Miris Perkampungan Waria Kumuh, Hidup Tanpa Listrik dan Air 'Ya Make Up Harus Siang'
Di tengah-tengah masyarakat yang hidup berkecukupan, ada sebuah perkampungan dengan kondisi begitu miris.
Di tengah-tengah masyarakat yang hidup berkecukupan, ada sebuah perkampungan dengan kondisi begitu miris.
Di tengah-tengah masyarakat yang hidup berkecukupan, ada sebuah perkampungan dengan kondisi begitu miris. Perkampungan tersebut yakni ditinggali oleh para waria.
Berada di kolong jembatan, perkampungan tersebut memiliki rumah sederhana menggunakan bahan seadanya. Mirisnya lagi, para waria tersebut hidup tanpa air bersih dan listrik.
Saat hendak merias diri, mereka pun harus melakukannya di siang hari untuk mendapatkan cahaya yang cukup. Berikut ulasan selengkapnya, dilansir dari kanal YouTube Detik Asa, Kamis (14/12).
"Saya aslinya dari Bandar Lampung, di sini sudah lama. Ada lebih dari 20 tahun," terang salah satu waria.
Demi menyambung hidup, segala cara bakal dilakoninya. Beberapa pekerjaan yang rela dilakukannya yakni mulai dari mengamen hingga memulung berbagai barang bekas untuk dikumpulkan di area perkampungan.
"Di sini ya usaha, mengamen," terang salah satu waria.
Berbagai pekerjaan tersebut rela dilakoninya tanpa pamrih.
Selagi menurut mereka tak merugikan orang lain, para waria itu tetap berusaha semaksimal mungkin demi memenuhi kebutuhan hidup.
"Apa saja kita kerjakan, yang penting untuk menyambung hidup dan yang ga merugikan banyak orang, itu saja," ungkap salah satu waria.
Soal rumah, setiap harinya mereka terbiasa dengan kondisi yang memilukan. Beratapkan terpal dan alas seadanya, rumah-rumah para waria tersebut berdiri di atas tanah milik negara.
Mirisnya lagi, mereka terpaksa bertahan hidup dengan minim air bersih dan listrik.
Saat hendak berdandan, mereka pun harus menunggu siang hari untuk mendapatkan pencahayaan yang cukup.
"Di sini ga ada listrik. Kalau mau dandan ya harus siang, kalau malam ga kelihatan," cerita salah satu waria.
"Kalau malam, ya pakai lilin. Kalau lampu teplok, harus beli minyak," sambungnya.
Setiap harinya, mereka harus mengangkut air yang bersumber dari gorong-gorong.
Air tersebut digunakan para waria di perkampungan guna mencuci pakaian hingga segala peralatan rumah tangga.
"Kalau untuk minum, kita dari air galon," tukasnya.
"Untuk air, ya kondisi air seperti ini. Dari sini yang untuk cuci-cuci," terangnya.
Kendati hidup dengan sederhana dan serba kekurangan, para waria tersebut masih seringkali berkumpul bersama. Sekadar bercanda dan tertawa, para waria tersebut menikmati hidup di bawah kolong jembatan.
Pemkab setempat berupaya membuat penahan hulu sungai dari puncak gunung Marapi dan normalisasi aliran air ke pemukiman warga.
Baca SelengkapnyaGerakan ini berawal dari sumber mata air yang dulunya asyik dipakai mandi atau sekadar bermain air, kini banyak yang kering
Baca SelengkapnyaMata air itu dijaga kemurniannya oleh warga. Untuk bisa masuk ke sana, pengunjung masih dikenakan biaya masuk seikhlasnya
Baca SelengkapnyaKali penuh sampah jadi pemandangan sehari-hari warga bantaran ciliwung di Tanah Abang
Baca SelengkapnyaMereka sudah merasakan dampak kekeringan sejak Mei.
Baca SelengkapnyaDari tiga orang tersebut, satu orang S (34) di antaranya harus dilarikan ke rumah sakit karena tak sadarkan diri.
Baca SelengkapnyaAda sejumlah catatan yang membuat penyemprotan air ke jalan tak sepenuhnya efektif mengurangi polusi udara.
Baca Selengkapnya327 warga telah dievakuasi pada gelombang ketiga Tim KRI Kakap-811 atau dari TNI Angkatan Laut. Dari jumlah itu, terdapat 192 wanita dan 135 pria.f
Baca SelengkapnyaBanjir masih menggenangi enam kecamatan, yakni Genuk, Pedurungan, Gayamsari, Tugu, Semarang Timur dan Semarang Utara.
Baca Selengkapnya