5 Penyebab swasembada pangan sulit terwujud
Merdeka.com - Sebutan negara swasembada pangan dulu sempat disematkan pada Indonesia. Julukan ini semakin memudar seiring menurunnya produksi pertanian karena rendahnya minat masyarakat pada sektor ini.
Rendahnya produksi sektor pertanian membuat Indonesia mulai rajin melakukan impor komoditi pangan. Impor pangan Indonesia juga tidak bisa terbilang kecil di tengah kebutuhan penduduk yang besar.
Pada 2011 saja, total beras impor yang masuk ke Indonesia mencapai 2,5 juta ton dengan nilai USD 1,3 miliar atau setara Rp 11,7 triliun. Beras-beras impor itu berasal dari Vietnam, Thailand bahkan dari China.
-
Apa tujuan utama Presiden Prabowo soal pangan? Saya telah mencanangkan bahwa Indonesia harus segera swasembada pangan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Kita tidak boleh tergantung sumber makanan dari luar,' ujar Presiden Prabowo dalam pidato berapi-api di depan anggota MPR, DPR, dan DPD pada Minggu, 20 Agustus 2024 lalu.
-
Apa fokus kebijakan pangan Jokowi? Kebijakan pangan dan pertanian pada era Jokowi secara umum sudah relatif bagus. Dari sisi produksi juga sudah dilakukan diversifikasi sumber, termasuk food estate dan pemberdayaan lahan rawa.
-
Apa yang menjadi kendala utama terkait pangan di Jakarta? 'Dari hasil survei, itu ternyata yang masih jadi kendala di Jakarta adalah persoalan pangan. Artinya, harga yang masih belum terjangkau oleh sebagian masyarakat,' tutur Suswono di Pasar Kramat Jati, Jakarta Timur, Minggu (8/9/2024).
-
Kapan Suswono menjabat sebagai Menteri Pertanian? Saat menjabat, ia dikenal sebagai salah satu menteri yang dianggap berhasil dalam menjalankan tugasnya. Bahkan, ia juga sempat diberi penghargaan internasional dalam bidang pertanian oleh pemerintah Prancis.
-
Kenapa swasembada pangan penting bagi Indonesia? 'Kita harus jamin kemampuan kita memberi makan rakyat kita sendiri,' ucap Prabowo kepada para pembantunya itu.
-
Kenapa program susu Prabowo-Gibran sulit terwujud? Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Rachmat Pambudy menilai, program pembagian susu gratis yang digalang presiden terpilih Prabowo Subianto tidak akan maksimal. Alasannya karena populasi sapi perah di Indonesia masih terbatas di kisaran 500.000 ekor saja. Tentu saja dengan ketersediaan sapi perah tersebut kebutuhan susu untuk program Prabowo-Gibran sulit terwujud.
Dilihat dari luas wilayahnya, Indonesia tentu tidak bisa dibandingkan dengan Vietnam atau Thailand. Namun, dua negara tersebut mampu memaksimalkan luas wilayahnya untuk memproduksi pertanian khususnya beras dan mendatangkan keuntungan dari kinerja ekspornya.
Komitmen mengupayakan bahan pangan dari produksi dalam negeri atau swasembada pangan diakui bukan persoalan mudah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengakui, masalah kebijakan pangan nasional tidak pernah tuntas dilakukan. Kondisi ini diperparah dengan adanya fluktuasi harga dan kenaikan yang tidak wajar di pasar domestik maupun internasional.
Tidak hanya itu, Presiden juga mengakui masih ada timpang tindih antara kebijakan sektoral dan mementingkan beberapa sektor, namun tidak mengacu pada kepentingan nasional.
"Tidak hanya lahan, biaya pertanian, tata niaga, posisi kita seperti apa, apa serius dengan kemandirian pangan itu, apa yang akan dilakukan pemerintah dengan menyusun kebijakan sehingga tuntas?" ujar SBY .
