Awas Tertipu, 5 Mitos Vaksin Covid-19 ini Terbukti Tidak Benar
Merdeka.com - Vaksinasi menjadi salah satu cara ampuh dalam upaya mengakhiri pandemi Covid-19 di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Namun, ada masyarakat yang hingga kini masih menolak melakukan vaksin karena terpengaruh mitos terkait vaksin Covid-19 yang beredar.
Berikut 5 mitos seputar vaksin COVID-19 yang masih dipercaya beberapa kalangan masyarakat hingga saat ini dan terbukti tidak benar.
1. Vaksin Pfizer dan Moderna Mengubah DNASempat beredar kabar di media sosial bahwa vaksin yang menggunakan teknologi mRNA, yakni Pfizer dan Moderna dapat mengubah DNA manusia yang menerimanya.
-
Kenapa mitos itu tidak benar? Namun, ini adalah mitos yang tidak didukung oleh fakta ilmiah.
-
Kenapa mitos ini masih ada? Meskipun tidak didukung oleh bukti ilmiah, mitos ini tetap bertahan dan diwariskan dari generasi ke generasi.
-
Bagaimana orang meyakini mitos ini? Beberapa mitos meyakini bahwa memakai baju terbalik dapat membawa keberuntungan.Orang-orang mungkin memilih untuk melakukannya pada hari tertentu atau dalam situasi khusus untuk menarik energi positif.
-
Siapa yang percaya mitos ini? Banyak orang percaya mitos ini karena mereka mendengar cerita dari orang lain atau bahkan mengalami hal serupa.
Seperti yang kita ketahui, kedua vaksin tersebut mengirimkan koder virus ke tubuh, sehingga jika sudah dimasukkan ke tubuh, vaksin ini akan bertugas mengajari sistem kekebalan tubuh kita seperti apa virus SARS-CoV-2 tersebut.
Jika sistem kekebalan kita menghadapi virus, maka vaksin ini akan melakukan pertahanan menggunakan antibodi khusus dan sel T.MRNA dalam vaksin, dan diubah menjadi protein virus COVID-19.
Protein inilah yang akan mendorong sistem kekebalan tubuh untuk beraksi jika kemudian bersentuhan dengan hal yang nyata. Sehingga, mRNA tidak akan melewati penghalang di dalam sel tempat DNA tersebut disimpan, yang disebut nukleus atau inti sel.
“[MRNA] tidak masuk ke inti sel, sehingga vaksin mRNA tidak dapat mengubah DNA penerimanya,” ujar Prof Peter Hotez, Dekan National School of Tropical Medicine di Baylor College of Medicine, dikutip dari Fortune.com.
2. Tidak Aman Karena Dikembangkan dalam Waktu Cepat
Vaksin COVID-19 sempat dinilai tak aman karena dibuat dalam waktu yang singkat dan tidak diberitahukan efeknya dalam jangka panjang. Padahal faktanya, penelitian tentang mRNA dan vaksin COVID-19 ini telah melalui proses yang rumit.
Penggunaan mRNA sebagai obat telah diusulkan oleh ilmuwan sejak tahun 1988. Tes pertama vaksin mRNA pada tikus terjadi pada tahun 1993, dan uji klinis pertama vaksin mRNA pada manusia dimulai pada tahun 2015. Sedangkan untuk vaksin COVID-19 sendiri telah dilakukan pengujian klinis sejak Maret 2020.
“Efek samping paling parah dari vaksin semuanya terjadi dalam enam minggu pertama setelah pemberian dosis. Sehingga, sangat kecil kemungkinan vaksin COVID-19 menghadirkan risiko berupa efek samping serius,” ujar Direktur Pusat Pendidikan Vaksin di Rumah Sakit Anak Philadelphia Paul Offit menjelaskan tentang efek samping jangka panjang dari vaksin COVID-19.
3. Penyintas COVID-19 Tidak Perlu Vaksin
Ketika sempat terinfeksi COVID-19, virus tersebut kemungkinan besar memiliki antibodi untuk melawannya. Namun, hal tersebut tak dapat diuji dengan tepat seberapa lama mereka akan bertahan dalam tubuh kita.
Fortune.com melansir penelitian yang menunjukkan bahwa tingkat antibodi pasien yang sembuh dari COVID-19 bervariasi. “Kita tidak tahu kelompok antibodi mana yang keluar ketika sedang sakit,” ujar Hotez.
