Pengalaman Pahit Aceh Saat Darurat Sipil
Merdeka.com - Publik sempat dihebohkan dengan wacana Darurat Sipil sebagai opsi terakhir dalam menghadapi pandemi Covid-19 di Indonesia. Beragam tanggapan muncul usai diumumkan wacana tersebut. Pro kontra terjadi, solusi menghadapi virus mematikan itu tidak seharusnya menerapkan status tersebut.
Akhirnya Presiden Joko Widodo atau Jokowi meluruskan bahwa Indonesia belum membutuhkan penerapan darurat sipil untuk menangani pandemi Covid-19. Menurutnya, yang dilakukan pemerintah saat ini adalah menerapkan skenario ringan, moderat, sedang hingga terburuk.
Aceh punya pengalaman pahit dengan status tersebut. Kala itu, Presiden Megawati Soekarnoputri menetapkan Aceh status Darurat Sipil pada 16 tahun lalu, tepatnya 19 Mei 2004.
-
Kapan bencana Tsunami Aceh terjadi? Peristiwa gempa dan tsunami Aceh pada 2004 masih terus dikenang sampai saat ini.
-
Kapan Tsunami Aceh terjadi? Provinsi Aceh pernah dilanda bencana Tsunami yang dahsyat. Beberapa di antaranya kini menjadi spot-spot wisata untuk mengenang kejadian tersebut. Sama halnya dengan Desa Wisata Ulee Lheue yang terkena dampak langsung dari Tsunami pada 2004 silam.
-
Kenapa operasi militer di Aceh dimulai? Operasi ini mulai dilakukan setelah ultimatum selama dua minggu agar GAM menerima otonomi khusus untuk Aceh di bawah NKRI.
-
Siapa yang menetapkan status siaga darurat? “Untuk antisipasi dampak dari kekeringan yang semakin meluas, BPBD telah menetapkan status siaga darurat kekeringan.
-
Kapan operasi militer di Aceh dimulai? Operasi Militer Indonesia di Aceh atau disebut dengan Operasi Terpadu yang melibatkan pasukan Batalyon Infanteri 330 Tri Dharma ini berlangsung sejak 2001 hingga 2003 melawan pemberontak Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
-
Kapan tsunami Aceh terjadi? Peristiwa menyedihkan terjadi di bumi serambi Mekkah Indonesia, Aceh. Pada tahun 2004 tepatnya pada hari Minggu pagi, tanggal 26 Desember.
Meskipun sebelumnya 19 Mei 2003 Megawati juga pernah menerapkan status Darurat Militer di Aceh. Dalam status itu, pengamanan diserahkan kepada Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD), yaitu Panglima Kodam Iskandar Muda.
Setelah Darurat Militer diturunkan menjadi Darurat Sipil, pejabat sipil alias gubernur/kepala daerah setempat yang memegang kendali keamanan suatu daerah. Kedua status keamanan itu diatur dalam UU No.23/Prp 1959 tentang Keadaan Bahaya.
Selama pemberlakuan Darurat Militer maupun Darurat Sipil memang jam malam tetap berlaku. Warga tidak dibenarkan ada aktivitas pada malam hari. Semua diminta untuk tetap berada di rumah masing-masing.
Sekilas tidak jauh berbeda dengan situasi sekarang. Penerapan physical distancing, warga diminta jaga jarak fisik dan diminta tetap berada di rumah masing-masing. Karena salah satu cara untuk memutuskan mata rantai penularan Covid-19 dengan menghindari kontak fisik, tidak ada kerumunan.
Selama penerapan status Darurat Militer dan Darurat Sipil di Aceh cukup berdampak pada sosial ekonomi dan politik di tengah-tengah masyarakat. Warga terkekang, tidak leluasa mencari nafkah. Banyak masyarakat kemudian hanya memilih duduk diam di rumah, karena takut akan berhadapan dengan aparat keamanan.
Begitu ada banyak pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terjadi. Data Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh mencatat, ada 3.040 orang penyintas pelanggaran HAM di Aceh selama kurun waktu Aceh berkonflik yang belum terselesaikan hingga sekarang.
