'Pilkada 2024 Ini Menjadi Titik paling Buruk dari Persoalan Etik Moral'
"Jadi setting-an endorsment itu bagian proses buruk ini, kalau dulu pejabat-pejabat itu masih malu lakukan endorse, sekarang enggak malu-malu," kata Jeirry.
Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampow menilai, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 menjadi titik paling buruk dari persoalan etik moral dalam rangka mengelola demokrasi.
Hal ini dikatakan dalam diskusi yang digelar PARA Syndicate dengan tema "Setelah Pilkada 2024: Nasib Demokrasi Kita vs Masa Depan Dinasti Jokowi?".
"Pemilu 2024 diikuti Pilkada 2024 ini menjadi titik paling buruk dari persoalan etik moral dalam rangka mengelola demokrasi. Soal kita paling utama itu," kata Jeirry, Senin (2/12).
"Jadi setting-an endorsment itu bagian proses buruk ini, kalau dulu pejabat-pejabat itu masih malu lakukan endorse, sekarang enggak malu-malu. Malah nantangin, bilang terang-terangan," sambungnya.
Menurutnya, setelah pelaksanan Pilkada langsung pertama di Indonesia yang digelar di Kutai Kartanegara tahun 2005, terjadi pergeseran nilai, yang bukan menjadi baik justru semakin buruk.
"Saya meyakinkan diri saya intens melakukan itu sejak 2003. Saya merasa betul pergeseran nilai etik, politik uang sudah dari dulu, tetapi dulu masih malu-malu mengakui politik uang, sekarang enggak malu-malu lagi," ujarnya.
Dalam kesempatan ini, dia juga menyinggung soal netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) hingga TNI-Polri yang dianggap sudah bermasalah sejak dulu.
"Netralitas ASN dari dulu sudah masalah, TNI-Polri. Tapi dulu itu takut-takut, sekarang malah nantangin. Dalam situasi Pilkada seperti ini muncul orang-orang yang tidak punya akan di masyarakat tapi berani maju, fenomena itu yang kita lihat di 2024," ungkapnya.
"Itu banyak orang tidak dikenal masyarakat sama sekali, tapi berani maju karena misalnya dia ajudan Jokowi, orang dekat Prabowo, saudara dan lain-lain dan ketika mau maju, sudah ketahuan cara mainnya, kalau dia elektabiltasnya enggak mampu didongkrak saat kampanye mereka akan menggunakan aparat," sambungnya.
Oleh karenanya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) disebutnya berteriak soal Partai Cokelat (Parcok). Namun, Parcok ini juga menurutnya bukan sekarang ini saja.
"Makanya PDIP teriak Parcok tuh, partai coklat ini bukan sekarang, dari dulu dan saya kira PDIP juga menggunakan itu dulu. Jadi Parcok itu dipelihara begitu rupa dan dia mudah digunakan oleh setiap rezim yang berkuasa dan ini faktanya," sebutnya.
"Yang punya hasil pemilihan di TPS selain KPU dan Bawaslu, selain dua lembaga ini yang punya polisi ini mereka tahu lebih dulu dan punya sistem rekapitulasi yang enggak pernah dikasih, dan ini menjadikan bahan untuk main dalam proses rekapitulasi," tambahnya.
Jika gagal dipilih oleh masyarakat pada hari H, menurutnya kecurangan dan manipulasi pun akan dilakukan.
"Kalau gagal dipilih masyarakat pada hari H, kecurangan dan manipulasi akan dilakukan lewat rekapitulasi baik itu manual dan Sirekap ini, kenapa menjadi ajang permainan, karena selain KPU dan Bawaslu dan hampir tidak ada yang mempunyai hasil di TPS," jelasnya.
"Kami pemantau juga tidak punya, kalau kita tidak punya semua datanya, Jakarta ada jaga TPS," tambahnya.
Lalu, terkait dengan endorse terhadap salah satu paslon. Hal ini dinilai dapat mendongkrak suara paslon tersebut.
"Memang sekarang ini, atau dua Pemilu ini karena terbantu masyarakat, data dimiliki awal itu adalah sebagai bahan, endorse itu menjadi bahan calon itu bisa didongkrak, karena tidak ada yang sanggup mengawal datanya," paparnya.
"Model advokasi, kesalahan proses itu karena hampir tidak ada yang memiliki data komplit semua TPS termasuk pasangan calon dan partai politik, kalaupun ada dari masyarakat, dalam proses rekapitulasi itu tidak bisa dipake kenapa karena itu bukan data resmi," pungkasnya.