Menyambut pemilihan umum (Pemilu) tahun ini, sejumlah partai politik menjadikan isu swasembada sebagai janji kampanye untuk diperjuangkan. Sebetulnya apa saja masalah sektor pertanian Indonesia sehingga sulit berswasembada?
Berikut merdeka.com mencoba merangkumnya.
Tidak bosan impor
Pemerintah diyakini tidak mampu mewujudkan swasembada pangan, terutama di komoditas padi, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi. Sebab, pada kenyataannya, pemerintah masih tergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan lima komoditas pokok tersebut."Mau swasembada dari mana? Faktanya saja masih banyak impor," ujar Anggota Komisi IV DPR-RI, Akbar Zulfakar, saat diskusi Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), di Jakarta.Akbar mengatakan, Indonesia berada pada situasi yang ironis. Sebagai negara agraris, Indonesia tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri."Indonesia, negara agraris berpenduduk kurang lebih 230 juta jiwa menjadi negara pengimpor pangan yang sangat besar," kata Akbar.Menyitir data pemerintah, Akbar menyebut, importasi dalam jumlah besar terjadi pada sejumlah komoditas. Diantaranya Jagung lebih dari 2 juta ton per tahun, gula 1,6 juta ton per tahun, sapi 600.000 ekor. "Daging beku 30.000 ton per tahun," katanya.Dia melanjutkan, kondisi ini diperparah oleh ketidakseriusan pemerintah untuk membangun pertanian. Akibatnya, masyarakat Indonesia yang mayoritas petani berada di bawah garis kemiskinan."82 persen tenaga kerja berada di pertanian, 62 persen kemiskinan yang ada terkait pertanian, 42 persen total pengangguran terbuka ada di pertanian. Padahal, pertanian itu menyangkut hidup dan mati manusia," terang dia.
Buruknya infrastruktur pendukung
Kondisi pertanian Tanah Air masih memprihatinkan. Selain kurangnya lahan, infrastruktur pertanian juga dinilai tidak memadai. Hal tersebut menyebabkan kondisi pangan di Indonesia kurang mencukupi.Minimnya sarana dan prasarana pendukung pertanian nasional membuat kualitas beras nasional masih belum kompetitif dengan beras impor. Padahal, kebutuhan pangan nasional semakin lama makin meningkat."Begini kebutuhan pangan kita cukup tinggi. Tapi infrastruktur pertanian itu sudah rusak. Kita punya tenaga petani nggak ada lagi. Kalau masih konvensional nggak mampu bersaing. Karena terbentur lahan," ujar Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Firman Soebagya di Waroeng Daun, Cikini, Jakarta.Politisi Golkar ini mengaku langkah pembangunan sektor pertanian haruslah terintegrasi sehingga dapat mencapai target swasembada. Untuk itu, koordinasi antara setiap lembaga terkait dibutuhkan dalam proses pembangunan."Kalau kerjasama nggak ada, koordinasi, itu sulit ada swasembada apalagi kita menghadapi kondisi lahan terbatas, kesuburan nggak bagus, jumlah tenaga pertanian yang sulit, kita jadinya sulit kompetisi," jelasnya.
