Bukan Singa, Predator Ini Justru Paling Berbahaya dan Ditakuti
Dari 10.000 rekaman satwa liar di sabana Afrika, kebanyakan spesies bereaksi jauh lebih takut dengan suara ini.
Hewan dengan cakar tajam, otot yang terlihat, mata yang tajam, gerak-gerik lincah, memiliki taring, serta rahang yang kokoh, jelas bukanlah predator yang ingin diganggu oleh kawanan lainnya.
Michael Clinchy, ahli biologi konservasi dari Universitas Western mengatakan, “Singa adalah predator darat pemburu kelompok terbesar di planet ini, dan karenanya seharusnya menjadi yang paling menakutkan,”
-
Hewan apa yang paling berbahaya di dunia? Nyamuk adalah hewan paling mematikan di dunia, melalui penyebaran penyakit malaria.
-
Siapa predator 'terror bird'? Namun, meski dengan ukurannya yang besar, burung pemakan daging ini menjadi mangsa caiman dari genus Purussaurus, predator yang diperkirakan memiliki panjang lebih dari 30 kaki (9 meter).
-
Siapa yang paling sering menjadi korban serangan singa? Singa selalu memiliki potensi bahaya terhadap manusia dan sering kali dianggap sebagai ancaman serius.
-
Hewan purba apa yang merupakan predator puncak? Mengutip laman Taman Safari Bali, komodo merupakan predator puncak di ekosistemnya.
-
Bagaimana singa di Tanzania menyerang manusia? Secara bertahap, singa-singa ini mengadopsi taktik yang sama untuk memburu manusia seperti yang mereka lakukan pada hewan lain di malam hari.
-
Mengapa burung teror disebut predator puncak? Phorusrhacids mendapat julukan sebagai 'burung teror' karena mereka tidak hanya pemakan daging, bukan memakan buah-buahan atau biji-bijian seperti kebanyakan burung raksasa, namun mereka juga merupakan predator puncak selama setidaknya 43 juta tahun di Amerika Selatan dimana terdapat banyak mamalia besar, seperti dikutip dari IFL Science, Jumat (8/11).
Tetapi, siapa sangka? justru dari 10.000 rekaman satwa liar di sabana Afrika, kebanyakan spesies bereaksi jauh lebih takut dengan suara yang sama sekali berbeda, yakni manusia. Ibaratnya, kita adalah monster yang tersembunyi di bawah tempat tidur mamalia lain.
“Ada anggapan bahwa hewan akan terbiasa dengan manusia jika tidak diburu. Namun, kami telah menunjukkan bahwa itu tidak benar” kata Clinchy, dikutip dari ScienceAlert, Selasa (5/11).
Percobaan dilakukan oleh Liana Zanette ahli ekologi Universitas Western dan rekannya dengan memutar vokalisasi dan suara kepada hewan di luang air di Taman Nasional Kruger Raya Afrika Selatan.
Para peneliti ini menyiarkan suara percakapan manusia dalam bahasa lokal, juga suara perburuan manusia, termasuk gonggongan anjing dan suara tembakan. Mereka juga memutar suara singa yang berkomunikasi satu sama lain.
“Hal terpenting adalah bahwa vokalisasi singa itu berupa geraman, seolah-olah seperti ‘berbicara’, bukan saling mengaum,” kata Clichy.
Ia juga menambahkan, “Dengan begitu, vokalisasi singa secara langsung dapat dibandingkan dengan manusia yang berbicara dalam sebuah percakapan.”
Namun, ternyata tidak semua subjek percobaan menghasilkan apa yang diharapkan.
“Suatu malam, rekaman singa (yang disiarkan) membuat gajah begitu marah hingga ia menyerang dan menghancurkan semuanya,” kata Zanette.
Hampir semua dari 19 spesies mamalia yang diamati menunjukkan kecenderungan dua kali lebih besar untuk menjauh dari lubang air ketika mendengar suara manusia dibandingkan dengan suara singa atau bahkan suara perburuan. Spesies tersebut termasuk badak, gajah, jerapah, macan tutul, hyena, zebra, dan babi hutan, beberapa di antaranya bisa menjadi ancaman bagi manusia.
Namun, rasa takut terhadap hewan-hewan ini jarang menghentikan kita untuk mengendalikan nasib mereka. Dari menaklukan mamut raksasa di masa lalu hingga menghadapi “dinosaurus modern” yang berbahaya, manusia akan terus menghadapi berbagai tantangan alam.
Sebagai hewan yang paling mematikan di planet ini sekaligus pendorong utama evolusi, manusia seperti telah memenangkan setiap ketakutan yang berhasil ditanamkan pada makhluk lain di sekitar kita. Dalam makalah, tim menjelaskan bahwa yang paling menakutkan adalah vokalisasi manusia.
“Yang menunjukkan bahwa satwa liar mengenali manusia sebagai bahaya yang sebenarnya, sedangkan gangguan terkait seperti gonggongan anjing hanyalah bentuk pengganti yang lebih kecil," jelas dia.
Mengingat betapa banyaknya manusia sekarang, bagi para hewan melarikan diri dari manusia hanya akan menjadi situasi sementara. Hal ini juga tidak baik bagi populasi spesies sabana yang sudah berkurang seperti jerapah. Tim penelitian sebelumnya menunjukkan, bahwa rasa takut yang berkelanjutan bisa mengurangi populasi hewan buruan dari generasi ke generasi.
Namun, ahli biologi konservasi bisa memanfaatkan pengetahuan tersebut untuk membantu spesies yang ada. Dengan memainkan percakapan manusia di daerah yang diketahui mengalami perburuan liar di Afrika Selatan, mereka berharap dapat menjauhkan badak putih selatan yang terancam punah dengan aman.
“Saya pikir meluasnya rasa takut di seluruh komunitas mamalia sabana adalah bukti nyata dampak lingkungan yang ditimbulkan manusia,” kata Zanette.
“Tidak hanya melalui hilangnya habitat, perubahan iklim, dan kepunahan spesies, yang semuanya merupakan hal penting. Namun, kehadiran kita di lanskap itu saja sudah cukup menjadi sinyal bahaya sehingga mereka merespon dengan sangat kuat. Mereka sangat takut pada manusia, jauh lebih takut daripada predator lainnya.”
Reporter magang: Nadya Nur Aulia