Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Tragedi Kedung Kopi, saat PKI bantai 23 lawan politiknya

Tragedi Kedung Kopi, saat PKI bantai 23 lawan politiknya Ilustrasi pembantaian PKI. ©2015 Merdeka.com

Merdeka.com - Kisah kebiadaban PKI (Partai Komunis Indonesia) di Kota Solo, memang tak lepas dari peristiwa pembantaian di Kedung Kopi, 22 Oktober 1965. 23 warga Solo yang melakukan demonstrasi mengecam PKI, menjadi korban kekejaman komunis dan dibuang di salah satu sudut aliran Sungai Bengawan Solo, Kelurahan Pucangsawit, Kecamatan Jebres tersebut.

Saksi hidup Usman Amirudin (79), dan sejumlah warga yang mengalami peristiwa tersebut mengisahkan, saat itu puluhan pemuda yang hanya rakyat biasa ditangkap, ditembaki dan kemudian dibuang di Kedung Kopi. Saat ini lokasi yang merupakan bantaran Sungai Bengawan Solo itu, dibangun taman dan prasasti.

Usman yang saat ini bekerja di bidang konstruksi tersebut mengisahkan, terjadinya tragedi pembantaian bermula saat munculnya kabar dari Dewan Revolusi di Jakarta hingga terjadinya peristiwa penculikan sejumlah jenderal oleh PKI pada 30 September 1965.

Orang lain juga bertanya?

Peristiwa di Jakarta tersebut, lanjut Usman, kemudian merembet ke Solo, apalagi Wali Kota Oetomo Ramelan yang menjabat saat itu berasal dari PKI. Beberapa prajurit militer di Solo, menurut Usman, bahkan juga anggota PKI.

"Setelah mendapat kabar itu, potensi masyarakat non-PKI (nasionalis dan agama) menyatu untuk saling menjaga. Suasana di Solo saat itu, setiap hari seperti perang, mulai 30 September sampai 22 Oktober, dan masing-masing gang ditutup oleh pihak kami," ujar Usman saat ditemui merdeka.com di rumahnya, Kelurahan Bumi, Laweyan, Rabu (26/9).

Usman yang saat itu menjadi anggota Pemuda Muhammadiyah menambahkan, di saat bersamaan para anggota PKI yang tergabung dalam Pemuda Rakyat juga melakukan hal yang sama. Mereka berkeliling kampung untuk menteror masyarakat sipil.

"Sudah, masuk ke rumah masing-masing, ndak usah kumpul-kumpul. Ini urusan intern Angkatan Darat, masuk saja," ucap Usman menirukan kata-kata teror anggota Pemuda Rakyat.

Namun, lanjut Usman, masyarakat yang sudah bersatu, tak mau menuruti gertakan mereka dan tetap berjaga-jaga. Namun makin lama, sikap represif mereka semakin terlihat dengan cara mempersenjatai diri dengan parang, gebugan (alat pemukul), rantai dan lainnya.

Kondisi tersebut membuat masyarakat panik, karena mereka tidak tahu ke mana harus berlindung. Namun pada akhirnya, warga meminta bantuan ke Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) agar masuk ke Solo. Masyarakat menyambut kedatangan RPKAD pada 22 Oktober 1965 dengan suka cita. Namun sayangnya pada sore harinya RPKAD sudah kembali ke Magelang.

Prihatin dengan pemberontakan PKI di Jakarta, masyarakat Solo yang sudah merasa aman, selepas Zuhur melakukan aksi demonstrasi di depan toko batik kawasan Gladag Jalan Slamet Riyadi atau depan rumah tokoh yang ditengarai sebagai donatur PKI di Nonongan. Usai berdemo, para pemuda ini sudah diperintahkan untuk kembali ke posnya masing-masing.

"Kami sudah diperintahkan oleh komandan masing-masing, setelah Ashar harus pulang ke posnya masing-masing. Jadi saya harus pulang ke Balai Muhammadiyah," katanya.

