Menag Yaqut Jelaskan Skema Murur Saat Mabit di Muzdalifah, Sudah Pertimbangankan Aspek Hukum Fiqih
Menag Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, keputusan murur saat bermalam di Muzdalifah telah dikaji dengan mempertimbangkan aspek hukum fikih dan keamanan jemaah.
Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, keputusan murur saat bermalam di Muzdalifah telah dikaji dengan mempertimbangkan aspek hukum fikih dan keamanan jemaah.
Menag Yaqut Jelaskan Skema Murur Saat Mabit di Muzdalifah, Sudah Pertimbangankan Aspek Hukum Fiqih
Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) merencanakan penerapan skema murur saat mabit (bermalam) di Muzdalifah.
Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, keputusan tersebut telah dikaji dengan mempertimbangkan aspek hukum fikih dan keamanan jemaah.
"Sudah ada beberapa pilihan skema murur karena memang kita tidak hanya boleh bicara sekadar bagaimana murur itu bisa dilaksanakan dengan mudah. Di situ, ada hukum fikih yang saya kira juga perlu didiskusikan," kata Yaqut di Jeddah, Minggu (9/6) malam.
Pengertian Mabit di Muzdalifah
Sebagai informasi, mabit di Muzdalifah dengan cara murur merupakan bermalam yang dilakukan dengan cara melintas di Muzdalifah, setelah menjalani wukuf di Arafah.
Saat melewati kawasan Muzdalifah, jemaahtetap berada di atas bus atau idak turun dari kendaraan, lalu bus langsung membawa mereka menuju tenda Mina.
"Tadi teman-teman sudah berdiskusi dengan Mustasyar Diny, tim para ulama, yang memberikan justifikasi secara hukum dan kesimpulannya diperbolehkan," kata Gus Men sapaan akrabnya.
Skema Murur
Sejalan dengan itu, Gus Men mengatakan, Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) tengah mengatur, skema murur yang paling memungkinkan. Sejumlah teknis pergerakan jemaah dikaji dan diperhitungkan.
"InsyaAllah segera difinalisasi skemanya, termasuk mempertimbangkan animo yang besar sekali dari jemaah haji untuk mengikuti murur ini. Mudah-mudahan hari ini bisa kita rumuskan yang terbaik buat jemaah dan memastikan bahwa murur itu bisa berjalan dengan lancar," tutur Gus Men.
Skema murur menjadi ijtihad dan ikhtiar bersama dalam menjaga keselamatan jiwa jemaah haji Indonesia di tengah keterbatasan area di Muzdalifah.
Mengingat area yang diperuntukkan bagi jemaah haji Indonesia seluas 82.350m2 dengan total jemaah sekitar 241.000 orang.
Pada 2023, area ini ditempati sekitar 183.000 jemaah haji Indonesia yang terbagi dalam 61 maktab. Sementara ada sekitar 27.000 jemaah haji Indonesia (9 maktab) yang menempati area Mina Jadid. Sehingga, setiap jemaah saat itu hanya mendapatkan ruang atau tempat (space) sekitar 45 centimeter di Muzdalifah.
Sementara di 2024, Mina Jadid tidak lagi ditempati jemaah haji Indonesia. Sehingga, 213.320 jemaah dan 2.747 petugas haji akan menempati seluruh area Muzdalifah. Padahal, tahun ini juga ada pembangunan toilet yang mengambil tempat (space) di Muzdalifah seluas 20.000 m2.
Untuk itu, ruang yang tersedia untuk setiap jemaah jika semuanya ditempatkan di Muzdalifah, hanya 29 cm2. Artinya tempat di Muzdalifah menjadi semakin sempit dan ini berpotensi sangat padat luar biasa yang jika dibiarkan akan dapat membahayakan jemaah.
Skema murur diprioritaskan bagi jemaah yang mengalami risiko tinggi (risti) secara medis, lanjut usia (lansia), disabilitas, berkursi roda, serta para pendamping jemaah (risti, lansia, disabilitas, dan berkursi roda).
Direktur Bina Haji Arsad Hidayat menambahkan, pihaknya telah mendiskusikan masalah murur dengan pihak-pihak di Arab Saudi, baik Masyariq, Naqabah, maupun Kementerian Haji dan Umrah. Di Indonesia, hal ini juga tekah didiskusikan dengan sejumlah ormas, baik NU, Muhammadiyah, Persis, Al Wasliyah, dan lainnya.
"Kami juga mendiskusikan hal ini dengan Mustasar Diny yang terdiri dari para ulama. Mereka juga mendukung terkait rencana skema murur yang dijalankan pemerintah," kata Arsad mengakhiri.