Hikayat Gandalia, Alunan Musik Petani di Banyumas Untuk Menjaga Lahan
Merdeka.com - Empat lelaki baya di Kasepuhan Adat Kalitanjung, Desa Tambaknegara, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas, berjalan pelan menenteng angklung. Mereka menaiki panggung, lalu duduk bersila memangku alat musik dari bambu itu. Kendang ditabuh. Seorang sinden mulai menyanyikan tembang Kidung Rumeksa Ing Wengi.
Angklung yang dimainkan oleh para sesepuh tersebut disebut warga setempat sebagai Gandalia. Alat ini terdiri dari empat buah bilah berlaras slendro dengan nada 2 (ro), 3 (lu), 5 (ma) dan 6 (nem). Bahannya dari bambu berdiameter sekitar 5-7 sentimeter.
Sejarah gandalia di Kasepuhan Adat Kalitanjung sangat erat dengan aktivitas petani hutan. Dahulu para petani memainkannya sembari menunggu bibit tanaman yang masih kecil. Alat ini ditenteng masuk ke dalam hutan untuk menghibur diri serta mengusir babi hutan yang hendak menyerang.
-
Kenapa Gendang Pampat dimainkan? Permainan alat musik ini merupakan salah satu cara untuk menjaga ikatan kekeluargaan orang Iban.
-
Apa fungsi Gendang Pampat? Terkadang, permainan alat musik itu juga perlu dilakukan karena mendapat petunjuk alam. Begitu petunjuk itu datang, alat-alat musk dikeluarkan dari tempatnya untuk dibunyikan. Tutong mengatakan, bila diibaratkan, bunyi gendang itu bertujuan untuk mengundang para anggota keluarga lain datang.
-
Siapa yang memainkan angklung saat panen raya? Selain itu, ada kelompok masyarakat yang memainkan musik angklung saat panen raya tersebut dengan tujuan menghibur atau memeriahkan.
-
Apa saja yang ditanam Seni Tani? 'Dari sekian banyak sayangnya yang bagus ditanam di wilayah ini adalah sayuran hijau seperti bayam, pakcoy, caisim dll,' terangnya
-
Siapa yang memainkan Gendang Pampat? Tak hanya oleh bapak-bapak, Gendang Pampat juga dimainkan oleh kelompok ibu-ibu.
-
Bagaimana cara Gendang Pampat dimainkan? Tak hanya oleh bapak-bapak, Gendang Pampat juga dimainkan oleh kelompok ibu-ibu. Pada saat musik gendang dibunyikan, para warga yang mendiami rumah panjang keluar dari kamar-kamarnya untuk menari bersama. Bahkan para ibu-ibu berdandan dan mengenakan pakaian tradisional sambil menari.
Gandalia merujuk pada kata berbahasa Jawa 'gondhol' yang memiliki makna dibawa pergi. "Gandalia adalah warisan leluhur dari di Grumbul Kalitanjung," kata Ketua Paguyuban Kasepuhan Adat Kalitanjung, Muharto.
Warisan Turun Temurun
Muharto bercerita, saat ini di Kalitanjung hanya tertinggal empat warga yang bisa memainkan angklung gandalia. Mereka yakni, Turmidi (75), Sanwiyata (80), Kusmareja (65), Kusmeja (80). Keempatnya masih memiliki pertalian saudara dan mewarisi keahlian memainkan gandalia dari orang tua masing-masing.
Turmidi misalnya, mulai belajar memainkan gandalia sejak berusia 10 tahun. Ia belajar dari ayahnya baik saat berada di lahan garapan maupun di rumah.
Dari cerita tutur lisan, para pemain gandalia merupakan keturunan Ki Bangsa Setra yang mendiami desa tersebut sekitar tahun 1900-an. Konon, Ki Bangsa Setra adalah seorang penayagan atau penabuh gamelan wayang yang mahir membuat tembang macapat.
Tradisi unik terkait musik gandalia, sinden mesti seorang laki-laki. Jika sinden Gandalia seorang perempuan dipercaya akan terjadi bencana. Pasalnya, leluhur kasepuhan adat Kalitanjung seorang perempuan. Sinden perempuan dianggap dapat menyaingi sosok leluhur mereka.
Di desa ini, Rusdi adalah satu-satu sinden laki-laki. Lagu yang kerap dinyanyikan oleh Rusdi diantaranya Gandalia, Cucu Benik, Kulu-kulu, Ler-ileng Kangkung, Gatotkaca Edan dan Jo lio. Khusus lagu berjudul Gandalia diciptakan Rusdi untuk menggambarkan sejarah alat musik tersebut.
"Dahulu Gandalia dimainkan dengan nada rengeng-rengeng. Tembang kemudian dimasukkan agar musik asli Kalitanjung ini lebih bisa menghibur lagi jika dipentaskan dalam sebuah pertunjukkan," kata Rusdi.
Penggemar gandalia, Agis Raditya bercerita bahwa di masa kanaknya kerap mendengar sejumlah petani memainkan angklung gandalia saat lahan diserang hama tikus dan celeng. Kenangan itu membuat ia takjub. Sedang saat ini, ia sangat menggemari gandalia saat memainkan tembang cucuk benik.
"Tembang ini mengingatkan masa kecil saya. Karena tembangnya menceritakan permainan anak-anak," kata Agis.
Gandalia tak bisa dipungkiri merupakan bagian dari ekspresi kesenian rakyat di Kabupaten Banyumas. Gandalia sekaligus menunjukkan karakteristik masyarakat pendukungnya, petani kreatif yang menjaga alam sebagai sumber kehidupannya dengan mengedepankan pendekatan-pendekatan kesenian.
(mdk/gil)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Provinsi Aceh memiliki ragam jenis alat musik tradisional, salah satunya Bangsi Alas yang tumbuh dan berkembang di Lembah Alas, Aceh Tenggara.
Baca SelengkapnyaKesenian Badud menggambarkan cara petani Pangandaran mengusir hama di sawah.
Baca SelengkapnyaPara pria atau jejaka setempat menggoda wanita yang membantu panen di sawah dengan berpantun.
Baca SelengkapnyaCalung ternyata punya sejarah yang menarik untuk mengobati rasa kesepian para petani Sunda
Baca SelengkapnyaPendengar kesenian ini konon bisa hilang kesadaran dan ikut menari.
Baca SelengkapnyaKesenian ini berkembang di Pangandaran dan Cianjur selatan sejak 1992.
Baca SelengkapnyaPerkembangan musik gejog lesung telah mengalami modifikasi dan sentuhan-sentuhan kreatif dari para musisi perdesaan agar tetap punya daya tarik.
Baca SelengkapnyaPermainan alat musik tradisional itu dilakukan untuk mengisi waktu kebersamaan mereka di rumah panjang.
Baca SelengkapnyaAnak-anak di Kampung Pasir Gudang tidak bermain gadget saat mengisi waktu luang, melainkan mencari belut di sawah.
Baca SelengkapnyaMasyarakat akan dihibur dengan gending banyuwangen sebelum mendengar ajakan untuk bangun sahur
Baca SelengkapnyaKesenian banyak ditemukan di daerah Kalimantan Timur dari suku Dayak Benuaq dan Dayak Tunjung sebagai lambang kegembiraan dan juga ramah tamah.
Baca SelengkapnyaAlat musik yang satu ini masuk dalam kategori alat musik tiup.
Baca Selengkapnya