Johanis Tanak: Idealnya Tidak Ada Ketua KPK, Hanya Koordinator Saja
Johanis Tanak menilai, sebaiknya KPK tidak perlu memiliki seorang ketua.
Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak menilai, sebaiknya KPK tidak perlu memiliki seorang ketua. Namun, hanya koordinator saja.
Menurutnya, tidak cocok ada seorang ketua tetapi saat pengambilan keputusan melalui cara kolektif kolegial. Mestinya, jika ada posisi ketua, maka dialah yang berwenang mengambil keputusan.
"Dikatakan juga bahwa pimpinan KPK dalam mengambil keputusan collective kolegial. Tapi di sisi lain ada ketua, dalam sistem ketatanegaraan menurut hemat saya terkait kelembagaan yang namanya ketua dia pengambil keputusan," kata Johanis saat fit and proper test di Komisi III DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (19/11).
"Decision maker ada sama dia, kalau demikian bagaimana bisa mix antara keputusan yang bersifat kolektif kolegial dengan sementara ada satu ketua," sambungnya.
Maka dari itu, Johanis menilai, idealnya tidak ada ketua melainkan koordinator saja. Koordinator itu bisa bergiliran setiap tahun dari lima pimpinan KPK yang ada.
"Idealnya tidak ada ketua yang idealnya hanya koordinator saja, dan koordinator ini dari lima setiap tahun ganti-ganti saja, periode satu tahun ini si A dan periode tahun berikutnya si B. Akhirnya semua mendapat giliran sebagai kordinator," tuturnya.
Selain itu, Johanis melanjutkan, ada ketimpangan hirarki jika ada posisi ketua di KPK. Sehingga, posis ketua terkesan punya hak menentukan kebijakan dibanding pimpinan lainnya.
"Akibat adanya suatu ketua dia merasa sayalah ketua saya menentukan kebijakan dalam lembaga ini. Inilah yang rasanya tidak pas dan tidak perlu ada wakil, pimpinan saja, kalau pimpinan dia punya kedudukan yang sama kalau ketua rasanya ada perbedaan hierarki sehingga terjadi ketimpangan," pungkasnya.
Bakal Hapus OTT KPK
Johanis Tanak ingin menghapus Operasi Tangkap Tangkap (OTT) jika kembali menjadi pimpinan KPK. Dia menilai OTT adalah cara yang tidak tepat. Selama ini, OTT merupakan cara yang kerap dipakai saat KPK ingin menangkap seseorang.
"Mohon izin walaupun saya di pimpinan KPK, saya harus mengikuti, tapi berdasarkan pemahaman saya OTT sendiri itu tidak pas, tidak tepat. Karena OTT terdiri dari operasi tangkap tangan," kata Johanis saat fit and proper test di Komisi III DPR, Jakarta, Selasa (19/11).
Merujuk KBBI, Johanis menyebut, sebuah operasi layaknya seorang dokter yang akan melakukan operasi kepada pasien. Sebelum operasi, semua kebutuhan sudah direncanakan.
Sedangkan, dalam pengertian menurut KUHAP, tertangkap tangan adalah suatu peristiwa yang seketika itu juga pelakunya ditangkap, dan pelakunya langsung menjadi tersangka. Baginya, hal ini adalah pengertian yang berbeda. Menurutnya, tidak ada perencanaan dalam cara OTT.
"Terus, kalau seketika pelakunya melakukan perbuatan dan ditangkap, tentunya tidak ada perencanaan," katanya.
"Nah kalau ada suatu perencanaan operasi itu, terencana, satu dikatakan suatu peristiwa itu ditangkap, ini suatu tumpang tindih. Itu tidak tepat," ujar Johanis.
Atas dasar itu, dia menilai OTT tidak tepat. Namun, selama ini OTT sudah menjadi tradisi di KPK dan dia tak bisa menentang.
"Ya menurut hemat saya OTT itu tidak tepat. Dan saya sudah sampaikan pada teman-teman. Saya pribadi, tapi karena lebih mayoritas mengatakan itu menjadi tradisi, ya apakah ini apakah ini tradisi bisa diterapkan saya juga enggak bisa juga saya menantang," tuturnya.
Jika kembali menjadi pimpinan KPK, Johanis bakal meniadakan cara OTT karena tak sesuai dengan pengertian KUHAP.
"Tapi, seandainya bisa jadi, mohon izin, jadi ketua, saya akan tutup, close. Karena itu tidak sesuai pengertian yang dimaksud dalam KUHAP," jelasnya.
"Seperti saya katakan kita itu menjalankan peraturan perundangan. Bukan berdasarkan logika," tutup Johanis.