Mengapa Masih Banyak Masyarakat Tidak Percaya Penyebaran Covid-19?
Merdeka.com - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Doni Monardo dalam Rapat Kerja dengan Komisi VIII DPR, Kamis (3/9) mengungkapkan bahwa tingginya jumlah masyarakat di Jakarta yang masih tidak percaya bisa tertular virus Covid-19. Selain DKI Jakarta yang menduduki peringkat pertama, disusul oleh beberapa provinsi lain yang masyarakatnya punya pemikiran serupa antara lain Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Kalimantan Selatan.
Fenomena masyarakat yang tinggi tingkat ketidakpercayaan pada penularan Covid-19 diiringi dengan jumlah kasus di daerah tersebut yang terus berada di posisi puncak. Seperti DKI Jakarta dengan 43,400 kasus dan Jawa Timur 34,655 kasus hingga hari ini, Jumat (4/9).
"(Warga) masih menganggap Covid rekayasa, masih anggap Covid ini konspirasi. Kami akan upayakan tim gabungan bisa sasar daerah-daerah tersebut," jelas Doni dalam rapat.
-
Bagaimana orang mengakses berita? Di Inggris, hampir tiga perempat orang (73%) mengatakan mereka mendapatkan berita secara daring, dibandingkan dengan 50% untuk TV dan hanya 14% untuk media cetak.
-
Bagaimana cara mengetahui kebenaran informasi? Jangan mudah percaya dan cek setiap informasi yang kalian dapatkan, pastikan itu berasal dari sumber terpercaya, sehingga bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
-
Bagaimana cara mengecek kebenaran informasi? Jangan mudah percaya dan cek setiap informasi yang kalian dapatkan, pastikan itu berasal dari sumber terpercaya, sehingga bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
-
Di mana fakta ditemukan dalam berita? Kehadiran fakta dalam berita tidak hanya untuk membuktikan kebenaran suatu peristiwa, tetapi juga untuk membangun kepercayaan antara media dan audiensnya.
-
Bagaimana cara untuk memastikan kebenaran informasi yang kita dapat? Jangan mudah percaya dan cek setiap informasi yang kalian dapatkan. Pastikan itu berasal dari sumber terpercaya, sehingga bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
-
Bagaimana cara mengenal fakta? Dalam sebuah fakta, antara satu orang dengan orang lainnya pastinya sama karena kejadiannya jelas, tidak dapat terbantahkan serta dapat dicek kebenarannya.
Pernyataan Doni sejalan dengan penjelasan dari Psikolog Klinis dan Hipnoterapis, Alexandra G. Adeline.
"Kita lihat beritanya sama-sama kuat yang pro bahwa benar corona berbahaya dan yang kontra menyatakan corona hanya konspirasi," kata Alexandra, Jumat (4/9).
Dia menjelaskan kecenderungan manusia itu mencari informasi berdasarkan apa yang mereka percayai, apa yang membuat mereka merasa aman sehingga lebih tenang. Ada sebagian orang yang mengetahui situasi pandemi ini kemudian mencari rasa aman dan tenang dengan mencari informasi apa yang bisa dilakukan untuk menjaga diri sendiri.
Kebalikannya, sebagian yang lainnya memilih tidak percaya sehingga lebih memilih percaya ke dugaan konspirasi.
"Kita lihat banyak orang yang enggak pakai masker padahal lagi pandemi, mereka cenderung bilang konspirasi dengan berbagai alasan salah satunya belum melihat kejadian pasien mati yang terjadi di depan mata mereka," kata Alexandra.
Ditambah lagi banyak pemberitaan yang menyatakan jumlah orang tanpa gejala (OTG) lebih banyak ketimbang orang yang terpapar virus atau bahkan yang meninggal. Tidak sekadar itu saja, ketika awal pandemi sudah banyak teori konspirasi yang berkembang di masyarakat. Salah satunya konspirasi yang dari awal sudah ramai diperbincangkan adalah terkait kebocoran laboratorium biologi di China, konspirasi vaksin, permainan bisnis hingga pengembangan senjata biologis.
Terlebih ketika masyarakat semakin lama semakin kritis ditambah situasi berbulan-bulan pandemi ini terjadi dengan kondisi diri mereka atau orang sekitar tidak terinfeksi semakin membuat mereka memperdebatkan apakah virus ini nyata adanya.
Alexandra juga menjelaskan situasi ini dengan telaah teori Maslow yang menjelaskan terdapat lima kebutuhan fundamental manusia yang bentuknya segitiga dengan tingkatan. Tingkatan ini terdiri dari kebutuhan fisik, rasa aman, cinta, harga diri, dan puncaknya adalah aktualisasi.
Dari yang paling bawah, kebutuhan yang setiap hari dibutuhkan misalnya kebutuhan fisik, mencakup makan, tidur dan pemenuhan kebutuhan hidup lainnya. Menurutnya masih banyak masyarakat kurang mampu di luar sana dalam artian untuk makan saja masih sulit. Dalam teori ini menjelaskan jika manusia masih berada di tahap kebutuhan dibawahnya maka cenderung untuk tidak memikirkan kebutuhan yang ada diatasnya.