Namun nahas, saat hendak pulang ada anggota CPM dan POL AU (Polisi Angkatan Udara) yang menyusup ke rombongan pendemo. Mereka meminta para peserta demo untuk ke balai kota. Melihat keduanya berpakaian resmi, Usman dan para pendemo lainnya menuruti perintah dan menuju balai kota Solo, yang berjarak 400 meter.

"Ya sudah kita berbondong-bondong ke sana. Tapi belum sampai ke balai kota kita sudah disikat oleh militer. Ditembaki dari beteng itu. Setelah melihat peluru seperti kembang api, saya sembunyi. Saya bersama GPM (Gerakan Pemuda Marheinis) sembunyi. Makin malam makin kelihatan peluru itu. Kira-kira jam setengah tujuh (18.30) sudah agak reda itu, kami pulang. Rumah kami di Kusumoyudan depan Sahid Raya," tuturnya.

Namun sebelum pulang, lanjut Usman, salah satu keponakannya yang tinggal di Kampung Batangan, Pasarkliwon yang nekat melintas di lokasi, menjadi korban pembunuhan. Keponakan Usman yang masih berusia 13 tahun dan henda pulang dari rumahnya ke Batangan dicegat.

"Ternyata yang dibunuh di Kedung Kopi itu ada 22 orang, ditambah 1 orang dari Wonogiri. Kalau yang keponakan saya itu ditusuk di leher sampai tembus, hancur badannya," katanya.

Selang dua hari kemudian, giliran masyarakat yang melakukan operasi penangkapan terhadap para anggota PKI. Apalagi saat itu, RPKAD juga telah kembali ke Solo. Para tokoh komunis tak berdaya, tak berani lagi keluar rumah dan Kota Solo kembali dikuasai warga.

"Kalau ada yang mengatakan di Kedung Kopi itu PKI dibunuh, itu pemutarbalikan fakta. Justru PKI yang melakukan pembunuhan di sana. Karena di sana itu aman, masih seperti hutan. Mayatnya ya sudah dibiarkan di sana," jelasnya lagi.

Jembatan Bacem

Dalam peristiwa kekejaman PKI di Solo, Jembatan Bacem yang berada di atas aliran Sungai Besar (Bengawan) Solo, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo juga turut menjadi saksi bisu. Jembatan yang sudah dibangun ulang itu, dikenal sebagai tempat jagal para tahanan terduga anggota PKI atau organisasi yang berafiliasi dengan partai itu.

Sulit memang mencari saksi hidup peristiwa tersebut. Namun sejumlah warga di desa sekitar memang pernah mendengar cerita dari orang tua mereka. Sejumlah warga bahkan menceritakan adanya kisah mistis di lokasi itu.

"Sekarang jembatanya kan tinggal pondasi. Tidak bisa dirobohkan, tidak ada yang berani. Saat kejadian itu saya masih sekolah dasar," ucap Suko Haryono (59) warga Desa Telukan.

Dari cerita kedua orang tuanya, dikatakan memang lokasi tersebut menjadi tempat eksekusi anggota PKI. Mayat para penghianat bangsa tersebut kemudian dibuang ke aliran sungai.

Usman juga membenarkan jika Jembatan Bacem menjadi lokasi pembunuhan anggota PKI. Menurutnya, tidak hanya Jembatan Bacem, namun juga di Jembatan Jurug yang juga di atas aliran Sungai Bengawan Solo.

"Kalau Bacem itu dia (PKI) yang dibunuh oleh kita. Jembatan Bacem ada, Jurug juga ada," katanya lagi.

Usman menilai, konflik horisontal yang terjadi antara masyarakat dan PKI, bermula dari peristiwa pembunuhan di Solo. Masyarakat ingin melakukan balas dendam terhadap kekejaman PKI.

