Masyarakat Diminta Kritis, Lawan Konten Intoleransi di Medsos
Merdeka.com - Dunia maya dengan berbagai informasinya telah menjadi ruang publik baru di mana fakta, nilai, dan opini bertebaran secara luas. Dalam konteks inilah, masyarakat diminta tidak mudah terjebak disinformasi yang dapat memecah belah keutuhan.
Guru Besar Ilmu Filsafat dari Universitas Katolik Parahyangan (Upar) Bandung, Ignatius Bambang Sugiharto mengatakan, dalam menggunakan media sosial (medsos) sebetulnya banyak peluang yang bisa dilakukan para pengguna medsos untuk tetap menjaga sikap rasional
"Saya kira kita harus belajar berpikir terbuka dalam melihat perbedaan komentar dari berbagai pihak di media sosial. Karena orang bisa belajar melihat mana komentar dangkal, mana mendalam dan mana yang nalarnya bagus," ujar Bambang dalam keterangannya, Kamis (30/1).
-
Bagaimana media sosial bisa berdampak negatif? Remaja yang menghabiskan waktu berlebihan di media sosial sering kali mengalami tingkat kecemasan dan depresi yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak terlalu aktif di platform tersebut.
-
Apa dampak dari ujaran kebencian di media sosial? Media sosial menjadi salah satu aspek yang ditekankan, karena berpotensi disalahgunakan lewat ujaran kebencian.
-
Kenapa informasi yang salah berbahaya? 'Sering kali orang terdekat justru memberikan informasi yang tidak terbukti kebenarannya sehingga menghalangi para pejuang kanker payudara mendapatkan pengobatan lanjutan,' jelasnya.
-
Informasi apa yang disebarluaskan? Diseminasi adalah proses penyebaran informasi, temuan, atau inovasi yang direncanakan, diarahkan, dan dikelola agar dapat dimanfaatkan oleh kelompok target atau individu.
-
Mengapa penghindaran berita meningkat? Para penulis laporan ini memperkirakan kenaikan angka ini disebabkan oleh berita perang di Ukraina dan Timur Tengah. Saat ini, penghindaran berita berada pada tingkat rekor tertinggi.
-
Bagaimana fakta sosial memengaruhi individu? Fakta sosial bersifat eksternal, umum, dan memaksa terhadap individu.
Bambang menyayangkan masyarakat umumnya belum bisa memfilter informasi dengan baik."Cara terbaik menghadapi medsos adalah dengan memperdalam kemampuan untuk merenung, membiasakan membaca esai atau tulisan-tulisan berbobot. Ini agar daya kritis kita bisa terus terasah," kata pria yang juga dosen di Fakultas Filsafat Unpar ini.
Lebih lanjut, Dia menyampaikan bahwa ada banyak hal yang bisa menjadi penyebab dari penyebaran intoleransi dan juga radikalisme di medsos. Pertama, krisis identitas dimana individu atau kelompok merasa tidak dihargai dalam lingkungan sosialnya kemudian dia mencari pelarian di medsos. Kedua, emosi yang labil, hal ini rentan untuk dipermainkan dan disusupi oleh kelompok tertentu yang memiliki kepentingan.
"Masyarakat bersikap kritis dalam menggunakan media sosial, membentengi diri agar tidak mudah terprovokasi yang bersumber dari satu pihak atau golongan tertentu saja," tuturnya.
Hal ini juga sekaligus sebagai upaya masyarakat untuk membentengi dirinya agar tidak mudah disusupi paham-paham radikalisme negatif dan melakukan perbuatan intoleransi terhadap pihak lain yang berbeda baik dari segi pandangan, pilihan keyakinan dan sebagainya.
"Dalam arti begini, kita harus melihat bahwa radikalisme itu jelas-jelas destruktif, dan tentunya tidak mungkin dikehendaki Tuhan. Karenanya perlu kekuatan masyarakat yang kritis untuk bersatu menolaknya, dengan cara apa pun sejauh manusiawi dan non-violent meskipun memang tidak mudah," ujarnya.
Dia mengungkapkan bahwa kaum milenial sebagai populasi terbesar di medsos harus dibiasakan untuk melihat perbedaan sebagai suatu keindahan dalam cara berpikir.
"Di mana cara-cara berpikir yang indokrtinatif perlu dihindarkan, dan diganti dengan keberanian untuk mempertanyakan dan meragukan setiap opini dan fakta yang ada. Sikap kritis itu natural, karena otak manusia itu diciptakan untuk berpikir," imbuhnya.
Selain itu, pria yang juga anggota Asosiasi Filsafat Indonesia (Asafi) ini juga menyampaikan perlunya peran serta dari pemerintah untuk menanggulangi penyebaran paham radikalisme yang menyebar melalui di media sosial agar tidak semakin masif dan menjangkiti masyarakat.
"Saya kira kontra radikalisasi itu perlu dijalankan sejak pendidikan dasar dengan memupuk sikap pluralis dan toleran terhadap yang berbeda. Sebetulnya saya lihat pemerintah sudah ke arah itu. Hanya saja hal seperti itu perlu lebih diintensifkan lagi agar masyarakat ini memiliki daya tahan terhadap pengaruh-pengaruh negatif yang bisa memecah belah bangsa kita ini," pungkasnya.
(mdk/did)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Hoaks dapat memecah belah persatuan bangsa, mengganggu stabilitas politik.
Baca SelengkapnyaMasyarakat jangan mudah terpapar informasi hoaks dan ujaran kebencian yang dapat memicu konflik.
Baca SelengkapnyaMasyarakat harus memiliki pemikiran kritis dalam membaca berita.
Baca SelengkapnyaGenerasi muda Indonesia seringkali dihadapkan pada perdebatan yang tidak produktif di dunia maya.
Baca SelengkapnyaKonten negatif berupa berita bohong dan intoleransi dapat merusak keutuhan bangsa.
Baca SelengkapnyaHoaks masih menjadi ancaman nyata jelang pemilu. Masyarakat pun masih banyak yang "terjangkit" hoaks.
Baca SelengkapnyaPeningkatan akses informasi lebih mudah, memilih sumber informasi yang kredibel, hingga menganalisis data dari berbagai sudut pandang dirasa sangat penting.
Baca SelengkapnyaHal ini bisa dilihat langsung di media sosial, banyak yang melakukan framing pihak lawan dengan citra negatif.
Baca SelengkapnyaRuang digital harus diisi dengan konten-konten yang positif dan karya yang baik.
Baca SelengkapnyaBahkan, banyak negara di dunia yang mengalami kekacauan karena tidak bisa menyaring konten hoaks di dunia digital.
Baca SelengkapnyaNarasi-narasi provokatif dapat memicu perpecahan harus dihindari terlebih di tahun politik.
Baca SelengkapnyaMenurut Bery, hoaks menggunakan kecerdasan buatan memang sudah cukup meresahkan.
Baca Selengkapnya