Khususnya ia menyoroti masyarakat yang terlihat tak acuh untuk membeli masker dan hand sanitizer, karena tidak menutup kemungkinan untuk makan saja mereka masih kesulitan sehingga mereka cenderung lebih percaya dengan realita di depan mereka ketimbang virus Covid-19 yang ada di berita saja.
Alex mencontohkan demo buruh pada tanggal 30 April yang pada akhirnya batal karena mendapat telah respon dari Presiden Jokowi. Artinya kalangan buruh memikirkan bagaimana survive untuk pemenuhan kebutuhan fisik yaitu makan dan pekerjaan mereka.
Hanya Percaya Apa yang Dilihatnya
Fenomena ketidakpercayaan masyarakat terhadap penyebaran virus Covid-19 ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tidak sedikit negara di luar sana yang masyarakatnya lebih memercayai teori konspirasi yang beredar.
Tidak jauh berbeda disampaikan oleh pengamat sosial Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati menilai fenomena ketidakpercayaan masyarakat terhadap penyebaran virus Covid-19 karena beberapa hal yaitu tidak ada seorang pun yang memiliki pengetahuan karena ini merupakan suatu hal yang baru, terlebih hingga kini vaksin masih belum ditemukan. Kedua, tidak ada orang yang punya pengalaman sebelumnya.
"Ketiga, ada penglihatan, orang tidak melihat langsung, kalau demam berdarah setidaknya paling tidak orang terdekat pernah kena, tapi Covid-19 apa iya Anda pernah melihat sendiri?" ujar Devie dalam percakapan telepon dengan merdeka, Jumat(4/9).
Devie menjelaskan bahwa manusia itu sangat visual, "seeing is believing" sehingga hanya memercayai apa yang dilihatnya
Berbagai hoaks dan juga konspirasi masih banyak beredar luas di internet dan tidak jarang orang yang memercayainya. Sehingga penyebaran hoaks ini menjadi salah satu pemicu dari ketidakpercayaan masyarakat.
"Jadi 4P pengetahuan, pengalaman, penglihatan, penyebaran hoaks, tidak hanya masyarakat Indonesia saja, ini bahkan terjadi di negara maju. Seperti Amerika yang menolak memakai masker secara gila gila-an. Artinya jangan salahkan masyarakat kita," sambungnya,
Lantas apa yang bisa dilakukan?
Devie menjawab ada beberapa hal yang bisa dilakukan, yaitu pertama sosialisasi tiada henti. Dia percaya masyarakat perlu disosialisasi terus menerus. Kedua, demonstrasi simbolik ia mencontohkan seperti kejadian yang baru-baru ini viral terkait dengan pelanggar masker yang dimasukan ke dalam peti jenazah, menurutnya itu menjadi langkah yang baik untuk menyadarkan masyarakat bahwa virus Covid-19 itu nyata adanya.
Menggunakan tokoh publik juga bisa menjadi cara agar apa yang disampaikan pemerintah bisa sampai ke masyarakatnya. Peran tokoh publik memang dinilai penting sebagai pemberi contoh dan panutan. Dengan cara menggunakan tokoh publik di media sosial ataupun secara langsung seperti menggunakan peran RT dan tokoh masyarakat.
"Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang hierarkis, artinya akan mengikuti orang yang dianggap status sosial lebih tinggi," tukasnya.
"Di samping itu hal yang perlu dilakukan pertama adalah mengedukasi tokoh publik jangan sampai perilaku mereka tidak sesuai dengan protokol kesehatan karena berpotensi menjadi panutan bagi pengikut atau penggemarnya. Terakhir, isolasi jika memang nantinya jumlah kasus sudah tidak terbendung lagi," pungkas Devie.
Reporter Magang: Febby Curie Kurniawan (mdk/bal)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Hal ini yang menurut ilmuwan menjadi alasan manusia takut hantu.
Baca SelengkapnyaHoaks masih menjadi ancaman nyata jelang pemilu. Masyarakat pun masih banyak yang "terjangkit" hoaks.
Baca SelengkapnyaKonspirasi mengacu pada kesepakatan rahasia di antara individu untuk terlibat dalam kegiatan ilegal atau merugikan.
Baca SelengkapnyaPara ahli teori konspirasi disebut justru memiliki alasan logis dari keyakinan terhadap kepercayaan suatu masalah.
Baca SelengkapnyaBahkan, muncul narasi menyatakan bahwa virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 tidak ada.
Baca SelengkapnyaMasyarakat harus memiliki pemikiran kritis dalam membaca berita.
Baca SelengkapnyaMasyarakat juga diminta segera melengkapi vaksinasi Covid-19, khususnya pada kelompok berisiko.
Baca SelengkapnyaJangan mudah percaya dan cek setiap informasi yang kalian dapatkan.
Baca SelengkapnyaBeredar klaim penerima vaksin Covid-19 mRNA akan meninggal dalam 3 atau 5 tahun
Baca SelengkapnyaMasyarakat diminta lakukan pola hidup bersih dan sehat
Baca Selengkapnya