Bahayanya Polusi Udara Bagi Kesehatan Manusia, Ternyata Sangat Berpengaruh ke Kecerdasan Anak
Paparan terhadap partikel berbahaya umumnya dipengaruhi oleh lama waktu dan tempat seseorang beraktivitas di luar ruangan.
Ratusan kota dengan tingkat pencemaran tertinggi di dunia sering kali terletak di Asia. Salah satu contoh terbaru terjadi pada November 2024, ketika kabut asap menyelimuti kota-kota besar di India dan beberapa wilayah di Pakistan.
Penduduk di daerah tersebut disarankan untuk tetap berada di dalam rumah, dan aktivitas sekolah serta proyek konstruksi di luar ruangan dihentikan. Polusi ini disebabkan oleh pembakaran batu bara dan kayu untuk pemanasan di musim dingin.
-
Apa dampak polusi udara bagi kesehatan anak? Dampak polusi udara bagi kesehatan anak yang pertama adalah terkena penyakit saluran pernapasan.
-
Apa saja dampak polusi udara bagi kesehatan anak? 'Ini tugas kita bersama karena kalau polusi tidak diatasi maka kesehatan paru-paru kita, terutama anak-anak itu akan memburuk. Terlebih paru-paru anak-anak kita itu masih dalam tubuh dan kembang makanya polusi ini akan berdampak cukup luas pada anak anak kita,'
-
Kenapa polusi udara berbahaya bagi anak? Perlu diketahui, paru-paru dan saluran pernapasan anak masih berkembang.
-
Kenapa polusi udara berbahaya untuk pertumbuhan anak? Polusi udara yang tinggi menyebabkan masuknya mikroorganisme asing seperti virus dan bakteri ke dalam tubuh, terutama ketika udara sedang kering dan berpolutan tinggi.
-
Bagaimana polusi udara memengaruhi gizi anak? Kualitas udara yang buruk dapat menyebabkan anak-anak lebih rentan jatuh sakit, yang pada gilirannya mempengaruhi minat mereka untuk mengonsumsi makanan. Akibatnya, asupan nutrisi berkurang drastis dan menyebabkan kekurangan gizi kronis, yang dikenal sebagai stunting.
-
Apa dampak polusi udara bagi paru-paru anak? Anak yang tinggal di area dengan tingkat polusi udara tinggi memiliki peningkatan risiko terhadap masalah perkembangan paru-paru. Dampak ini ditandai dengan paru-paru tidak mencapai kapasitas maksimalnya. Dampak ini bahkan mirip seperti yang dialami oleh anak-anak dengan orang tua perokok.
Masalah polusi udara bukanlah hal yang baru bagi kota-kota dengan populasi padat. Paparan terhadap partikel berbahaya sangat bergantung pada waktu dan lokasi seseorang beraktivitas di luar ruangan.
Kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap dampak kesehatan akibat polusi udara adalah mereka yang berasal dari kalangan kurang mampu. Kabut asap juga menunjukkan bagaimana partikel-partikel dan gas berbahaya dapat mendominasi kualitas udara di perkotaan, seperti yang dikutip dari laman DW Indonesia pada Kamis (5/12/2024).
Kabut asap terbentuk saat polutan di permukaan, seperti ozon, partikel, sulfat, nitrat, dan bahan kimia berbahaya lainnya berinteraksi dengan kabut di bawah sinar matahari. Bahaya kabut asap dan polusi terletak pada kemudahan partikel-partikel tersebut terhirup oleh manusia.
Proses pembakaran, baik di pabrik, kendaraan, atau tungku kayu, melepaskan gas beracun ke udara. Gas dan kabut ini mengandung partikel mikroskopis yang dihasilkan dari reaksi kimia pada zat yang dibakar.
Partikel-partikel tersebut dikelompokkan berdasarkan ukuran, seperti:
- PM10 untuk partikel berukuran antara 2,5 hingga 10 mikrometer,
- PM2,5 untuk partikel berukuran 2,5 mikrometer atau lebih kecil,
- PM0,1 untuk partikel sangat halus yang berukuran kurang dari 100 nanometer.
Ukuran partikel ini sangat kecil. Sebagai perbandingan, sel darah merah manusia memiliki diameter antara 6-8 mikrometer, sehingga termasuk dalam kategori PM10. Bakteri seperti E.coli, yang dapat menyebabkan penyakit, memiliki lebar sekitar 3 mikrometer, menjadikan PM2,5 bahkan lebih kecil dari itu.
Sementara itu, PM0.1, yang sangat halus, lebih kecil dari virus penyebab influenza dan HIV. Karena ukuran yang mikroskopis ini, paparan terhadap partikel yang berasal dari gas beracun, logam berat, dan senyawa organik dapat dengan mudah masuk ke dalam aliran darah, yang berpotensi menyebabkan kerusakan jangka panjang.
Dampak Kabut Asap dan Polusi Udara Terhadap Kesehatan
Partikel dan gas polutan yang terhirup telah lama dihubungkan dengan dampak negatif pada kesehatan serta berbagai penyakit dan gangguan. Paparan yang berlangsung dalam waktu singkat dapat memperburuk kondisi akut, seperti asma dan infeksi pernapasan lainnya, serta mengganggu fungsi paru-paru.