Kamp tahanan politik Sasono Mulyo

Tempat lain yang menjadi saksi tentang peristiwa kekejaman PKI di Solo adalah gedung Sasono Mulyo. Konon setiap malam ada tahanan yang diambil dari kamp penahanan di kompleks Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Dari lokasi ini, tercatat 71 orang hilang setelah diambil tentara pada malam hari.

Sasono Mulyo terletak di dalam wilayah Keraton Surakarta, tepatnya di sebelah barat Pintu Gapit, sebelah utara Bangsal Kemandungan atau berseberangan dengan Sasono Putra, tempat tinggal raja Paku Buwono XIII, yang berkuasa saat ini. Tempat ini merupakan kediaman resmi putra mahkota.

Kompleks Sasono Mulyo terdiri atas bangunan induk yang ditinggali oleh putera mahkota, dan bangunan tambahan di sepanjang sisi timurnya yang merupakan tempat para abdi dalem (pelayan) yang mengurus kebutuhan sehari-hari putera mahkota. Di bagian depan bangunan induk terdapat pendopo(serambi) berukuran kurang lebih 37,5x25 meter persegi.

Pengageng Parentah Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Dipokusumo atau akrab disapa Gusti Dipo membenarkan jika saat itu, Sasono Mulyo menjadi tempat penahanan anggota PKI.

"Sasono Mulyo memang dipakai untuk menahan orang-orang yang diduga terlibat kegiatan G30S-PKI tersebut. Nah yang dipakai Sasono Mulyo adalah bangunan pendopo," terang Gusti Dipo.

Namun seiring perkembangan zaman, di era Paku Buwono XII akan menikahkan anaknya, GKR Alit tahun 1971, tempat tersebut dikosongkan. Sasono Mulyo kemudian dijadikan tempat hajatan saat keluarga keraton mantu.

Kemudian, lanjut Gusti Dipo, tahun 1975 Sasono Mulyo digunakan untuk kegiatan PKJT atau Pusat Kesenian Jawa Tengah. Setelah itu muncul lagi kegiatan seni yang tergabung dalam ASKI atau Akademi Seni Karawitan Indonesia, yang selanjutnya menjadi STSI dan sekarang menjadi ISI (Institut Seni Indonesia).

"Sak meniko kosong (sekarang kosong)," lanjut Dipokusumo.

Namun demikian, jelas Gusti Dipo, ada beberapa kegiatan resmi yang menggunakan Sasono Mulyo. Di antaranya acara pernikahan putra-putri atau keluarga keraton, kemudian jika ada keluarga keraton yang meninggal dan untuk kegiatan menyambut bulan Suro.

"Menawi Suro, ingkang sampun kelampahan meniko kangge ringgit wacucal kangge penutupan tahun. Kadang nggih kagem sarasehan utawi pertemuan-pertemuan sanesipun nate. (Kalau bulan Suro, yang sudah pernah dipakai untuk pentas wayang kulit, untuk penutupan tahun. Kadang juga untuk sarasehan dan pertemuan lainnya)," terangnya.

(mdk/cob)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Monumen Ini Jadi Saksi Bisu Kejamnya Pembantaian PKI di Wonogiri, Begini Kisah di Baliknya
Monumen Ini Jadi Saksi Bisu Kejamnya Pembantaian PKI di Wonogiri, Begini Kisah di Baliknya

Tercatat dalam peristiwa itu, sebanyak kurang lebih 65 orang terbunuh.

Baca Selengkapnya
Diangkat jadi Film Layar Lebar, Begini Potret Kelam Perebutan Kekuasaan di Banyuwangi Tahun 1965
Diangkat jadi Film Layar Lebar, Begini Potret Kelam Perebutan Kekuasaan di Banyuwangi Tahun 1965

Terpilihnya Suwarno Kanapi sebagai Bupati Banyuwangi yang diusung PKI membuat lawan-lawan politiknya tidak puas.

