Polemik Sertifikasi Halal untuk Wine: Penjelasan dan Klarifikasi MUI
BPJPH menjelaskan, isu ini berkaitan dengan penamaan produk dan bukan masalah kehalalan itu sendiri.
Masyarakat dihebohkan dengan beredarnya video yang menyebutkan produk dengan nama seperti 'tuyul', 'tuak', 'beer', dan 'wine' mendapatkan sertifikat halal.
Menanggapi hal ini, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama memberikan penjelasan mengenai situasi tersebut.
Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH, Mamat Salamet Burhanudin, menjelaskan isu ini berkaitan dengan penamaan produk dan bukan masalah kehalalan itu sendiri.
"Masyarakat tidak perlu ragu, karena produk yang telah bersertifikat halal terjamin kehalalannya. Proses sertifikasi dilakukan sesuai mekanisme yang berlaku dan mendapatkan ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI" ungkap Mamat, Rabu (2/10).
Regulasi mengenai penamaan produk halal sudah diatur dalam SNI 99004:2021 dan Fatwa MUI Nomor 44 tahun 2020. Regulasi ini menegaskan, produk tidak bisa mengajukan sertifikasi halal jika namanya bertentangan dengan syariat Islam atau norma masyarakat.
Namun, Mamat mencatat, terdapat produk dengan nama yang kontroversial ini yang tetap mendapatkan sertifikat halal, baik dari Komisi Fatwa MUI maupun Komite Fatwa. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai penamaan produk tersebut.
Data BPJPH menunjukkan bahwa terdapat 61 produk dengan nama 'wine' yang mendapatkan sertifikat halal dari Komisi Fatwa MUI, serta 8 produk dengan nama 'beer'. Penetapan halal dilakukan setelah melalui pemeriksaan oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).
Menanggapi polemik ini, Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika MUI (LPPOM MUI) mengklarifikasi bahwa produk yang mendapatkan sertifikat halal dengan nama 'wine' sebenarnya adalah produk kosmetik, bukan minuman.
"Database kami menunjukkan bahwa 25 produk dengan kata kunci 'wine' semuanya adalah produk kosmetik yang berasosiasi dengan warna, bukan rasa atau aroma," terang Direktur Utama LPPOM MUI, Muti Arintawati.
Muti menjelaskan bahwa Komisi Fatwa MUI memperbolehkan penggunaan kata 'wine' yang menunjukkan jenis warna untuk produk nonpangan. Sementara itu, untuk produk yang dinamakan 'bir', hal ini diperbolehkan hanya untuk minuman tradisional non-khamr, seperti bir pletok, yang telah dikenal dalam masyarakat.
Dalam konteks produk bernama 'beer', Muti menginformasikan, beberapa produk tersebut mengalami kesalahan penulisan, dan satu produk yang disebut Ginger Beer tidak mengandung bahan haram dan tidak berasosiasi dengan 'beer'. Perusahaan telah setuju untuk mengganti namanya menjadi Fresh Ginger Breeze.
Muti memastikan, LPPOM MUI tidak pernah meloloskan produk dengan nama 'tuyul' dan 'tuak' dalam proses sertifikasi halal. LPPOM berkomitmen untuk terus meningkatkan layanan sertifikasi halal di Indonesia.
Dengan berbagai klarifikasi ini, BPJPH dan MUI mengajak masyarakat untuk tidak ragu terhadap produk bersertifikat halal dan berharap agar tidak ada penyebaran isu yang tidak jelas mengenai kehalalan produk.
"Kami berkomitmen untuk melakukan perbaikan dan menerima saran untuk meningkatkan layanan sertifikasi halal di Indonesia," tutup Muti.