Perppu ormas dan potensi rezim otoriter
Merdeka.com - Pemerintah resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang perubahan atas UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang organisasi kemasyarakatan. Penerbitan Perppu ini menuai polemik dan kritik dari berbagai kalangan.
Pakar hukum tata negara sekaligus kuasa hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Yusril Ihza Mahendra menilai terbitnya Perppu tersebut adalah bentuk otoriter dari pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Hal itu tercermin dari salah satu pasal dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang ormas tersebut yakni Pasal 59 ayat (4) huruf c.
"Dengan Perppu yang baru ini, Menkum HAM dapat membubarkan ormas semaunya sendiri. Ini adalah ciri pemerintahan otoriter. Dalam praktiknya nanti, presiden bisa secara diam-diam memerintahkan Menkum HAM untuk membubarkan ormas, tanpa Menkum HAM bisa menolak kemauan presiden," kata Yusril dalam keterangan tertulisnya, Jumat (14/7) kemarin.
-
Mengapa UU Pemilu terbaru diterbitkan? Penerbitan Undang-Undang baru ini sebagai langkah signifikan dalam reformasi sistem Pemilu di Indonesia.
-
Kenapa revisi UU Kementerian Negara dilakukan? Badan Legislasi DPR bersama Menpan RB Abdullah Azwar Anas, Menkum HAM Supratman Andi Agtas melakukan rapat pembahasan terkait revisi UU Kementerian Negara.
-
Bagaimana proses revisi UU Kementerian Negara dilakukan? Ada sembilan fraksi partai politik DPR yang menyetujui Revisi UU Kementerian Negara diproses ke tahan selanjutnya.
-
Kenapa Paspampres dibentuk? Sesuai namanya, pasukan terlatih profesional dan tangguh ini diberi amanah dari negara untuk menjadi tameng hidup dalam menjaga Presiden.
-
Apa perubahan UU Pemilu terbaru? Salah satu perubahan yang tercantum pada Undang Undang Pemilu terbaru ini adalah Pasal 10A yang mengatur pembentukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di provinsi-provinsi baru.
-
Bagaimana UU Pemilu terbaru diubah? Undang Undang Pemilu tersebut terbit pasca Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2022 yang mengubah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menjadi Undang Undang yang lebih adaptif.
Yusril mengatakan, pasal itu memberikan kewenangan luas bagi pemerintah untuk menilai suatu ormas berlawanan dengan paham Pancasila atau tidak. Ormas yang melanggar pasal tersebut diberi sanksi administratif dan atau sanksi pidana.
"Jadi bisa dikenakan salah satu atau kedua-duanya," kata Yusril.
Yusril mengatakan, sanksi administratif bagi ormas berbadan hukum yang terdaftar di Kemenkum HAM sebagaimana diatur dalam Pasal 61 ayat (1) Perppu ini adalah pencabutan status badan hukum. Menurut Yusril, pencabutan status badan hukum tersebut sesuai Pasal 80A Perppu pembubaran ormas sekaligus disertai dengan pernyataan pembubaran ormas tersebut.
"Semua proses di atas berlangsung cukup dilakukan oleh Menkum HAM, baik sendiri ataupun meminta pendapat pihak lain. Tetapi proses pembubaran ormas tersebut dilakukan Menkum HAM tanpa proses pengadilan. Inilah esensi perbedaan isi Perpu ini dengan UU Nomor 17 Tahun 2013, yang mewajibkan Menkum HAM untuk lebih dulu meminta persetujuan pengadilan jika ingin membubarkan ormas. Ormas yang akan dibubarkan itu berhak untuk membela diri di pengadilan," kata Yusril.
Mantan Menkum HAM di era SBY itu menambahkan, pasal 59 ayat 4 itu pun mengatur pengurus ormas yang dianggap bertentangan dengan Pancasila bakal diberi sanksi pidana kurungan lima tahun hingga 20 tahun serta sanksi tambahan sesuai dalam Pasal 82A ayat (2) dan ayat (3). Padahal menurut Yusril, sanksi tersebut sebelumnya tidak ada dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang ormas.
"Ketentuan seperti ini sepanjang sejarah hukum di negeri kita sejak zaman penjajahan Belanda sampai zaman Orla, Orba dan Reformasi belum pernah ada, kecuali di zaman Presiden Jokowi ini," katanya.
Yusril melanjutkan, pemberian sanksi kurungan penjara itu tidak pernah ada sejak zaman orda lama maupun orde baru saat membubarkan parta politik yang dianggap bertentangan dengan Pancasila macam Masyumi dan PSI atau PKI. Dia melihat Perppu ini sengaja dibentuk untuk membidik ormas yang dibentuk sebagai anti-Pancasila untuk kemudian secara sepihak dibubarkan oleh pemerintah.
"Ormas-ormas Islam dan juga ormas-ormas lain, termasuk yayasan dan LSM, justru harus bersatu melawan kehadiran Perppu yang bersifat otoriter ini, tentu dengan tetap menggunakan cara-cara yang sah dan konstitusional," katanya.
Hal senada juga diungkapkan Wakil Ketua Komisi II DPR, Almuzzammil Yusuf. Politikus PKS ini menyatakan Perppu tersebut berpotensi kuat mengembalikan pemerintah Jokowi-JK menjadi rezim otoriter.
"Pertama, Perppu ini berpotensi membungkam ormas yang kritis terhadap kebijakan penyelenggara negara/pemerintah yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat," kata Almuzzammil dalam siaran persnya, Jumat kemarin.
