Pemburu Satwa Dilindungi di Aceh Bakal Diberi Tambahan Hukuman 100 Cambuk
Merdeka.com - Hukum cambuk bagi pelaku kejahatan satwa liar dilindungi di Provinsi Aceh di ujung tanduk. Hukuman tambahan itu terancam batal diterapkan setelah Pemerintah Aceh melakukan pertemuan dengan pihak Kementerian Dalam Negeri (Mendagri) terkait pembahasan aturan tersebut.
Dalam pertemuan tidak disepakati pelaku kejahatan satwa liar dilindungi dihukum cambuk dan ditembak. Sebab, dinilai tidak masuk dalam substansi penerapan syariat Islam sesuai dengan Qanun Jinayat.
Qanun Aceh tentang Pengelolaan Satwa Liar yang disahkan dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh periode 2014-2019 pada Jumat (27/9) lalu, terancam seperti Qanun Bendera dan Lambang Aceh. Hingga sekarang belum ada titik temu dan tidak bisa diterapkan oleh Pemerintah Aceh.
-
Mengapa Dewan Banteng dibentuk? Atas kekecewaan itulah, lahirnya sebuah divisi bernama Dewan Banteng yang berisi mantan anggota perwira maupun prajurit yang merasa kecewa.
-
Siapa pemimpin Dewan Banteng? Dewan Banteng resmi terbentuk pada tanggal 25 November 1956 yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein.
-
Bagaimana cara pengesahan RUU Desa? Selanjutnya, Puan menanyakan persetujuan kapada anggota Dewan. 'Apakah RUU tentang Desa dapat disetujui untuk disahkan menjadi Undang-Undang?,' tanya Puan dan dijawab setuju. Puan lantas mengetuk palu pengesahan.
-
Mengapa Kementan melakukan Opla Rawa di Aceh Utara? 'Kita bukan buka sawah baru lagi, tetapi mengoptimalkan lahan rawa yang sudah ada dengan Irigasi yang baik, pengolahan tanah yang lebih baik, dengan bibit yang benar sehingga IP bisa terdongkrak dan produksi meningkat,' ujar Mentan Amran, Rabu (15/5).
-
Kapan Domba Batur diakui secara resmi? Persilangan ini kemudian menghasilkan galur baru yang diakui secara resmi oleh Kementerian Pertanian pada tahun 2011.
-
Apa yang DPR sesalkan? 'Yang saya sesalkan juga soal minimnya pengawasan orang tua.'
Hukum pidana bagi pelaku kejahatan satwa dilindungi merujuk pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Sedangkan cambuk merupakan hukuman tambahan yang diatur dalam qanun tersebut.
Ketentuan pidana tersebut diatur dalam qanun tersebut pada BAB XIIII Pasal 36 ayat (1) "Setiap Orang dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dipidana dengan merujuk pada ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya."
Sedangkan hukuman tambahan itu termaktub pada ayat (2) "Setiap orang dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf a sampai dengan huruf e dan huruf g diancam dengan 'uqubat ta'zir cambuk paling banyak 60 (enam puluh) kali atau denda paling banyak 600 (enam ratus) gram emas murni."
Lalu ayat (4-5) bila ada pejabat yang berwenang melakukan pembiaran karena kelalaiannya mengeluarkan izin terjadinya kejahatan perlindungan satwa dilindungi ini diancam dengan hukuman tambahan cambuk 100 kali atau denda paling banyak 100 gram emas murni. Sedangkan hukuman utamanya tetap merujuk pada undang-undang konservasi.
Persoalan itulah kemudian Mendagri belum mengeluarkan nomor regestrasi untuk dilembar negarakan qanun tersebut agar bisa diimplementasikan di Tanah Rencong. Hingga sekarang proses fasilitasi yang sifatnya wajib masih berada di meja Mendagri.
Kepala Biro Hukum Pemerintah Aceh, Amrizal J Prang menjelaskan, sebelum paripurna pengesahan qanun inisiatif dewan ini sudah ada lampu merah, bahwa hukum tambahan dengan dicambuk tidak disepakati oleh Mendagri.
Kendati demikian, materi qanun tersebut secara umum tidak dipermasalahkan oleh Mendagri. Bila hukum tambahan berupa cambuk diperbaiki, qanun tersebut langsung diberikan nomor regestrasi oleh Mendagri.
"Sebelum paripurna dikirim untuk fasilitasi, Mendagri tidak sepakat hukum cambuk, secara umum gak ada masalah," kata Amrizal J Prang, di Banda Aceh, Selasa (8/10).
Fasilitasi dengan Mendagri setiap aturan yang dibuat di daerah sifatnya wajib. Konsekuensi tidak mengikuti apa yang tidak diterima oleh Mendagri tidak dikeluarkan nomor regetrasi nantinya.
Qanun ini pun kemudian terancam seperti qanun Bendera dan Lambang Aceh yang tak bisa diterapkan sekarang, karena tidak ada titik temu antara Pemerintah Aceh dengan Mendagri.
Amrizal J Prang mengakui, secara umum qanun Bendara dan Lambang memang berbeda. Tetapi ada sedikit kesamaan ketika Mendagri tidak ada kata sepakat.
"Kalau qanun bendera konteks berbeda, ada colling down dan sedikit banyaknya hampir sama juga, enggak diberikan nomor registrasi bermasalah juga," tukasnya.
Amrizal J Prang mengatakan, tidak disepakatinya adanya hukuman tambahan dengan dera cambuk, karena mereka beranggapan qanun tersebut tidak berkaitan langsung dengan penerapan syariat Islam. Termasuk memiliki pengaruh besar terhadap publik nantinya.
