Polemik Hewan Dibuat Pingsan Dulu Sebelum Disembelih, Halal atau Haram?
MUI mengevaluasi dan memperbaiki tata kelola penyembelihan hewan, khususnya yang menggunakan stunning
Majelis Ulama Indonesia (MUI) melaksanakan Forum Group Discussion (FGD) untuk mengevaluasi dan memperbaiki tata kelola penyembelihan hewan, khususnya yang menggunakan stunning atau pemingsanan sebelum disembelih.
Ketua MUI Bidang Fatwa Prof KH Asrorun Ni'am Sholeh, menyampaikan, kegiatan ini digelar seiring dengan adanya beberapa masalah di lapangan dalam pelaksanaan penyembelihan yang menggunakan pemingsanan yang tidak sesuai dengan standar fatwa MUI.
“Salah satu yang jadi triger adalah adanya viral video tentang pemingsanan hewan di Surabaya yang dinilai tidak sesuai ketentuan, dan beberapa laporan sejenis di beberapa Rumah Potong. FGD ini bagian dari upaya mencari solusi terbaik, agar terjaga kepatuhan syariah dalam penyembelihan," ujarnya kepada wartawan di Aula Buya Hamka, Kantor MUI, Jakarta Pusat, Kamis (10/10).
MUI telah menetapkan fatwa Nomor 12 Tahun 2009 tentang Standar Sertifikasi Penyembelihan Halal. Dalam fatwa tersebut salah satunya mengatur jika penyembelihan dilakukan dengan cara stunning.
Syarat Stunning
Dikatakan dalam fatwa tersebut, stunning dilakukan untuk mempermudah penyembelihan hewan hukumnya boleh, dengan syarat:
a. stunning hanya menyebabkan hewan pingsan sementara, tidak menyebabkan kematian serta tidak menyebabkan cedera permanen;
b. bertujuan untuk mempermudah penyembelihan;
c. pelaksanaannya sebagai bentuk ihsan, bukan untuk menyiksa hewan;
d. peralatan stunning harus mampu menjamin terwujudnya syarat a, b, c, serta tidak digunakan antara hewan halal dan nonhalal (babi) sebagai langkah preventif.
e. Penetapan ketentuan stunning, pemilihan jenis, dan teknis pelaksanaannya harus di bawah pengawasan ahli yang menjamin terwujudnya syarat a, b, c, dan d.
"FGD ini sebagai sarana evaluasi, inventarisir masalah, serta rekomendasi tindak lanjut untuk perbaikan tata kelola penyembelihan halal," ujarnya.
Oleh karena itu, ulama yang akrab disapa Prof Ni'am itu menekankan, perlu adanya perbaikan tata kelola penyembelihan hewan yang didahului dengan pemingsanan atau stunning.
"Perbaikan tata kelola ini penting untuk memberikan jaminan bagi masyarakat khususnya masyarakat Muslim untuk dapat mengonsumsi daging yang halal," jelasnya.
Kata Pakar
Lebih lanjut, Guru Besar Ilmu Fikih UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menekankan, mekanisme pemingsangan hanya untuk kepentingan al ihsan atau animal walfare dan berfungsi untuk memudahkan proses penyembelihan hewan.
Pengasuh Pondok Pesantren An-Nahdlah, Depok, Jawa Barat ini menegaskan, pelaksanaan pemingsanan ini tidak boleh menyebabkan kematian atau cedera permanen kepada hewan.
“Karena itu alat stunnernya harus menjamin terpenuhinya syarat ini, dan dijalankan oleh orang yang punya kompetensi,” tegasnya.
Prof Ni'am menerangkan, jika pemingsanan tersebut dilakukan dengan menyebabkan kematian pada hewan, maka tidak boleh disertifikasi halal, karena itu akan menjadi bangkai.
Dalam FGD ini, dibahas juga mengenai jenis-jenis alat stunning yang mampu menerjemahkan ketentuan fatwa MUI ini. Menurutnya, jenis paling aman dalam stunning adalah menggunakan metode elektrik.
Sementara jika menggunakan jenis alat dengan metode mekanik, Prof Ni'am menyampaikan, metode tersebut harus dipastikan non-penetratif, dan memenuhi dua unsur ini.
Pengawasan Ketat
Lebih lanjut, Prof Ni'am menekankan, perlu adanya pengawasan yang ketat di dalam pengawasan pemotongan hewan stunning ini di lapangan.
"Juga pemastian si orang yang melakukan stunning ini memiliki kompetensi. Dia proper di mana titiknya untuk dilakukan stunning, kemudiaan bagaimana tekanan yang dibutuhkan, alat yang digunalan dan memahami kondisi sapi yang akan di stunning," tegasnya.
Kegiatan ini di antaranya dihadiri oleh Staf Pengajar Sekolah Kedokteran Hewan dan Bio Medis serta Peneliti Hala Sains Center IPB University Dr. drh Supratikno, Ketua Komisi Fatwa MUI KH Junaidi.
Hadir pula, Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Prof Abdurrahman Dahlwan, Direktur LPPOM MUI Muti Arintawati, dan Direktorat Kesehatan Masyarakat Kementerian Pertanian Hasto Yulianto.