Koordinator KontraS Aceh, Hendra Sahputra menilai, menghadapi pandemi Covid-19 tidak tepat pemerintah menerapkan Darurat Sipil. Karena musuhnya tidak terlihat, saat Aceh masih berkonflik sudah jelas musuh yang akan dihadapi.
Ada banyak perbedaan situasi yang sedang dihadapi pemerintah sekarang. Saat Aceh menerapkan Darurat Sipil 16 tahun lalu musuhnya dapat diukur. Namun sekarang musuh tidak kelihatan, Hendra mempertanyakan bagaimana mekanisme mengukur pertanggungjawaban dan akuntabilitas nantinya.
"Bagaimana penggunaan anggarannya kalau sekarang diterapkan Darurat Sipil, ini patut dipertanyakan," sebut Lawhan, sapaan akrab Hendra Sahputra saat berbincang dengan merdeka.com.
Menurut Lawhan, tanpa penerapan Darurat Sipil sekali pun warga sekarang sudah mulai patuh melakukan physical distancing. Semua sekarang sudah mulai patuh tetap berada di rumah masing-masing.
Bahkan ada kampung di Banda Aceh mulai memberlakukan karantina mandiri. Akses keluar masuk menuju perkampungan mulai ditutup. Warga dilarang beraktivitas selama dua pekan untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Seperti di Lampaseh Kota, Kecamatan Kuta Raja, Banda Aceh sejak sepekan ini mulai karantina mandiri, menyusul ditemukan dua orang dinyatakan positif Covid-19 dan sekarang sedang dirawat di Rumah Sakit Umum Zainal (RSUZA), Banda Aceh.
Begitu juga di kampung Lambung, Kecamatan Meuraxa juga dan sejumlah kampung lainnya. Semenjak wali kota Banda Aceh mengimbau agar tetap selalu berada di rumah, mulai patuh. Meskipun ada juga sejumlah orang masih berada di luar rumah.
Kata Lawhan, ada sebagian kampung yang menyediakan kebutuhan pokok secara mandiri menggunakan anggaran desa. Warga secara swadaya juga membantu masyarakat miskin lainnya untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.
"Makanya yang harus dilakukan pemerintah itu, bagaimana bisa membantu masyarakat yang sudah patuh itu. Membantu logistik kebutuhan pokok, bukan malah terapkan Darurat Sipil," jelasnya.
Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Nasir Djamil juga mengkritik rencana penerapan Darurat Sipil menghadapi Covid-19. Pemberlakuan Darurat Sipil akan berpotensi terjadinya pelanggaran HAM.
Inilah kemudian banyak masyarakat mengkhawatirkan bila Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerapkan status Darurat Sipil menghadapi pandemi Covid-19. Situasi ini sudah pernah terjadi di Aceh 16 tahun lalu. Aceh pernah berada di situasi tersebut, tentunya banyak pihak tidak menginginkan itu kembali terjadi.
Menurut politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengungkapkan, penerapan Darurat Sipil menghadapi Covid-19 menunjukkan presiden Jokowi bingung menghadapi wabah Covid-19.
"Ini terlihat dari pernyataan yang sering tidak sesuai dengan realita yang ada," kata Nasir Djamil.
Yang harus dilakukan pemerintah saat ini, sebutnya, memikirkan dampak dari wabah Covid-19. Seperti menurunnya daya beli masyarakat miskin. Oleh karena itu harus dipikirkan untuk memberikan kompensasi ekonomi pada masyarakat miskin.
Semestinya presiden Jokowi menggerakkan fungsi organisasi kepemerintahan, bukan malah pendekatan kekuasaan yang diterapkan untuk menghadapi Covid-19.
Nasir Djamil menilai yang paling tepat diberlakukan sekarang adalah darurat kesehatan atau kemanusiaan akibat wabah Covid-19. Karena wabah tersebut telah menimbulkan dampak kemanusiaan, kesehatan, pekerjaan ekonomi dan politik.
Hal ini seperti diamanahkan dalam konsisten UU Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana dan UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Karantina Kesehatan.
"Yang paling tepat itu mengoptimalkan UU tentang kebencanaan dan karantina kesehatan," ulasnya.
Kalau Darurat Sipil diterapkan. Nasir Djamil mengkhawatirkan akan terjadi pelanggaran HAM kembali di Indonesia. Padahal rakyat sekarang butuh ketenangan dalam menghadapi wabah mematikan itu.
