justru menjadi skenario mencegah pengusutan kasus hingga tingkat elit otak pelaku. Serta meringankan hukuman pelaku penyiraman.
Kedua pelaku, tambah Alghif juga layak dikenakan pasal dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Alasannya, Novel kala itu Novel tengah menangani kasus korupsi besar, karena itu pelaku bisa dikenakan pasal upaya menghalang-halangi penegakan hukum atau obstruction of justice.
"Kemudian selesailah kasusnya, si orang yang menyuruh tidak bisa dipertanggungjawabkan atau bahkan bebas," ujarnya.
Kejanggalan terakhir, kata Alghif, munculnya buzzer-buzzer yang mendesak untuk membuka kembali kasus Novel di Bengkulu. Alghif menilai itu sebagai upaya mengaburkan penanganan kasus penyiraman.
"Jadi justru dari ditangkapnya dua orang ini muncul teka-teki yang lain ataupun kecurigaan-kecurigaan bahwa kasus ini akan dikaburkan dan diusahakan untuk tidak sampai kepada level elite-nya," ujar dia.
Perlu TGPF Independen
Kasus penyerangan kepada Novel Baswedan memerlukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Independen. Kondisi ini dikarenakan paling berat adalah masalah di politik sampai ataupun situasi internal kepolisian.
Tim kuasa hukum Novel sudah menyurati Presiden Joko Widodo untuk membentuk TGPF independen. Presiden dianggap paling berwenang membentuk tim tersebut. Karena itu, Alghif berharap kasus ini bisa tuntas.
Tentunya sesuai dengan linier pelaku yang diperkirakan tim kuasa hukum Novel. Mulai dari pelaku penyiraman, orang yang mengintai, mencarikan hingga koordinator pengintaian. Tidak hanya itu, pihak yang mendanai untuk penyerangan kepada Novel juga harus diusut
"Kita berharap bahwa pengungkapan kasus ini betul-betul sampai tuntas ke aktor intelektualnya, dan jika memang ada jenderal di Kepolisian yang terlibat berarti itu orang tersebut sudah menjadi duri dalam daging di Kepolisian Republik Indonesia. Sehingga durinya harus dicabut," ucapnya.
Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menilai kasus Novel memang harus di dalami sampai tuntas. Termasuk soal motif dan dugaan keterlibatan Jenderal Polisi.
"Harus dibuka harus dikejar sampai aktor intelektualnya. Karena kalau melihat motifnya itu sangat sederhana sekali," kata Bambang pada merdeka.com, pekan lalu.
Dia menambahkan, Polisi harus membuka secara gamblang kasus tersebut. Serta menjalankan tanggung jawab membuka kasus hingga tingkat elite yang menyuruh untuk menyiram Novel. "Ini yang harus segera di bongkar. Jangan sampai muncul anggapan bahwa di tempat kapolri banyak kriminal-kriminal yang menggunakan seragam Polisi," tandasnya.
(mdk/ang)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Berikut 2 sosok eks Kapolres Cirebon di awal kasus pembunuhan Vina yang belakangan disorot.
Baca SelengkapnyaKematian Ragil Alfarisi menjadi tanda tanya bagi keluarga, Mereka menduga korban dibunuh bukan bunuh diri.
Baca SelengkapnyaSalah seorang tersangka kasus pembunuhan ibu dan anak di Subang ditempatkan di rumah perlindungan.
Baca SelengkapnyaKasus ini kembali ramai diperbincangkan setelah diadaptasi ke layar lebar. Satu DPO yang terakhir ditangkap ada nama Pegi Setiawan.
Baca Selengkapnya