Antibodi juga dapat berkurang seiring berjalannya waktu, sedangkan vaksin dapat menghadirkan antibodi secara konsisten dan tinggi. Maka dari itu, masyarakat yang sempat menjadi pasien COVID-19 tetap diimbau melakukan vaksinasi dalam jangka waktu 90 hari setelah sembuh dari COVID-19.
4. Memiliki Dampak Negatif Terhadap Kesuburan
Mitos bahwa vaksin berdampak negatif terhadap kesuburan penerimanya menjadi salah satu mitos yang cukup banyak dipercayai dan hingga saat ini masih disebarkan oleh masyarakat.
Terdapat klaim yang menyebutkan bahwa vaksin COVID-19 dapat memengaruhi siklus menstruasi wanita. Hal ini merupakan informasi yang salah dan telah dikonfirmasi oleh seorang ahli kandungan, Jen Gunter.
Hingga saat ini, belum ditemukan adanya penelitian yang menyatakan bahwa hal tersebut benar. Perubahan itu hanya sebuah kebetulan dan tak ada kaitannya dengan vaksin. Dugaan lain berasal dari pribadi seorang wanita yang stres akibat pandemi sehingga memengaruhi siklus menstruasi wanita.
5. Vaksin Tidak Melindungi Penerimanya dari Penularan
Mitos terakhir yang sempat beredar adalah vaksin COVID-19 tak melindungi penerimanya dari penularan.
Saat ini, vaksin COVID-19 memang hanya berfokus untuk perlindungan masyarakat yang mengidap penyakit simtomatik, sedang rawat inap, hingga kematian. Tetapi kini telah dikembangkan lebih jauh. Diberlakukannya vaksinasi juga ditujukan untuk tercapainya keadaan herd immunity dalam suatu wilayah.
Saat ini, penelitian Israel menunjukkan bahwa mereka sedang membantu mencegah penularan dengan mengurangi pelepasan virus jika seseorang mengalami infeksi terobosan melalui vaksin.
Kekebalan antibodi yang dihasilkan dari vaksin COVID-19 akan berkurang dari waktu ke waktu, sehingga mengakibatkan perlindungan terhadap seseorang yang telah divaksinasi tidak sekuat dulu. Namun, bukan berarti hilang sama sekali.
Terdapat sekitar kurang dari 50 persen kemungkinan masyarakat yang telah divaksin dapat terinfeksi COVID-19. Maka dari itu, vaksinasi harus tetap berjalan demi tercapainya herd immunity dan bahkan beberapa negara telah menjalankan adanya vaksin booster untuk menangkal penyebaran virus tersebut.
Sumber: Liputan6 (mdk/dzm)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Beredar klaim penerima vaksin Covid-19 mRNA akan meninggal dalam 3 atau 5 tahun
Baca SelengkapnyaBeredar penyebaran virus mpox merupakan efek samping vaksin Covid-19
Baca SelengkapnyaBahkan, muncul narasi menyatakan bahwa virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 tidak ada.
Baca SelengkapnyaPemerintah berupaya mencegah penyebaran Mpox dengan melakukan vaksinasi yang sudah disetujui WHO dan BPOM.
Baca SelengkapnyaHinky mengatakan, vaksin AstraZeneca sudah melewati tahap uji klinis tahap 1 hingga 4.
Baca SelengkapnyaJangan mudah percaya dan cek setiap informasi yang kalian dapatkan.
Baca SelengkapnyaKomnas KIPI sebelumnya mengatakan tidak ada kejadian sindrom TTS setelah pemakaian vaksin Covid-19 AstraZeneca.
Baca SelengkapnyaViral di media sosial vaksin HPV untuk mencegah kanker serviks bisa memicu kemandulan.
Baca SelengkapnyaEpidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman mengatakan, ada kemungkinan kasus TTS dipicu vaksin AstraZeneca.
Baca SelengkapnyaBadan Pengawas Obat Eropa juga telah melarang peredaran vaksin ini.
Baca SelengkapnyaBelakangan, vaksin AstraZeneca disebut-sebut memicu kejadian trombosis with thrombocytopenia syndrome (TTS) atau pembekuan darah.
Baca SelengkapnyaJamie Scott, seorang pria beranak dua mengalami cedera otak serius setelah mengalami penggumpalan darah dan pendarahan di otak usai mendapatkan vaksin itu p
Baca Selengkapnya