Dalam menghadapi Covid-19 seharusnya pemerintah meletakkan otoritas tertinggi dalam upaya penanganan Covid-19 berada di sektor kesehatan, bukan mewujudkan darurat sipil, apalagi darurat militer.
Meskipun tak haram bila ada pelibatan polisi dan TNI. Tetapi harus dilakukan dengan proporsional dan professional. Misalnya dalam jumlah terbatas dan bersifat perbantuan kepada otoritas kesehatan dalam menjalankan misi kemanusiaan, serta tidak melakukan tindakan di luar hukum atau mandat yang ada.
Negara juga harus memastikan bahwa darurat kesehatan ini tidak dijalankan dengan represif seperti diperlihatkan beberapa negara, melainkan mengedepankan penyadaran publik yang menjamin keberlanjutan physical distancing.
Bila pemerintah menerapkan undang-undang tentang Karantina Kesehatan. Konsekuensinya pemerintah wajib menyediakan kebutuhan harian masyarakat. Mempercepat persiapan dan penyediaan bantuan sosial dan jaring pengamanan sosial.
Begitu juga pemerintah wajib menyediakan dan memproduksi alat pelindung diri bagi pekerja kesehatan, membuat cairan antiseptik serta masker untuk dibagikan secara gratis kepada masyarakat.
Sementara kalau Darurat Sipil diberlakukan pemerintah tidak memiliki kewajiban untuk menanggung pembiayaan kebutuhan sehari-hari untuk masyarakat.
"Apapun alasan negara tidak boleh punya pikiran picik seperti itu. Pembukaan konstitusi disebutkan negara melindungi segenap tumpah darah Indonesia," tegasnya.
Fungsi negara, sebutnya, wajib melindungi seluruh warganya. Kalau negara tidak melindungi, ini patut dipertanyakan keberadaan negara. Padahal warga berharap ada perlindungan maksimal dari Negara dalam situasi seperti sekarang.
"Buang jauh-jauh kepada presiden Jokowi pikiran untuk menerapkan Darurat Sipil dalam menghadapi corona. Masukkan pikiran itu dalam kotak dan kuburkan," tukasnya.
(mdk/cob)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
SBY mengaku masih merasakan duka mendalam akibat tsunami yang terjadi di Aceh pada 19 tahun silam, 26 Desember 2004.
Baca SelengkapnyaSemasa bertugas di Aceh, sosoknya punya kisah mencekam.
Baca SelengkapnyaPeringatan 19 tahun bencana tsunami Aceh yang menewaskan 230.000 jiwa diwarnai isak tangis keluarga dan kerabat yang berdoa di pemakaman massal.
Baca SelengkapnyaDi sana SBY dan AHY serta sejumlah petinggi Partai Demokrat, menabur bunga di makam tanpa nisan tersebut.
Baca SelengkapnyaPeristiwa kelam ini cukup memberikan luka mendalam bagi masyarakat Aceh yang dilakukan oleh aparat TNI di era konflik Aceh.
Baca SelengkapnyaBerawal dari Agresi Militer Belanda Kedua pada 19 Desember 1948, PDRI pun didirikan di Sumbar.
Baca SelengkapnyaAceh disebut jadi daerah yang sangat sulit ditaklukkan oleh penjajah, ternyata ini alasannya.
Baca SelengkapnyaDia pun merasa heran kenapa saat Indonesia sudah merdeka justru banyak orang yang lebih stress
Baca SelengkapnyaDalam ziarah menjelang peringatan 19 tahun tsunami Aceh ini, SBY didampingi putranya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Baca SelengkapnyaTsunami besar menyapu bersih tanah serambi mekkah pada 26 Desember 2004.
Baca SelengkapnyaMenjadi elit PDIP dan langganan sebagai Anggota DPR RI tidak diperoleh dengan mudah begitu saja oleh MH Said Abdullah.
Baca SelengkapnyaPutra Aceh yang pernah menjadi diplomat RI serta tokoh di balik berdirinya Kementerian Luar Negeri (Kemlu) ini sangat menginspirasi banyak orang.
Baca Selengkapnya