Ketua Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) DPP PKS ini mencontohkan jika pemerintah sebagai penyelenggara negara menaikkan harga bahan pokok atau BBM, hakim memutus perkara yang tidak adil, gubernur menggusur semena-mena warganya kemudian ormas menyampaikan perlawanan melalui pernyataan sikap atau aspirasi sehingga menimbulkan rasa kebencian publik kepada penyelenggara negara maka ormas tersebut dapat dibubarkan dan dipidanakan.
"Jika ini terjadi maka pemerintah telah melanggar kebebasan berekspresi ormas yang dilindungi konstitusi," katanya.
Kedua, kata Muzzammil, pertimbangan pemerintah mengeluarkan Perppu karena mendesak yang disebabkan adanya aturan yang tidak komprehensif sehingga terjadi kekosongan hukum adalah tidak berdasar.
"Faktanya tidak terjadi kekosongan hukum. Malah UU No 17 Tahun 2013 telah mengatur mekanisme sanksi pelanggaran terhadap ormas secara jelas dan komprehensif," paparnya.
Sedangkan Perppu Keormasan yang dikeluarkan Pemerintah, kata Muzzammil, telah menghapus 18 Pasal dalam UU No 17 Tahun 2013 yang mengatur tentang sanksi dan mekanisme sanksi yang diberikan kepada ormas yang melanggar larangan.
"Termasuk, Perppu ini menghilangkan pasal penanganan secara persuasif oleh pemerintah dan pemerintah daerah terhadap ormas yang melanggar larangan dan menggantinya dengan pendekatan yang represif dengan cara mencabut izin kegiatan, mencabut legalitas, dan membubarkan ormas tersebut oleh Mendagri dan Menkum HAM," paparnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, Perppu tersebut juga telah menghilangkan peran pengadilan sebagai lembaga yudikatif untuk mengadili ormas yang melanggar.
"Peran pengadilan dihilangkan dan digantikan oleh subyektifitas pemerintah menilai ormas yang melanggar dengan hanya meminta pertimbangan instansi di bawah Menkopolhukam," tuturnya.
Dia menilai Perppu ini berlebihan ketika memberikan sanksi pidana seumur hidup kepada anggota atau pengurus ormas yang sengaja atau tidak melakukan pelanggaran.
"Kami masih mengkaji secara mendalam. Kami sedang meminta masukan ormas-ormas. Jika masukan ormas-ormas tersebut memperkuat kekhawatiran kami bahwa Perppu telah mencederai prinsip-prinsip negara hukum, demokrasi, dan hak partisipasi publik dalam pengawasan jalannya pemerintahan, maka FPKS tidaklah akan ragu untuk menolak Perppu tersebut," tegasnya.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto meminta Perppu tersebut tidak dipolitisir untuk diperhadapkan pemerintah dengan pihak-pihak lain. Mantan Panglima Angkatan Bersenjata (Pangab) ini menegaskan, Perppu Pembubaran Ormas dikeluarkan untuk menyelamatkan negara.
Menurutnya, keberadaan NKRI dan Pancasila tengah berada dalam kondisi mengkhawatirkan. Wiranto juga menegaskan Perppu ini bukan hasil rekayasa Presiden Jokowi apalagi rekayasa Menko Polhukam.
"Banyak pihak yang menafsirkan bahwa Perppu ini seakan-akan kerjanya pemerintah, rekayasa pemerintah atau perorangan, rekayasa di pemerintahan Pak Jokowi, direkayasa di Menko Polhukam, bukan, sama sekali bukan," kata Wiranto usai menerima Forum Advokat Pengawal Pancasila di Kantor Kemenko Polhukam Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, kemarin.
Mantan Ketua Umum Partai Hanura ini menyatakan, pemerintah menjunjung tinggi asas demokrasi dalam menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2017. Menurutnya, pihak yang merasa dirugikan diberi kesempatan mengajukan gugatan terhadap Perppu tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Apa itu bukan demokrasi? Demokratis!" sambungnya.
"Tolong ini dipahami betul, jangan dibalik-balik bahwa pemerintah seakan-akan menghabisi Ormas Islam. Tidak!" tegasnya.
(mdk/dan)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengizinkan organisasi masyarakat (ormas) keagamaan untuk mengelola pertambangan.
Baca SelengkapnyaDPR menampung usulan pembentukan undang-undang (UU) sapu jagat atau Omnibus Law Politik.
Baca SelengkapnyaAda tiga poin tuntutan organisasi pers pada aksi unjuk rasa ini.
Baca SelengkapnyaAsal memberi izin kelola tambang ke Ormas yang tidak memiliki kompetensi bisa merugikan sumber daya alam.
Baca SelengkapnyaIsi UU Kesehatan ini mengubah UU Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan.
Baca SelengkapnyaIUPK yang dikuasai oleh Badan Usaha milik ormas keagamaan tidak boleh dipindahtangankan.
Baca SelengkapnyaBahkan perusahaan pengelola tambang pun disebut Bahlil awalnya tidak mampu mengelola tambang.
Baca SelengkapnyaPDIP menyatakan Revisi UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia akan berdampak pada kebebasan publik.
Baca SelengkapnyaPerpres ini ditandatangani Jokowi pada 22 Juli 2024.
Baca SelengkapnyaSaat ini, tercatat ada sejumlah ormas agama yang sudah menyatakan bersedia menerima izin kelola tambang.
Baca SelengkapnyaKoalisi Masyarakat Sipil Minta DPR Setop Revisi UU Polri, Ini Alasannya
Baca SelengkapnyaPP Kesehatan dinilai menimbulkan pro dan kontra, salah satunya terkait penggabungan banyak klaster di dalam satu PP.
Baca Selengkapnya