Alexis Kembali Ramai dibahas di Tengah Isu 'Safe House' Ketua KPK, Ada Cerita Tersohor di Lantai 7
Nama Alexis mulai bertagar di Twitter Indonesia dengan total 34 ribu cuitan.
Nama Alexis mulai bertagar di Twitter Indonesia dengan total 34 ribu cuitan.
Alexis Kembali Ramai dibahas di Tengah Isu 'Safe House' Ketua KPK, Ada Cerita Tersohor di Lantai 7
Alexis, tempat hiburan malam yang kondang di tengah ibu kota kembali menjadi bahan perbincangan akhir-akhir ini. Di sosial media, nama Alexis mulai bertagar di Twitter Indonesia dengan total 34 ribu cuitan.
Alexis kembali ramai diperbincangkan di tengah isu 'safe house' Ketua KPK, Firli Bahuri yang digeledah kepolisian. Diketahui safe house itu disewakan oleh bos Alexis, Alex Tirta Juwana Darmadji.
Direskrimsus Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Safri Simanjuntak mengatakan rumah dengan nomor 46 di bilangan Kertanegara, Jakarta rupanya disewa oleh Alex Tirta.
"Pemilik rumah Kertanegara Nomor 46 Jaksel adalah E dan yang menyewa rumah Kertanegara adalah Alex Tirta," ucap Ade Safri (31/10).
'Surga Dunia' Itu disebut Alexis
Alexis, kerap terdengar di telinga masyarakat Jakarta, sebuah nama yang belakangan ini diributkan banyak pihak sebab dikaitkan dengan tempat prostitusi elite dan tempat bisnis hitamnya para bos di Jakarta, Hotel Alexis.
Alexis dikenal sebagai tempat kongko-kongko 'plus' yang di dalamnya terdapat griya pijat, tempat karaoke, dan gadis-gadis cantik dan seksi yang siap memandu atau sekadar menemani klien yang datang.
Tanpa tedeng aling-aling, logo Hotel Alexis sudah memicu kontroversi. Jika ditengok dengan seksama, logonya berupa sketsa perempuan seksi yang sedang tiduran di atas tulisannya.
Gubernur DKI Jakarta ke-15, Basuki Tjahaja Purnama pernah sempat menganalogikan Hotel Alexis sebagai surga dunia. Surga dunia mengacu kepada praktik prostitusi. Tidak seperti Kalijodo atau Dolly, Alexis disebut-sebut khusus untuk pelayanan kelas kakap.
Basuki pernah menyebut salah satu lantai di Hotel Alexis, lantai tujuh. Lantai tujuh Hotel Alexis terkenal sebagai tempat para pengunjung hidung belang menikmati praktik prostitusi.
"Di hotel-hotel itu ada enggak prostitusi? ada, prostitusi artis di mana? di hotel. Di Alexis itu lantai tujuhnya surga dunia loh (prostitusi). Di Alexis itu bukan surga di telapak kaki ibu loh, tapi lantai tujuh," sebut Basuki kala itu.
Tidak hanya dari dalam negeri, Hotel Alexis terkenal mempekerjakan pekerja seks komersial (PSK) luar negeri dari berbagai negara. Melihat kondisi ini, Basuki mengaku telah mengirimkan petugas ke hotel itu guna melakukan penertiban. Namun, upaya tersebut nihil sebab kurangnya bukti pendukung.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Merdeka.com, salah satu narasumber yang bernama Tomo, saat memasuki lantai tujuh tamu akan disambut ruangan luas dengan lantunan musik santai. Wanita-wanita berpakaian minim nampak menunggu di sofa yang mengelilingi lantai.
Bak etalase, kebanyakan PSK diimpor langsung negara lain kebanyakan dari Uzbekistan.
"Mereka duduk berkelompok, ada yang kelompok dari Thailand, Cina, Uzbekistan, dan lokal pun ada. Mereka tak berbaur karena keterbatasan bahasa, mereka enggak bisa berbahasa Inggris," imbuh Tomo.
Tomo tak munafik, dia menyebut kedatangannya ke hotel itu memang untuk memuaskan hasrat seksualnya. Kata dia, rerata pengunjung Hotel Alexis datang untuk tujuan yang sama.
Akhir Tragis Alexis, ditutup Anies
Hari Selasa, 27 Maret 2018, adalah hari terakhir Alexis beroperasi. Kabar itu membuat sebagian para pekerja kaget, tidak menyangka secepat itu tempat mereka mengais pundi-pundi Rupiah tutup.
Ya, Gubernur DKI Jakarta ke-17, Anies Baswedan memutuskan untuk mencabut izin usaha atau tanda daftar usaha pariwisata (TDUP) PT. Grand Ancol Paragon, perusahaan yang menaungi Alexis. Dengan pencabutan izin, maka Alexis dilarang menjalankan usaha apapun.
Anies beralasan menutup hiburan malam itu bukan karena masalah narkoba, tetapi kegiatan prostitusi dan perdagangan manusia.
"Bukan narkoba tapi prostitusi dan perdagangan manusia," kata Anies (27/3/2018).
Dampak penutupan itu, karyawan Alexis yang berjumlah lebih dari 500 pekerja terpaksa harus dirumahkan.
Reporter magang: Fandra Hardiyon