Kampung Apung Muara Baru, Potret Kemiskinan 'Ekstreme' di Pesisir Jakarta
Sebetulnya ada wacana warganya akan di relokasi ke sebuah rusun yang nantinya bakal disiapkan oleh Pemprov.
Sebuah permukiman yang berdiri di atas laut.
Kampung Apung Muara Baru, Potret Kemiskinan 'Ekstreme' di Pesisir Jakarta
Sekumpulan anak kecil tampak asyik bermain. Sesaknya hunian di sana seolah tak mengganggu keceriaan mereka. Begitulah pemandangan ketika mendatangi Kampung Apung di pagi hari pada akhir pekan. Sebuah permukiman yang berdiri di atas laut. Kampung itu disebut juga Kampung Pojok terletak di Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara.
Anak-anak itu tampak tidak menghiraukan kondisi jalanan yang hanya terbuat dari tumpukan kayu dan bambu. Padahal bisa saja itu sangat membahayakan keselamatan mereka. Sebab seharusnya beban jalanan itu hanya dapat dilewati oleh satu orang dewasa saja.
Begitulah potret keceriaan anak-anak di balik muramnya pesisir Jakarta. Mereka terpaksa menikmati hidup dalam kemiskinan yang sangat ekstrem. Meski di gedung megah berjejeran di pusat Jakarta.
Di sana, puluhan rumah yang didominasi dengan semi permanen menjadi satu-satunya tempat tinggal warga Kampung Pojok. Padahal di bagian bawah tumpukan kayu itu terbentang air laut yang sudah keruh.
Belum lagi, bau busuk tumpukan sampah pada permukaan air laut bersatu padu dengan aroma amis menambah suasana kurang nyaman selama berkeliling di sana.
Meskipun kondisi langit-langit di sekitar tertutup dengan tumpukan terpal tidak menyurutkan warga untuk menikmati akhir pekannya. Beberapa dari mereka terlihat di depan pintu rumah sambil rebahan. Adapula yang sedang menjemur pakaian.
Ketika menyusuri kawasan itu, ternyata ujung dari semua bangunan terhenti di sebuah Teluk bagian utara Jakarta. Di sana sejumlah warga sedang asyik memancing ikan.
merdeka.com sempat berbincang dengan salah satu warga Kampung Apung, Alina (62) yang sedang sibuk masak untuk anak dan cucunya. Dia tak lagi peduli dengan kondisi di sekitar tempat tinggalnya. Bagi dia, sehari-hari bisa tetap makan dengan lauk seadanya saja sudah cukup.
"Ya masak ikan buat anak sama cucu. Anak lagi kerja di laut pakai perahu-perahu di sana (laut Penjaringan, Jakut) deket tembok-tembok di sana," kata Alina kepada merdeka.com sambil berbincang di rumahnya, Minggu (8/10).
Jika ada penghasilan lebih, Alina baru berbelanja ke pasar Muara Baru membeli sayuran dan sebagainya.
Sebetulnya, Alina adalah warga kelahiran Serang, Banten. Hanya saja, sejak kecil dia diajak orangtuanya mengadu nasib di Ibu kota.
Alina tidak ingat jelas waktunya. Tetapi kala itu, dia dan orangtuanya tinggal di Kampung Melayu Jakarta Timur dan buka usaha di sana. Sekitar tahun 80'an keluarganya terdampak penggusuran. Alina dan orangtuanya terusir dan mencari tempat tinggal lainnya. Mereka memilih Kampung Pojok tempat mengadu nasib. Rumah mereka bangun meski bermodal kayu dan bambu.
"Pindah di sini tahun 86 sampe saya sudah berkeluarga sudah punya anak cucu. Waktu itu sudah penuh di sini (bangunan rumah)," katanya.
Sebetulnya bukan perkara mudah untuk dapat bertahan hidup di pemukiman 'ekstrem' dengan bangunan kurang layak itu. Tetapi, dia coba membiasakan diri saja.
"Ya kadangan ikan mancing di bawah sini saja kalau enggak ke pelelangan ikan, kadangan juga dikasih sama temen. Kalau air beli di sama PAM (harganya) Rp15 ribu buat satu drum air besar," tuturnya.
Sedangkan kalau kebutuhan listrik tidak banyak dipakai. Karena di rumahnya hanya terdapat kipas angin dan televisi, serta beberapa colokan yang biasa digunakan untuk charger gawai anak cucunya.
Ada satu hal yang patut disyukuri oleh Alina walau tinggal atas bentangan laut. Ketika perumahan warga sekitar dilanda banjir karena rob air laut, hanya rumah dirinya bersama warga kampung pojok lain yang tidak terendam banjir.
Sehingga tidak perlu repot-repot untuk mengangkut barang-barang berharga.
"Dulu kalau orang-orang pada kebanjiran saya mah enggak," ucap dia sambil tertawa kecil.
Ketua RT 20/17 Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara, Hendri Kurniawan menyebut Kampung Pojok biasanya juga disebut dengan Kampung Bau karena berdekatan dengan pabrik sekitarnya. Perusahaan itu kerap kali mengelola kotoran-kotoran ikan yang limbahnya langsung mengenai air laut sehingga berdampak langsung ke Kampung Pojok.
"Jadi identitas kampung Pojok dibilang Kampung Bau padahal yang menyebabkan bau itu bukan kampungnya limbah dari pembakaran-pembakaran dari PT itu deket Kampung Pojok itu jadi kotoran-kotoran sisa ikan itu bau jadi seperti itu," ucap Hendri.
Hendri menjelaskan sebelum ada Kampung Bau, sebelumnya merupakan bibir laut. Seiring berjalannya ditambah dengan hobi warga sekitar gemar memancing ikan di laut. Belum lagi intensitas warganya yang kala itu didominasi dengan nelayan.
"Dulu banyak perahu-perahu disini, hingga akhirnya ada yang inisiatif bikin gitu (seperti gubuk) buat mancing hingga akhirnya jadilah Kampung Pojok itu," ujar dia.
Menurut RT, warga Kampung Pojok alias Kampung Bau kira-kira 150 kepala keluarga yang didominasi warga asli Jakarta.
Melihat kondisi Kampung Pojok yang mengkhawatirkan, Hendri berujar sebetulnya ada wacana warganya akan di relokasi ke sebuah rusun yang nantinya bakal disiapkan oleh Pemprov.