Kasus Kepala Basarnas, Pensiunan Jenderal TNI Ini Jelaskan Aturan Peradilan Militer
Pensiunan Jenderal TNI Ini Jelaskan Aturan Peradilan Militer buntut kasus Kepala Basarnas
KPK perlu koordinasi dengan POM TNI untuk mengusut kasus suap Kepala Basarnas
Kasus Kepala Basarnas, Pensiunan Jenderal TNI Ini Jelaskan Aturan Peradilan Militer
Anggota Komisi I DPR RI Mayjen TNI (Purn) TB Hasanuddin mendorong penegakan hukum kasus suap Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi dilanjutkan.
Tetapi, Hasanuddin menitikberatkan bahwa proses terhadap oknum TNI aktif tetap dilakukan oleh POM TNI.
"Jadi dalam kasus KPK yang melakukan OTT terhadap anggota TNI aktif ya sah-sah saja dengan catatan penangkapan tersebut dilakukan secara spontan tanpa perencanaan. Lalu setelah penangkapan, harus langsung diserahkan ke POM TNI,"
ujar TB Hasanuddin dalam keterangannya, Sabtu (29/7).
merdeka.com
Menurut politikus PDIP ini, perlu koordinasi dengan POM TNI untuk melakukan penyelidikan atas kasus Henri. Hal tersebut menurut Hasanuddin sesuai perintah undang-undang.
"Proses hukum selanjutnya seperti pengembangan kasus dan juga penetapan tersangka anggota TNI aktif harus dilakukan oleh POM TNI sesuai dengan UU,"
jelas TB Hasanuddin
Aturan Peradilan Militer
Hasanuddin menjelaskan, dalam undang-undang diatur empat jenis pengadilan. Yaitu pengadilan umum, pengadilan militer, pengadilan tata usaha negara, dan pengadilan agama. Pengadilan militer tidak bisa mengadili sipil. Begitu juga pengadilan umum tidak bisa mengadili militer. Maka dari itu, anggota TNI yang terlibat dalam kasus Basarnas harus diadili di pengadilan militer.
"Anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum tidak diadili melalui Peradilan Sipil (umum) karena belum adanya perubahan atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Lalu, pasca diberlakukannya Undang Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, Peradilan Militer masih berwenang mengadili anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum. Kondisi ini dikuatkan oleh Pasal 74 Undang Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yaitu selama Undang Undang Peradilan Militer yang baru belum dibentuk maka tetap tunduk pada Undang Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer," jelasnya.Hasanuddin menjelaskan, perlu proses yang transparan dalam mengusut kasus Kepala Basarnas tersebut. Publik juga perlu tahu proses penyelidikan dari kasus itu.
"Proses hukum harus dilanjutkan dan dilakukan secara transparan dan dibuka ke publik," tandas anggota legislator dari daerah pemilihan Jabar IX ini.
Mabes TNI menyatakan keberatan atas penetapan Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebab, militer mempunyai aturan sendiri.
Penetapan tersangka seorang prajurit militer harus dilakukan oleh TNI. Tak hanya Marsekal Madya Henri, KPK turut menetapkan tersangka Letkol Adm ABC selaku Koordinator Staf Administrasi dan Kabasarnas atas dugaan suap pengadaan barang dan jasa di lingkungan Kabasarnas.
"Kita dari tim Puspom TNI dengan KPK, kita rapat gelar perkara. Yang pada saat gelar perkara tersebut akan diputuskan bahwa seluruhnya yang terkait saat OTT tersebut akan ditetapkan sebagai tersangka. Karena berdasarkan alat bukti yang sudah cukup," kata Danpuspom TNI Marsekal Muda Agung Handoko saat jumpa pers, Jumat (28/7)."Dari tim kami terus terang keberatan kalau itu ditetapkan sebagai tersangka, khususnya untuk yang militer."
"Karena kami punya ketentuan sendiri, punya aturan sendiri," kata Danpuspom TNI Marsekal Muda Agung Handoko.