Alasan lain yang disampaikan Mendagri, sebut Amrizal J Prang, Pemerintah Indonesia tidak mengenal sanksi dalam bentuk cambuk. Menyangkut dengan adanya cambuk di Aceh seperti diatur dalam Qanun Jinayat, itu diperbolehkan karena Serambi Mekah berlaku penerapan hukum Syariat Islam.
"Dalam konteks syariat oleh pemerintah karena Aceh berlaku syariat Islam, maka sistem hukum dalam penerapan syariat Islam tidak ada alasan menolak (hukum cambuk), karena qanun ini dianggap bukan substansi syariat," tukasnya.
Qanun Aceh tentang Pengelolaan Satwa Liar saat ini berada di tangan Mendagri. Bila pemerintah Aceh bersama DPRA tidak melakukan perbaikan dalam klausul pidana cambuk. Besar kemungkinan Mendagri tidak mengeluarkan nomor regestrasi.
Lahirnya qanun ini bergerak keresahan tingginya perburuan satwa dilindungi di Aceh selama ini. Seperti data dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, konflik gajah dengan manusia selama 4 tahun terakhir mengalami naik turun. Pada tahun 2015 lalu ada 39 kali konflik gajah manusia, meningkat menjadi 46 kali tahun 2016.
Namun jumlah gajah tewas tahun 2015 tertinggi dalam kurun waktu 4 tahun terakhir, yaitu sebanyak 14 ekor. Lalu turun drastis pada tahun berikutnya, yaitu 2017 hanya 5 ekor yang ditemukan tewas.
Konflik gajah dengan manusia terus terjadi peningkatan. Pada 2017 menjadi tahun tertinggi konflik satwa selama 4 tahun terakhir, yaitu mencapai 103 kali. Namun mengalami penurunan yang signifikan pada tahun 2017 hanya 71 kali konflik.
Sebanding dengan terjadi konflik, tahun 2017 juga bisa disebutkan tahun yang tinggi gajah tewas yaitu mencapai 13 ekor. Lalu pada tahun 2018 hanya ditemukan 11 ekor gajah tewas dengan berbagai macam penyebab.
Gajah sumatera secara undang-undang menjadi satwa yang dilindungi dari 4 satwa kunci lainnya. Yaitu Harimau Sumatera, Orangutan Sumatera dan Badak Sumatera. Keempat satwa kunci itu terancam punah di Aceh.
Semakin tinggi konflik satwa dengan manusia, semakin tinggi pula kerentanan punahnya satwa langka tersebut. Gajah sumatera misalnya, saat ini di Aceh populasinya hanya kisaran 500 sampai dengan 600 individu. Bila ini tidak diselamatkan, kedepan anak cucu hanya bisa melihat foto.
Sedangkan temuan jerat atau perangkat satwa dilindungi di Tanah Rencong berdasarkan laporan Forum Konservasi Leuser tahun 2018 ada 613 kasus perburuan, 96 temuan satwa mati, 38 perburuan diturunkan, 843 jerat diamankan, 176 camp pemburu dimusnahkan.
Adapun jenis satwa yang paling banyak ditemukan jerat adalah burung 140 jerat, rusa, kijang, kambing hutan 278 jerat, landak dan mamalia kecil 192 jerat dan harimau/beruang 233 jerat.
Secara umum kasus perburuan terjadi penurunan tahun 2018, tetapi temuan jerat/perangkap justru meningkat pada tahun 2018 dibandingkan 2017. Jumlah kasus temuan perburuan tahun 2017 sebanyak 729 kasus, turun dibandingan tahun 2018 hanya 613 kasus. Sedangkan jerat justru semakin banyak ditemukan tahun 2018 mencapai 843 jerat dan 2017 hanya 814 jerat.
(mdk/gil)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Prosesi hukuman cambuk terhadap sembilan orang terpidana yang berlangsung di halaman Masjid Al-Falah.
Baca SelengkapnyaRUU Masyarakat Adat dinilai janji Jokowi 10 tahun lalu
Baca SelengkapnyaMajelis hakim panel memberikan waktu 14 hari kepada pemohon untuk menyempurnakan permohonannya.
Baca SelengkapnyaPolisi sebut Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Bali, tidak pernah menahan terdakwa Sukena.
Baca SelengkapnyaMK telah memberikan koreksi terhadap Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Baca SelengkapnyaPemburu ini mengaku menyimpan gading gajah di perkebunan kelapa sawit di Desa Padang Sikabu, Kecamatan Woyla, Aceh Barat.
Baca SelengkapnyaApapun latarbelakangnya, pembunuham hewan dilindungi melanggar undang-undang.
Baca SelengkapnyaPemprov Bali mengaku prihatin atas kasus yang menimpa terdakwa I Nyoman Sukena. Tetapi soal proses hukum, pihaknya harus menghormati yang sedang berjalan.
Baca Selengkapnya4 Maret 2024, terdakwa Sukena ditangkap oleh penyidik dari Polda Bali karena memelihara empat ekor landak Jawa.
Baca SelengkapnyaPolisi memastikan ZH kini telah ditetapkan sebagai tersangka kasus pemerkosaan itu.
Baca SelengkapnyaHewan dilindungi yang ditemukan Owa Siamang jantan warna hitam, Kucing Kuwuk, anak Musang ekor putih, dan anak burung Kekep Babi.
Baca SelengkapnyaTerdakwa mengaku tidak tahu memelihara landak Jawa, yang merupakan hama di kampungnya, tidak dibenarkan dan ada ancaman pidananya.
Baca Selengkapnya