Ini Penjelasan Jaksa Agung Burhanuddin Tentang Proses Pelaksanaan Pidana Mati
Merdeka.com - Jaksa Agung Burhanuddin menjelaskan rencananya dalam menangani kasus dengan hukuman pidana mati. Hal ini, ia paparkan salam rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/11).
Burhan menjelaskan dalam empat poin rencana. Poin pertama adalah permohonan grasi tidak akan mempengaruhi pelaksanaan putusan pemidanaan.
"Permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana. Kecuali dalam hal putusan pidana mati dengan demikian, ketentuan tersebut menjadi sia-sia," kata Burhan.
-
Apa yang dituntut oleh jaksa? 'Menghukum terdakwa Bayu Firlen dengan pidana penjara selama selama 4 (empat) Tahun dan Denda Sebesar Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) Subsider 6 (enam) bulan penjara dikurangi selama Terdakwa ditahan dengan perintah agar Terdakwa tetap ditahan,' lanjutan dari keterangan yang dikutip dari SIPP Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
-
Bagaimana pelaku membunuh korban? 'Bahwa modus operandi pelaku melakukan tindak pidana yaitu pelaku mencekik dan menjerat leher korban dengan menggunakan tali sehingga (korban) meninggal dunia dan membuang mayat dalam kardus dan dilempar ke sungai.
-
Bagaimana korban dibunuh? 'Dengan adanya perkataan dari korban tersebut maka pelaku menjadi sakit hati dan sangat kesal sehingga secara spontan pelaku membunuh korban dengan cara mencekik dan menjerat leher korban dengan tali sepatu sehingga korban meninggal dunia,' jelas Wira.
Kondisi Kejiwaan Terpidana Mati
Poin kedua, kata Burhan, setiap orang yang setiap terpidana hukuman mati tidak bisa dieksekusi jika masih ada terdakwa lainnya dengan kasus yang sama belum berkekuatan hukum tetap.
"Berkaitan dengan berbarengan dengan tindakan pidana maka tidak dapat dilaksanakan eksekusi pidana mati terlebih dahulu sebelum pelaku lainnya divonis hukuman mati. Yang telah berkekuatan hukum tetap," ungkapnya.
Poin ketiga, pidana mati harus mempertimbangkan kondisi kejiwaan terpidana. Jika terpidana memiliki gangguan kejiwaan maka tidak bisa dieksekusi mati.
"Oleh karenanya untuk mencegah adanya kesengajaan menunda eksekusi terpidana mati alasan terpidana mati sakit kejiwaan maka sakit kejiwaan yang diderita terpidana mati dapat ditunda eksekusinya harus dan didukung oleh keterangan medis yang menunjukkan bahwa terpidana mati sakit kejiwaanya," ungkapnya.
Regulasi PK dan Grasi
Poin terakhir, Burhan menyoroti perubahan regulasi pengajuan Peninjauan Kembali (PK) dan grasi antara Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) yang berbeda.
"Surat edaran Mahkamah Agung Nomor 7 yang menyebutkan bahwa PK hanya diperbolehkan satu kali. Tetapi di dalam putusan Mahkamah Konstitusi PK bisa lebih dari satu kali dengan pertimbangan ya adalah hak asasi manusia," ucapnya.
"Itu akan menjadi sedikit problema bagi kami untuk melaksanakan eksekusi mati. Karena apa? Para terpidana mati yang sudah PK satu kali harus dipertimbangkan lagi kalau dia mau PK," ucapnya.
(mdk/ded)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Menurutnya, mulai dipelajarinya KUHP Nasional itu sangat penting untuk menyongsong Indonesia Emas 2045.
Baca SelengkapnyaHukuman mati itu sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
Baca SelengkapnyaTersangka Panca saat ini dititipkan ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Jakarta Timur.
Baca SelengkapnyaBurhanuddin menegaskan, bagi pegawai Kejati dan Kejari yang melanggar hukum, langsung ditindak tegas.
Baca SelengkapnyaMA mengabulkan permohonan kasasi Ferdy Sambo dalam kasus pembunuhan Brigadir N Yosua Hutabarat.
Baca SelengkapnyaHal ini disampaikan dirinya dalam Upacara Hari Bakti Adhyaksa ke-64
Baca SelengkapnyaMengacu pada pasal-pasal yang didakwakan, Praka RM, Praka HS dan Praka J terancam hukuman mati.
Baca SelengkapnyaJaksa menyampaikan tuntutannya dalam agenda sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Baca Selengkapnya