Rencana melibatkan DPR di gelar perkara kasus Ahok dinilai keliru
Merdeka.com - Polemik boleh tidaknya gelar perkara secara terbuka, menjadi perdebatan baru dalam kasus dugaan penistaan yang dilakukan Gubernur nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). FPI dan MUI meminta Bareskrim tidak menggelar perkara Ahok ini secara terbuka.
Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani mengatakan, posisi kasus dugaan penistaan agama yang dituduhkan kepada Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok masih dalam tahap penyelidikan.
Menurut dia, sesuai Pasal 1 angka 5 KUHAP, penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang tersebut.
-
Apa yang DPR minta KPK usut? 'Komisi III mendukung penuh KPK untuk segera membongkar indikasi ini. Karena kalau sampai benar, berarti selama ini ada pihak yang secara sengaja merintangi dan menghambat agenda pemberantasan korupsi.'
-
Apa yang DPR sesalkan? 'Yang saya sesalkan juga soal minimnya pengawasan orang tua.'
-
Apa yang diminta DPR untuk KPK dan Polri? Lebih lanjut, Sahroni tidak mau kerja sama ini tidak hanya sebatas formalitas belaka. Justru dirinya ingin segera ada tindakan konkret terkait pemberantasan korupsi 'Tapi jangan sampai ini jadi sekedar formalitas belaka, ya. Dari kolaborasi ini, harus segera ada agenda besar pemberantasan korupsi. Harus ada tindakan konkret. Tunjukkan bahwa KPK-Polri benar-benar bersinergi berantas korupsi,' tambah Sahroni.
-
Bagaimana DPR menilai proses hukum Kejagung? Semuanya berlangsung cepat, transparan, tidak gaduh, dan tidak ada upaya beking-membeking sama sekali, luar biasa.
-
Kenapa DPR khawatir dengan tindakan polisi? 'Ini berbahaya sekali kalau benar terjadi. Jangan sampai ada jajaran di bawah melakukan intimidasi terhadap siapa pun, apalagi ada kaitannya dengan konteks kepemiluan.'
-
Kenapa Ahok prihatin dengan korupsi? Ahok pun merasa prihatin dengan nasib generasi muda di masa mendatang.
Sementara itu, lanjut Ismail, gelar perkara adalah teknis kerja Kepolisian yang biasa dikenal dalam proses penyidikan. Jadi pada tahap penyelidikan, dia menilai tidak ada dasar hukum penyelenggaraan gelar perkara, meskipun praktiknya kepolisian sering melakukan gelar perkara.
"Dengan demikian, ada atau tidak adanya dasar hukum gelar perkara pada tahap penyelidikan tidak perlu menjadi perdebatan, karena pada dasarnya gelar perkara hanyalah teknik kerja penyidik dalam menentukan ada atau tidaknya dugaan tindak pidana," kata Ismail di Jakarta, Rabu (9/11).
Dalam kaitannya dengan kasus dugaan penistaan agama, Ismail mendukung Bareskrim Polri melakukan gelar perkara terbuka terhadap Ahok.
"Maka tidak ada pilihan lain kecuali dengan gelar perkara terbuka sehingga independensi penyidik bisa dikontrol," ujarnya.
Menurut Ismail, dasar gelar perkara terbuka dan dilakukan pada tahap penyelidikan secara implisit dimungkinkan sebagaimana diatur pada Pasal 71 Peraturan Kapolri Nomor 14/ 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
"Satu hal yang harus dipastikan adalah gelar perkara hanya melibatkan unsur-unsur yang relevan, pelapor, terlapor, penyidik, dan bagian pengawasan penyidik (Wasidik) Polri," ungkap Ismail.
Ismail menilai rencana Polri melibatkan anggota Komisi III DPR dalam gelar perkara adalah kekeliruan, karena Komisi III bukan penyidik dan bukan penegak hukum. Terlibatnya anggota Komisi III DPR dalam gelar perkara itu dikhawatirkan akan mengikis independensi polisi.
"Gelar perkara terbuka adalah kreasi teknik kerja institusi Polri untuk menepis keraguan publik atas independensi Polri dalam kasus ini dan tidak melanggar hukum," ujar Ismail.
Dalam kesempatan berbeda, Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Pol Martinus Sitompul mengatakan, Polri belum menentukan teknis gelar perkara terbuka terkait kasus Ahok.
Pembahasan soal gelar perkara sudah dilakukan secara internal, tetapi format final yang akan digunakan belum ditentukan.
Namun bagi pengamat politik Lingkar Madani Ray Rangkuti, Polri harus menjelaskan dasar hukum gelar perkara ini. Alasannya, kata Ray, gelar perkara terbuka merupakan kasus yang baru terjadi pertama kali di Indonesia. Dasar hukum sangat perlu agar tidak terjadi implikasi yang lebih hebat di masa mendatang.
"Harus dijelaskan dasar hukumnya seperti apa. Kalau semua gelar perkara terbuka ya semuanya terbuka dong. Meskipun saya pahami kenapa itu dilakukan Polri (untuk menjawab aksi demonstrasi), tapi Polri tidak boleh karena desakan massa dan sekalipun Presiden yang meminta," kata Ray. (mdk/cob)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Wacana hak angket tentang dugaan adanya kecurangan Pemilu 2024 terus bergulir.
Baca SelengkapnyaPDIP menyampaikan rencana pengajuan hak angket dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Jakarta.
Baca SelengkapnyaHari ini, DPR menggelar rapat untuk mengebut Revisi UU Pilkada untuk mengesahkan aturan baru Pilkada.
Baca SelengkapnyaHabiburokhman menyindir perlu adanya Panja Netralitas BIN usai beredar pakta integritas dukungan Pj Bupati Sorong ke Ganjar-Mahfud.
Baca SelengkapnyaAnggota DPR dari PKB, Luluk Nur Hamidah PDIP menjadi pemimpin dalam hak angket dugaan kecurangan Pemilu 2024.
Baca SelengkapnyaDPR bisa menambahkan kewenangan Bawaslu untuk menindak oknum Polri yang tidak netral.
Baca SelengkapnyaKubu Anies dan Ganjar akan menggulirkan hak angket di DPR dugaan kecurangan Pemilu
Baca SelengkapnyaJuru Bicara PSI Agus Herlambang menilai usulan tersebut merupakan ide kosong.
Baca SelengkapnyaDjarot menyebut komunikasi tersebut bertujuan untuk mencegah penyelundupan Pasal-Pasal di RUU MK.
Baca SelengkapnyaUsulan hak angket itu tidak serius dan hanya meramaikan dinamika politik tiga bulan ke depan.
Baca SelengkapnyaGanjar Pranowo mendorong PDIP dan PPP menggulirkan hak angket di DPR atas dugaan kecurangan Pemilu 2024.
Baca SelengkapnyaUsulan pembentukan Panja Netralitas Polri ini muncul saat rapat Komisi III DPR dengan Polri
Baca Selengkapnya