Pengamat Nilai Ramai Kasus Guru Honorer Supriyani bisa Turunkan Citra Polisi, Begini Analisisnya
Aksi tersebut disayangkan Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi.
Kasus dugaan pemukulan terhadap siswa SDN 4 Baito Kabupaten Konawe Selatan berinisial D oleh gurunya Supriyani kini berbuntut panjang usai dilaporkannya tenaga pendidik tersebut ke kepolisian.
Kini, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Baito ramai-ramai menolak siswa D dan saksi kembali bersekolah di wilayah Kecamatan Baito. Perlu diketahui siswa D merupakan anak dari seorang anggota Kepolisian.
Aksi tersebut disayangkan Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi. Dia menilai penanganan kasus penganiayaan atau pemukulan terhadap murid SDN 4 Baito berinisial D (6), anak seorang polisi oleh guru honorer Supriyani dapat menurunkan reputasi polisi.
Sebelumnya Fahmi mengatakan berbagai survei menunjukkan adanya penurunan signifikan dalam tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi polri, yang dipicu oleh serangkaian kasus yang mencuat ke publik, termasuk penyalahgunaan kewenangan, tindakan represif yang berlebihan, hingga dugaan korupsi di dalam tubuh kepolisian sendiri.
"Penanganan kasus Supriyani seorang guru honorer yang dipolisikan menjadi salah satu pemicu tambahan yang memperburuk persepsi tersebut. Ketika seorang warga sipil yang dianggap tidak berdaya menghadapi proses hukum formal tanpa ada kesempatan penyelesaian secara kekeluargaan, hal ini memberikan kesan bahwa polisi kurang sensitif terhadap konteks sosial dan kurang memprioritaskan pendekatan yang lebih humanis," kata Fahmi saat dihubungi Merdeka.com, Jumat (25/10).
Fahmi mengatakan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap polri dapat berdampak serius, tidak hanya pada citra polisi namun juga pada efektivitas penegakan hukum itu sendiri.
"Ketika masyarakat merasa tidak percaya atau takut terhadap aparat, partisipasi dalam melaporkan tindak kejahatan atau bekerja sama untuk menjaga ketertiban umum bisa menurun. Akibatnya, tujuan utama dari penegakan hukum yaitu menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bisa menjadi semakin sulit dicapai," jelasnya.
Sementara itu, Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti menilai bahwa kunci penyelesaian kasus tersebut adalah kejujuran. Dia menyayangkan sulitnya kejujuran dari kedua belah pihak sehingga memperbesar masalah dalam kasus ini.
"Kasus ini sebetulnya menguji kejujuran kedua belah pihak. Sangat sederhana. Jika saja para pihak jujur, maka kasus ini tidak perlu membesar dan semua dapat diselesaikan dengan mudah. Tetapi ternyata kejujuran itu mahal harganya. Ini yg menjadi ironis," kata Poengky.
Poengky mengatakan Kompolnas selaku Pengawas Fungsional Polri hingga kini masih berkomunikasi dengan Polda Sultra dan Kapolres Konawe Selatan mengenai kronologi kasus dan penanganannya. Dia menyebut berdasarkan penelusuran, dijelaskan bahwa isu dimintainya uang damai Rp50 juta oleh orang tua korban terhadap guru honorer Supriyani tidaklah benar.
"Kompolnas juga menanyakan apakah benar ada permintaan uang dari orang tua korban kepada Ibu Supriyani, dan dijawab tidak benar ada permintaan uang," ujarnya.
Selain itu, Poengky juga mengatakan isu penahanan oleh penyidik terhadap guru honorer, Supriyani tidaklah benar. Supriyani tidak ditahan oleh penyidik, melainkan ditahan oleh jaksa.
"Kami juga menanyakan terkait informasi yang beredar di media sosial, apakah benar Penyidik melakukan penahanan terhadap Ibu Supriyani? Ternyata dijawab tidak benar jika penyidik telah melakukan penahanan. Yang melakukan penahanan adalah Jaksa," ujar Poengky.
Dia menyebut pihak penyidik sudah mengupayakan adanya penyelesaian dalam bentuk Restorative Justice sebanyak tiga kali namun masih belum ada titik temu.
Meski begitu, Poengky mengaku upaya penyelesaian melalui Restorative Justice masih terus diupayakan meski perkara sudah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri.
Reporter Magang : Maria Hermina Kristin