Pentingnya Konsumsi Obat Secara Rutin bagi ODGJ, Cegah Kambuh hingga Perbaiki Gejala
Bagi ODGJ, konsumsi obat secara rutin merupakan hal penting untuk cegah kambuhnya kondisi.
Bagi ODGJ, konsumsi obat secara rutin merupakan hal penting untuk cegah kambuhnya kondisi.
-
Mengapa ODAI harus menjaga kesehatan? Orang yang hidup dengan kondisi autoimun, atau disebut Orang dengan Autoimun (ODAI), memiliki sistem kekebalan tubuh yang rentan dan mudah mengalami peradangan atau inflamasi.
-
Kapan harus minum obat? Disarankan untuk mengonsumsi produk susu minimal dua jam sebelum atau enam jam setelah mengonsumsi antibiotik untuk meminimalkan dampak penurunan efektivitas.
-
Apa yang perlu diperkuat untuk bantu ODGJ? Lebih lanjut, Agus menekankan bahwa pendekatan berbasis komunitas perlu diperkuat, di mana pekerja sosial berfungsi sebagai jembatan antara individu dengan gangguan jiwa, keluarganya, dan layanan kesehatan mental.
-
Gimana caranya atasi stigma ODGJ? Dengan pendekatan yang sistematis dan berkelanjutan, stigma terhadap ODGJ dapat dikurangi, serta akses terhadap layanan kesehatan mental juga akan meningkat,' tutup Agus.
-
Kenapa oralit harus diminum setiap jam? Pemberian oralit yang tepat sangat penting agar manfaatnya optimal dalam mengatasi dehidrasi.
-
Bagaimana BPJS mencegah komplikasi penyakit kronis? Tujuan utamanya adalah mengendalikan kondisi penderita agar tidak terjadi komplikasi, artinya ini salah satu upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan mereka.
Pentingnya Konsumsi Obat Secara Rutin bagi ODGJ, Cegah Kambuh hingga Perbaiki Gejala
Konsumsi obat secara rutin dan sesuai dengan arahan dokter merupakan hal yang sangat penting bagi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Hal ini tidak hanya membantu mencegah kekambuhan tetapi juga dapat memperbaiki gejala yang dialami oleh pasien.
Menurut Dr. Antari Puspita Primananda, seorang dokter spesialis anak konsultan di Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang, perpaduan antara obat jangka pendek dan jangka panjang merupakan strategi yang efektif untuk mencegah kekambuhan pada ODGJ.
"Walaupun obat yang digunakan baik, tetapi bila penyandang tidak mengonsumsi secara teratur maka umumnya hasil pengobatan akan kurang optimal. Kenyataan lain bahwa obat gangguan jiwa harus dikonsumsi dalam jangka panjang bahkan seumur hidup," kata Antari.
Peran Caregiver dalam Kepatuhan Minum Obat
Dr. Antari juga menekankan pentingnya peran caregiver
dalam membantu ODGJ untuk mematuhi jadwal minum obat. Caregiver berperan dalam mengingatkan dan menyediakan obat secara langsung kepada pasien.
"Tingginya tingkat keberhasilan untuk remisi dikaitkan dengan perhatian dan dukungan dari caregiver," tambah Antari.
Meskipun pengobatan tidak akan menyembuhkan ODGJ secara total, terapi obat dapat memperpanjang masa remisi dan mengurangi keparahan gejala psikosis.
"Pengobatan akan memperingan beban hidup pasien. Banyak penelitian yang membuktikan bahwa intervensi terhadap masalah kepatuhan ini sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien,” jelas Antari. Terapi kognitif atau perilaku, komunikasi keluarga, dan terapi komunitas adalah beberapa metode yang dapat meningkatkan kepatuhan minum obat melalui peningkatan pemahaman pasien.
Ada beberapa faktor yang memengaruhi kepatuhan ODGJ dalam minum obat, termasuk faktor pasien, dukungan keluarga, efek samping obat, hubungan terapeutik, dan karakteristik penyakit. Faktor-faktor ini sangat penting untuk diperhatikan karena dapat mempengaruhi keberhasilan pengobatan. Perbedaan budaya dan sistem kesehatan juga dapat menjadi faktor yang menyebabkan ketidakpatuhan pada pasien di Indonesia.
Untuk mencapai perbaikan gejala yang optimal, keteraturan atau kepatuhan dalam berobat sangat diperlukan.
Pengawasan dari tenaga kesehatan jiwa atau pemegang program jiwa juga penting untuk memantau dan memotivasi ODGJ serta keluarga selama menjalani pengobatan. ODGJ yang patuh terhadap pengobatan memiliki prognosis yang jauh lebih baik dibandingkan dengan yang tidak patuh.
Jumlah ODGJ Terus Meningkat
Jumlah ODGJ di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, terus mengalami peningkatan. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 mencatat prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia mencapai 1,7 per mil, yang berarti 1-2 orang dari 1.000 penduduk di Indonesia mengalami gangguan jiwa berat.
Kesenjangan pengobatan gangguan jiwa di Indonesia mencapai lebih dari 90 persen, menunjukkan bahwa kurang dari 10 persen pengidap gangguan jiwa mendapatkan layanan terapi oleh petugas kesehatan.
Menurut Riskesdas 2007, prevalensi gangguan mental emosional berupa depresi dan kecemasan pada masyarakat berumur di atas 15 tahun mencapai 11,6 persen. Jika jumlah penduduk pada kelompok umur tersebut tahun 2010 ada 169 juta jiwa, maka jumlah pengidap gangguan jiwa adalah 19,6 juta orang. Data dari Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa kasus ODGJ berat mencapai 1,8 per 1000 penduduk atau sekitar 429.332 orang. Gangguan jiwa lebih banyak dialami oleh mereka yang berpendidikan rendah, terutama yang tidak tamat sekolah dasar.