Ekonom: Bahaya PPN 12 Persen Masyarakat Kelas Menengah Makin Terhimpit
Kebijakan PPN 12 persen mengancam masyarakat kelas menengah.
Pemerintah melalui Menteri Keuangan memastikan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025. Salah satu penjelasan pemerintah adalah barang pangan akan tetap dikecualikan dari PPN.
Ekonom sekaligus Direktur Kebijakan Publik CELIOS Media Wahyudi Askar, mengatakan sebenarnya hal ini bukan kebijakan baru.
Pengecualian barang pangan telah diatur sejak UU No. 42 Tahun 2009 sebelum lahirnya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan 2021 sehingga klaim pemerintah lebih terkesan sebagai manuver politik untuk meredam kritik publik.
Kenyataannya, kenaikan tarif PPN tetap akan dikenakan pada sebagian besar kebutuhan masyarakat menengah ke bawah.
Implikasinya, kebijakan ini berisiko memicu inflasi yang tetap tinggi pada tahun depan, sehingga menambah tekanan ekonomi, khususnya bagi kelompok menengah ke bawah.
Kenaikan PPN menjadi 12 persen menambah pengeluaran kelompok miskin sebesar Rp101.880 per bulan, memperburuk kondisi ekonomi mereka. Sementara itu, kelompok kelas menengah mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp354.293 per bulan.
"Hal ini akan memperburuk fenomena penurunan kelas menengah menjadi kelas menengah rentan. Kementerian Keuangan hari ini pandai sekali bermain kata-kata. Seakan-akan Pemerintah dan DPR hari ini mendukung kebijakan progresif bahwa semua barang pokok dikecualikan PPN. Padahal, kebijakan pengecualian itu sudah ada sejak tahun 2009. Kenyataannya, PPN tetap naik untuk hampir semua komoditas yang dikonsumsi masyarakat bawah”, kaya Wahyudi di Jakarta, Senin (16/12).
Tidak hanya itu, ia juga menyoroti pernyataan pemerintah yang membandingkan bahwa PPN indonesia lebih rendah dari negara lain seperti Kanada, China, Brazil dan negara lainnya. Menurutnya, kurang tepat.
Pasalnya, PPN yang tinggi diterapkan oleh negara-negara dengan pendapatan per kapita tinggi dan ekonomi yang stabil, seperti Norwegia, Denmark, Jerman dan Swedia.
Jadi, daya beli masyarakat yang kuat memungkinkan pemerintah untuk menetapkan tarif pajak konsumsi yang lebih besar tanpa mengurangi kesejahteraan ekonomi mereka.
Disiis lain, stabilitas ekonomi di negara ini kuat, ditandai dengan inflasi rendah dan konsumsi domestik yang kuat membuat penerapan PPN tinggi lebih efektif dan tidak terlalu membebani masyarakat atau menekan pertumbuhan ekonomi.
"Masalahnya, di Indonesia, ekonomi masyarakat, khususnya kelas menangah sedang terpukul. Kalau mau fair, Pemerintah harusnya membandingkan dengan negara ASEAN lainnya, dan Indonesia adalah yang tertinggi tarif PPNnya," pungkasnya.