93 Mahasiswa Jadi Korban, UNJ Ungkap Kasus TPPO Modus Magang Ferienjob di Jerman Dikenalkan Dosen Universitas Jambi
Polisi telah menetapkan lima tersangka terkait kasus tersebut.
Polisi telah menetapkan lima tersangka terkait kasus tersebut.
93 Mahasiswa Jadi Korban, UNJ Ungkap Kasus TPPO Modus Magang Ferienjob di Jerman Dikenalkan Dosen Universitas Jambi
Kasus dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan modus mengirim mahasiswa magang ke Jerman melalui program Ferienjob masih terus disidik Bareskrim Polri. Polisi telah menetapkan lima tersangka terkait kasus tersebut.
Lima tersangka itu adalah ER alias AW (39) dari PT SHB, lalu A alias AE (37) dari CVgen yang keduanya saat ini ada di Jerman. Lalu ada laki-laki berinisial SS (65) dan MZ (60) dan perempuan berinisial AJ (52).
Sementara dari hasil penelusuran, diketahui untuk tersangka MZ (60) dan perempuan berinisial AJ (52) merupakan salah satu pegawai dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Sedangkan untuk SS merupakan pegawai dari Universitas Jambi (Unja).
Meski begitu, pihak UNJ mengklaim sebagai korban, sebab tersangka AJ san MZ tidak memiliki kaitan secara kelembagaan dengan tersangka SS pegawai dari Unja, PT. SHB, dan CV-Gen. UNJ berdalih ditawari tersangka SS seorang dosen PTN di Jambi program magang internasional di Jambi.
"Pada bulan Februari 2023, diawali dengan kedatangan SS yang merupakan dosen di salah satu perguruan tinggi di Provinsi Jambi dan timnya ke UNJ untuk menawarkan Program Magang Internasional ke Jerman," kata Sekretaris Edura UNJ, Syaifudin dalam keterangan resminya, Selasa (26/3).
93 Mahasiswa UNJ Jadi Korban
93 mahasiswa UNJ menjadi korban dari program Ferienjob TPPO magang ke Jerman. Oleh karena itu, UNJ akan melakukan langkah hukum atas kejadian ini.
"UNJ akan melakukan langkah hukum pelaporan atas kerugian materil maupun immaterial yang dilakukan oleh SS, PT. SHB, dan CV-Gen," tutur Syaifudin.
Penjelasan Universitas Jambi
Sedangkan dari Rektor Universitas Jambi (Unja) Prof Helmi dalam keterangan tertulis yang dikutip dari Antara, Rabu (27/3) tak mengiyakan atau membantah tegas dugaan keterlibatan guru besarnya dalam kasus ini.
Helmi hanya memastikan guru besar yang diduga terlibat itu tidak aktif melakukan Tri Dharma Perguruan Tinggi di Universitas Jambi dan sedang melakukan proses pindah ke perguruan tinggi lain.
"Dalam kegiatan magang ke Jerman, guru besar tersebut tidak bertindak sebagai perwakilan Universitas Jambi, namun sebagai perwakilan PT SHB."
Terkait status tersangka guru besar itu, kata Rektor, Unja menghormati proses hukum yang sedang berjalan dan apabila ada putusan in kracht dari pengadilan, maka akan melakukan tindakan sesuai dengan peraturan kepegawaian dan perundang-undangan yang berlaku, serta sesuai dengan kewenangan yang dimiliki Unja.
Penjelasan Polisi
Sementara itu, Dirtipidum Bareskrim Polri, Brigjen Djuhandani Rahardjo Puro saat di singgung soal asal kampus dari ketiga tersangka. Dia hanya membenarkan kalau ketiganya bekerja sebagai pegawai universitas.
"Kalau terkait tiga orang yang ada di Indonesia, memang bekerja di universitas," kata Djuhandani di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Rabu (27/3).
Alasan itu, kata Djuhandani, karena penyidik menjaga asas praduga tak bersalah. Sehingga, dia akan mengungkap semua setelah proses penyidikan ini selesai.
"Seluruhnya WNI. Untuk identitas kami tetap mengedepankan praduga tak bersalah, jadi salah satu tersangka adalah SS," ucap Djuhandani.
Sementara terhadap dua tersangka ER alias AW (39) dari PT SHB, lalu A alias AE (37) dari CVgen, kata Djuhandhani, telah dipanggil untuk kedua kalinya guna melakukan proses pemeriksaan. Namun, mereka belum hadir hingga saat ini.
"Manakala dia tidak bisa hadir tentu saja kita akan menerbitkan dua orang ini ke dalam daftar pencarian orang (DPO) dan kemudian kami akan koordinasi lebih lanjut ke Div Hubinter untuk menerbitkan red notice yang bersangkutan," tegas Djuhandani.
Atas perbuatannya, kelima tersangka dijerat dengan Pasal 4, Pasal 11, Pasal 15 UU No 21 Tahun 2007 tentang TPPO Jo Pasal 81 UU No 17 Tahun 2017 tentang perlindungan pekerja migran. Dengan Ancaman maksimal kurungan 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp15 miliar.
"Jadi walaupun yang bersangkutan kemanapun, tetap kita kejar, dan meminta pertanggung jawaban secara hukum kalau ada pelanggaran dalam perbuatannya," pungkasnya.