Baca Selengkapnya
Bikin Merinding, Ini Gorong-gorong Saksi Bisu Kekejaman PKI yang Bantai Bupati Blora Mr Iskandar
Bikin Merinding, Ini Gorong-gorong Saksi Bisu Kekejaman PKI yang Bantai Bupati Blora Mr Iskandar

Ini menjadi tempat pembantaian yang membuat bupati Blora pertama sebagai korban.

Baca Selengkapnya
15 Januari 1949: Mengenang Peristiwa Situjuah Berdarah, Tewaskan Banyak Pejuang PDRI
15 Januari 1949: Mengenang Peristiwa Situjuah Berdarah, Tewaskan Banyak Pejuang PDRI

74 tahun berlalu, ini kisah Peristiwa Situjuah yang renggut banyak pejuang Pemerintah Darurat RI.

Baca Selengkapnya
Revolusi Sosial Sumatra Timur, Peristiwa Kelam Maret 1946 yang Berujung Pembantaian
Revolusi Sosial Sumatra Timur, Peristiwa Kelam Maret 1946 yang Berujung Pembantaian

Revolusi Sosial Sumatra Timur kisah kelam pembantaian kesultanan Melayu.

Baca Selengkapnya
Viral Pukuli Penjual Kopi, 6 Anggota PSHT Ditangkap
Viral Pukuli Penjual Kopi, 6 Anggota PSHT Ditangkap

Viral Pukuli Penjual Kopi, 6 Anggota PSHT Ditangkap

Baca Selengkapnya
Foto Langka Suasana Mencekam Jakarta Usai Penculikan para Jenderal di Tragedi G30S, TNI dengan Tank Kuasai Ibu Kota & Buru PKI
Foto Langka Suasana Mencekam Jakarta Usai Penculikan para Jenderal di Tragedi G30S, TNI dengan Tank Kuasai Ibu Kota & Buru PKI

Simak foto langka suasana di Jakarta usai tragedi G30S. Banyak tank berkeliaran memburu anggota PKI.

Baca Selengkapnya
Tokoh PKI Tak Mempan Ditembak, ini Yang Dilakukan TNI
Tokoh PKI Tak Mempan Ditembak, ini Yang Dilakukan TNI

TNI versus Tokoh PKI Kebal Peluru, apa yang dilakukan untuk melawan PKI?

Baca Selengkapnya
Pelarian DN Aidit: Sembunyi di Balik Lemari Berujung Ditembak Mati di Kebun Pisang
Pelarian DN Aidit: Sembunyi di Balik Lemari Berujung Ditembak Mati di Kebun Pisang

Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) D.N. Aidit jadi buronan Angkatan Darat. Lantaran PKI dicap sebagai dalang aksi Gerakan 30 September 1965.

Baca Selengkapnya
Apa Saja yang Terjadi saat Peristiwa Kudatuli hingga Nama Megawati Melambung
Apa Saja yang Terjadi saat Peristiwa Kudatuli hingga Nama Megawati Melambung

PDI sempat pecah jadi dua, antara Kubu Soejadi dan Kubu Megawati.

Baca Selengkapnya
Mengenang Peristiwa Tanjung Morawa, Konflik Agraria hingga Jatuhnya Kabinet Wilopo
Mengenang Peristiwa Tanjung Morawa, Konflik Agraria hingga Jatuhnya Kabinet Wilopo

Peristiwa Tanjung Morawa menjadi salah satu tragedi paling berdarah di Indonesia dan runtuhnya Kabinet Wilopo pada saat itu.

Baca Selengkapnya
Tak Mengerti Politik, Satu Desa Nyaris 100% Pilih PKI, ini Penyebabnya
Tak Mengerti Politik, Satu Desa Nyaris 100% Pilih PKI, ini Penyebabnya

Hampir seluruh penduduk desa memilih PKI dalam Pemilu 1955. Padahal tak pernah ada kampanye di desa terpencil itu.

Baca Selengkapnya