Dalam jangka panjang, paparan tersebut dapat menyebabkan kondisi kronis, termasuk kanker, stroke, penyakit jantung, dan penyakit paru obstruktif. Risiko ini dapat dialami oleh semua kelompok umur, tetapi anak-anak dan orang yang berusia di atas 65 tahun sangat rentan terhadap dampaknya.
Pada Mei 2024, sebuah penelitian mengenai zona emisi rendah di Jerman menunjukkan bahwa anak-anak yang terpapar udara bersih sejak pembuahan hingga usia satu tahun cenderung tidak memerlukan pengobatan sebelum mencapai usia lima tahun.
"Terpapar polusi udara pada periode kehidupan yang sangat dini ini dapat memiliki efek jangka panjang saat anak-anak tumbuh dewasa," ungkap Hannah Klauber, peneliti utama dari studi tersebut.
Penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa anak-anak yang mengalami paparan polusi di awal kehidupan cenderung berprestasi lebih rendah di sekolah, mendapatkan nilai ujian yang lebih rendah, dan secara rata-rata memperoleh pendapatan yang lebih rendah saat dewasa.
"Kami telah melihat dalam beberapa studi bahwa tidak ada tingkat polutan udara yang aman," kata Klauber menambahkan.
"Pada dasarnya tidak ada tingkat partikel yang aman, jadi setiap peningkatan partikel menyebabkan efek kesehatan yang merugikan," lanjutnya.
Meskipun penelitian Klauber hanya berfokus pada Jerman, dia berharap dapat menemukan hasil yang serupa di berbagai belahan dunia lainnya.
Bagaimana Cara Mengukur Kualitas Udara?
Penilaian kualitas udara berfungsi untuk mengawasi tingkat polusi di suatu wilayah. Biasanya, skala penilaian tersebut dirancang oleh lembaga pemerintah terkait di masing-masing negara.
Hal ini berarti bahwa standar kualitas udara dapat berbeda-beda antara satu negara dengan yang lainnya. Meskipun demikian, banyak peraturan yang mengacu pada pedoman global yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Beberapa negara dan kota juga menggunakan sistem kode warna untuk menandai kualitas udara. Contohnya, di Amerika Serikat dan India, warna-warna yang digunakan adalah: Hijau untuk kualitas udara yang baik, Kuning untuk kualitas udara yang sedang, Oranye untuk kualitas udara yang buruk, dan Merah untuk kualitas udara yang sangat buruk.
Bagaimana Melindungi Diri dari Kabut Asap?
Melindungi diri dari kabut asap secara efektif memang cukup sulit, terutama bagi mereka yang tinggal di daerah dengan tingkat polusi yang tinggi. Di kota-kota dengan masalah polusi yang serius, seperti New Delhi dan Lahore, pemerintah seringkali menerapkan pembatasan pada aktivitas di luar ruangan.
Pembatasan ini dapat mencakup penutupan sekolah, larangan penggunaan kendaraan bermotor, dan penghentian pekerjaan di luar ruangan. Selain itu, kota-kota yang sering mengalami kabut asap dan tingkat polusi yang tinggi biasanya merekomendasikan agar penduduk menggunakan filter udara jika memungkinkan dan mengurangi aktivitas fisik mereka.
Apakah Penutupan Sekolah Dapat Mengurangi Polusi Udara?
Menurut Rajib Dasgupta, seorang profesor kesehatan masyarakat di Universitas Jawaharlal Nehru, New Delhi, tindakan seperti pembatasan aktivitas luar ruangan atau penutupan sekolah hanya bersifat sementara.
"Masalahnya tidak dapat ditangani melalui intervensi pribadi atau tingkat rumah tangga. Solusinya adalah sesuatu yang harus melibatkan tindakan negara, dan tindakan multi-sektoral yang sangat besar," kata Dasgupta kepada DW.
Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif untuk mengatasi isu polusi udara.
Di berbagai belahan dunia, tindakan untuk memberlakukan batasan lebih ketat terhadap polusi udara tengah dilakukan. Uni Eropa, misalnya, telah menyetujui standar baru pada bulan Juni 2024.
Di Asia, upaya serupa juga dilakukan di lokasi-lokasi yang paling parah terpengaruh, seperti Beijing, Cina. Pemerintah Beijing telah meluncurkan rencana transportasi umum berbasis listrik sejak tahun 2013, yang membawa beberapa perbaikan signifikan dalam mengurangi kabut asap dan polusi.
Namun, meskipun terdapat kemajuan, tingkat polusi masih tetap di atas rekomendasi pemerintah serta standar kualitas udara global.
India pun telah menerapkan kebijakan baru terkait udara bersih, namun Dasgupta mengkritik kurangnya kemajuan yang dicapai.
"Negara-negara tampaknya tidak mampu mengatur tindakan mereka, dan itu bukan karena kurangnya uang, tetapi kurangnya kemauan," tegasnya.
Pernyataan ini menyoroti tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan kebijakan dan komitmen untuk memperbaiki kualitas udara di negara-negara yang terpengaruh.