Kenaikan harga BBM
Anggota Komisi IV DPR dari pelbagai fraksi ramai-ramai mengkritik rencana pemangkasan anggaran Kementerian Pertanian. Langkah penghematan yang ditempuh untuk mengikuti rencana pemerintah menjaga anggaran sebelum kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi ini dinilai mengganggu target swasembada pangan 2014.Anggota fraksi Golkar Hardi Soesilo menilai, langkah Kementan memangkas belanja modal seperti cetak baru sawah, pembibitan, dan pembangunan irigasi, akan merugikan petani. Menurutnya, langkah ini bakal membuat masyarakat yang bekerja di sektor agraris merasa tidak mendapat jaminan berusaha."Petani itu menanyakan kalau kesejahteraan mereka tidak terjamin, mereka juga enggan menanam sesuatu. Jadi saya pikir jangan bantuan sosial dikurangi. Kalau anggaran dipotong, bagaimana mungkin bisa swasembada pangan tercapai," ujarnya di sela-sela rapat kerja dengan Menteri Pertanian Suswono di Senayan, Jakarta.Viva Yoga Mauladi dari Fraksi Amanat Nasional menuding penghematan ini tidak akan mengurangi beban negara. Malah, imbas buruk bakal lebih besar karena masalah utamanya adalah kenaikan bahan bakar.Sektor pertanian akan turut terkena dampak kenaikan harga BBM, khususnya solar yang banyak digunakan untuk mesin giling, traktor, dan truk untuk distribusi hasil panen. Dibanding mengutak-atik anggaran, Mentan Suswono diingatkan untuk segera menetapkan harga pokok pembelian (HPP) komoditas penting seperti padi, tebu, dan kedelai.
Lahan minim
Kementerian Pertanian mengeluhkan minimnya ketersediaan lahan untuk pembukaan sawah baru di berbagai daerah. Masalah ini mempengaruhi proses produksi dan besaran pasokan beras yang bisa dipenuhi oleh petani dalam negeri."Kepemilikan lahan masih kurang ya. Memang masih belum banyak pembukaan lahan untuk sawah. Ini juga masalah dalam proses pemenuhan pasokan beras," ujar Direktur Jenderal Pengolahan dan Pengembangan Hasil Pertanian (PPHP) Kementerian Pertanian, Yusni Emilia, saat ditemui di Warung Daun, Jakarta.Yusni mengaku pihaknya telah menyiapkan sejumlah program sebagai solusi keterbatasan lahan. Tujuan akhirnya tentunya untuk meningkatkan produksi beras dalam negeri sehingga ketergantungan impor beras asing dapat diatasi."Beberapa program telah kami lakukan untuk tetap meningkatkan produksi. Misalnya, upaya tanam serentak dan penyediaan sarana produksi untuk petani," jelasnya.Sementara itu, anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat Khudori mengatakan lambannya penerapan beberapa aturan terkait tata ruang di daerah menjadi salah satu kendala tersendiri terhadap persoalan tersebut."Dari sedikit undang-undang terkait petani dan juga tata ruang belum semua dijadikan perda (Peraturan Daerah) oleh pemerintah daerah," katanya.Menurutnya, Perda menyangkut tata ruang sangat diperlukan untuk menjawab kebutuhan lahan bagi para petani. Sehingga, persoalan lahan tidak lagi menghambat peningkatan produksi beras yang berpengaruh langsung terhadap pasokan beras."Kalau ditetapkan, mana wilayah pertanian, perumahan, industri ini kan akan sangat membantu. Dari 500an Pemda baru segelintir yang melakukan itu," terangnya.Sebelumnya, sejak 2010, sekitar 100.000 hektar (ha) lahan pertanian hilang per tahunnya. Kondisi ini tentu saja membuat lahan pertanian semakin minim. Dampaknya, komoditas strategis yang dikelola dalam negeri juga tidak bisa terpenuhi.Wakil Ketua Komisi IV DPR Firman Soebagyo menuturkan, otonomi daerah bersifat mendukung pemerintah menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dengan alih-alih PAD, maka pemerintah daerah menyerahkan lahan pertanian yang potensial, untuk 'dijual' ke investor dan diubah menjadi sektor industri serta properti.
Minim tenaga kerja
Globalisasi membuat masyarakat Indonesia kini ogah untuk bekerja menjadi petani. Padahal, jika memanfaatkan ini, Indonesia bisa mendunia sebagai negara agraris.Bank Dunia mendorong pemerintah Indonesia untuk serius mengembangkan asuransi pertanian. Itu merupakan salah satu langkah menahan petani beralih profesi dan menahan arus urbanisasi."Kita butuh memastikan ada berbagai macam penyangga ketika terjadi shock, makanya perlu ada asuransi pertanian ketika mereka gagal panen misalnya. Supaya mereka bisa bangkit kembali," ucap Ekonom Senior Bank Dunia Vivi Alatas di sela-sela diskusi ketenagakerjaan yang digelar Center for Strategic and International Studies, Jakarta.Selain itu, lanjut Vivi, untuk mencegah urbanisasi, pemerintah juga harus menyediakan layanan kesehatan dan pendidikan berkualitas yang mudah diakses penduduk desa. Menurutnya, kualitas tenaga kerja Indonesia akan meningkat jika pada saat masih bayi berusia dua tahun sudah mendapatkan layanan kesehatan dan pendidikan yang ideal."Investasi di dua sektor ini memang angka panjang. Semisal kita benahi pendidikan dasar saat ini juga, hasilnya mereka baru siap masuk pasar kerja pada 2025. Tapi ini tetap harus kita lakukan," tandasnya.Kepala Ekonom Bank Dunia Asia Pasifik Truman Packard mengatakan laju urbanisasi Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi, selain China dan Filipina, di Asia Pasifik. Akibatnya, perkotaan menjadi wilayah yang semakin sulit dikelola.Untuk itu, dia menyarankan pemerintah untuk mengendalikan urbanisasi melalui pengembangan sektor pertanian. Mengingat, 45 persen penduduk Indonesia bekerja di sektor agraris tersebut.Langkah sejenis, menurut Truman, sukses dijalankan oleh Vietnam di awal 1990-an. "Negara itu berhasil mengarahkan warga bekerja di pertanian mengolah lahan lebih efisien, melalui intensifikasi maupun reformasi agraria," ujarnya.
Baca juga: Infrastruktur pertanian buruk buat swasembada sulit terwujud Turuti IMF bisa bikin pertanian Indonesia bergantung asing Pemerintah harus bendung impor bahan pangan Mentan: Untuk swasembada, perlu tambahan 25 pabrik gula Kesalahan data BPS bikin Indonesia rajin impor (mdk/bim)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Zulhas mengaku pening melihat bentroknya kewenangan aturan antara pusat dan daerah.
Baca SelengkapnyaPrabowo menekankan program Swasembada Pangan harus dicapai Indonesia dalam waktu dekat.
Baca SelengkapnyaZulhas menyebut, salah satu tantangan terbesar adalah kurangnya dukungan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam menyediakan bibit unggul.
Baca SelengkapnyaTarget realisasi swasembada pangan dimajukan dari awalnya tahun 2028 menjadi 2027.
Baca SelengkapnyaFood estate sejatinya bukan program baru yang dilakukan pemerintah untuk menjamin ketahan pangan.
Baca SelengkapnyaCawapres Muhaimin Iskandar dan Mahfud MD kompak menyatakan program food estate era Presiden Jokowi sebagai proyek gagal.
Baca SelengkapnyaPenyediaan rumah dinas menteri belum menjadi skala prioritas untuk diwujudkan dalam waktu dekat.
Baca SelengkapnyaIndonesia memiliki sumber daya alam yang potensial dan sangat banyak.
Baca SelengkapnyaZulhas juga sudah mengajak Kementerian Keuangan rapat soal anggaran. Tercatat, untuk pangan total dilaporkan senilai Rp139,4 triliun.
Baca SelengkapnyaDaud juga mengingatkan bahwa 7-16 persen penduduk Indonesia masih rentan terhadap masalah kelaparan, meski sudah ada penurunan.
Baca SelengkapnyaPresiden Prabowo Subianto punya target ambisius untuk menjadikan Indonesia swasembada pangan.
Baca SelengkapnyaMenteri Amran merespon kritik yang menuding program food estate merupakan proyek gagal.
Baca Selengkapnya