Kisah Pendiri Toko Gunung Agung, dari Pedagang Rokok Keliling Hingga Jual Buku Bekas
Merdeka.com - Toko buku Gunung Agung sedang ramai dibicarakan di platform media sosial, salah satunya Twitter. Bagaimana tidak, toko buku yang sudah ada sejak tahun 1953 ini akan menutup seluruh gerainya di akhir tahun ini.
Kabar ini diumumkan oleh pihak perusahaan PT GA Tiga Belas. Katanya, mereka akan menutup outlet toko buku Gunung Agung tersisa di sejumlah kota di Indonesia pada akhir tahun 2023 ini.
Mengutip dari laman Toko Gunung Agung, toko buku legendaris ini hadir berkat tangan dingin Tjio Wie Tay atau yang kini dikenal sebagai Haji Masagung. Dia lahir pada 8 September tahun 1927 sebagai anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan Tjio Koan An dan Tjoa Poppi Nio.
-
Apa yang terjadi pada Toko Buku Gunung Agung? Toko Buku Gunung Agung kini gulung tikar. Tinggal menghitung hari seluruh tokonya ditutup total.
-
Kapan Toko Gunung Agung mulai tutup? Sejak 2020, beberapa tokonya ditutup perlahan.
-
Kenapa Toko Gunung Agung tutup? Toko ini ditutup lantaran kerugian operasional semakin membengkak.
-
Dimana toko Gunung Agung tutup? Seperti di Surabaya, Semarang, Gresik, Magelang, Bogor, Bekasi, dan Jakarta.
-
Siapa yang mendirikan Toko Buku Bandung? Media sosial diklaim jadi salah satu penyebab utama menurunnya minat baca di Indonesia. Melihat kondisi ini, salah satu warga Kota Bandung bernama Deni Rachman, menaruh perhatian terhadap dunia literasi dengan mendirikan toko buku offline yang nyaman.
-
Kenapa toko buku Dadeng masih eksis? Dia menyebut jika saat ini buku-buku cetak masih memiliki peminat meski tak banyak.
Ayah Masagung diketahui seorang ahli listrik tamatan Belanda. Sementara kakeknya seorang pedagang ternama di kawasan Pasar Baru, Bogor, Jawa Barat kala itu.
Namun sejak usia 4 tahun, Masagung telah menjadi anak yatim. Kepergian ayahnya membuat dia hidup dalam situasi ekonomi yang sulit. Berbagai sumber menyebutkan, Wie Tay tumbuh sebagai anak nakal yang suka berkelahi. Dia memiliki kebiasaan mencuri buku-buku pelajaran kakak-kakaknya untuk dijual di pasar Senen. Uangnya pun digunakan Wie Tay untuk jajan.
Kenakalan masa kecil ini membuat Wie Tay tidak menyelesaikan sekolah. Padahal keluarganya telah mengirim dia sampai ke Bogor dan sempat masuk di dua sekolah berbeda. Dibalik kenakalan tersebut Wie Tay tumbuh sebagai anak pemberani.
Dia tidak takut berkenalan dengan siapa saja, termasuk dengan tentara Jepang yang kala itu mulai masuk ke Banten. Bahkan dari tentara Jepang, dia mendapatkan satu sepeda. Modal keberanian inilah yang kemudian dia bawa masuk ke dalam dunia bisnis, dan tidak bisa dimungkiri, menjadi salah satu senjata andalannya dalam menggerakkan roda bisnisnya.
Memulai Usaha jadi Pedagang Rokok Keliling
Setelah diusir pamannya dari Bogor dan harus kembali ke Jakarta saat berusia 13 tahun, Wie Tay menemukan kenyataan bahwa keadaan ekonomi ibunya belum membaik juga. Tak ada jalan lain baginya kecuali harus mencari uang sendiri.
Sekembalinya dari Bogor, Wie Tay masih melakukan kebiasaannya lamanya. Mencuri buku pelajaran untuk mendapatkan uang. Namun setelah stok buku pelajaran habis, dia mencoba menjadi manusia karet di panggung pertunjukkan senam dan aerobatik, walaupun penghasilannya ternyata tidak seberapa banyak.
Penghasilan yang tak seberapa ini membuat dia banting setir menjadi pedagang rokok keliling. Dia pun berkenalan dengan saudagar rokok besar kala itu, Lie Tay San. Bermodal uang 50 sen, dia menjual rokok keliling di daerah Senen dan Glodok.
Penghasilan yang didapat pun mulai di tabung yang kemudian dibelikan meja untuk berjualan di Glodok di depan toko onderdil di sana. Wie Tay terus mengumpulkan uang hasil berjualan rokok untuk membuka kios di Senen.
Untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar, Wie Tay tidak lagi membeli rokok dari Lie Tay San, melainkan di Pasar Pagi. Setelah itu dia berkenalan dengan The Kie Hoat. Kawan barunya ini bekerja di perusahaan rokok Perola, salah satu merek rokok laris kala itu.
The Kie Hoat kemudian akrab dengan Wie Tay dan Lie Tay San. Suatu hari, The Kie Hoat ditawari relasinya untuk mencarikan pemasaran. Kie Hoat lalu merundingkan dengan kedua sahabatnya tadi. Saat Lie Tay San masih ragu, Wie Tay yang masih sangat belia dalam bisnis itu malah langsung setuju. Dia yakin bisa cepat dijual dan mendatangkan keuntungan besar.
Mulai Beralih ke Bisnis Perbukuan
Namun sayangnya The Kie Hoat akhirnya dipecat dari Perola karena dinilai melanggar aturan perusahaan, menjual rokok ke pihak luar yang bukan distributor. Ketiga sahabat ini kemudian bergabung dan mendirikan usaha bersama pada tahun 1945 bernama Tay San Kongsie.
Tiga bersaudara ini memang masih menjual rokok, tetapi melebar ke agen bir cap Burung Kenari. Pada saat bersamaan mereka juga mulai serius berbisnis buku. Atas bantuan seorang kerabat, mereka bisa menjual buku-buku berbahasa Belanda yang diimpor dari luar.
Buku-buku yang dijual mereka ternyata laku keras. Mereka berjualan di lapangan Kramat Bunder, tidak jauh dari rumah Lie Tay San. Setelah itu mereka membuka toko 3x3 meter persegi, kemudian diperluas menjadi 6x9 meter persegi. Lantaran keuntungan dari penjualan buku sangat besar, mereka lalu memutuskan berhenti berjualan rokok dan berkonsentrasi hanya menjual buku dan alat tulis menulis.
Tahun 1948, mereka sepakat mengukuhkan bisnis mereka dalam bentuk firma, menjadi Firma Tay San Kongsie. Saham terbesar dimiliki Lie Tay San (40 persen), The Kie Hoat (27 persen) dan Wie Tay (33 persen). Wie Tay ditunjuk memimpin perusahaan ini. Mereka kemudian membuka toko di kawasan Kwitang. Ketika orang-orang Belanda hendak meninggalkan Indonesia, Wie Tay mendatangi rumah orang-orang Belanda tersebut dan meminta buku-buku bekas mereka untuk dijual dengan harga murah.
Tahun 1952, Wie Tay berpikir untuk mengembangkan usaha menjadi besar. Dia mengusulkan kepada kedua rekannya untuk menambah modal. Namun Lie Tay San keberatan, dia memutuskan mundur dan tetap dengan toko bukunya di lapangan Kramat Bunder (kini Toko Buku Kramat Bundar).
Sementara Tjio Wie Tay bersama Kie Hoat membangun toko sendiri di Jln Kwitang No. 13, sekarang menjadi Gedung Idayu dan Toko Walisongo. Saat itu, Kwitang masih sepi. Jangankan kios buku, toko lainnya pun belum ada. Baru ketika Wie Tay membuka toko di sana, keramaian mulai tercipta. Sejumlah gerobak buku mulai kelihatan. Sejak saat itu Kwitang menjadi ramai.
Merambah Ke Bisnis Lain
Sukses menjalankan bisnis perbukuan, Wie Tay alias Masagung merambah ke bisnis lain. Dikutip dari Liputan6.com, dia tercatat mengelola bisnis ritel bekerja sama dengan pusat perbelanjaan Sarinah di Jalan MH Thamrin. Lalu masuk ke Duty Free Shop, money changer, dan perhotelan. Mereka juga mengageni produk pena, rokok, majalah Time, sampai komputer Honeywell.
Tak hanya itum, dia juga mendirikan PT Jaya Bali Agung, sebuah perusahaan pariwisata. Haji Masagung pernah menjadi Direktur PT Jaya Mandarin Agung, pengelola Hotel Mandarin, Jakarta, sebuah usaha patungan dengan Hong Kong.
Setelah Masagung meninggal dunia pada 24 September 1990, gurita bisnis Masagung diteruskan oleh putra sulungnya, Ketut Masagung, dan kedua adiknya, Putra Masagung dan Made Oka Masagung. Namun pada 2020, Ketut Masagung juga meninggal dunia di Amsterdam, Belanda.
Setelah itulah, mulai tersirat kabar menurunnya omset dari Toko Buku Gunung Agung yang terus merugi. Sejak beberapa tahun terakhir, sejumlah toko sudah ditutup termasuk yang berlokasi di berbagai mal besar di Jakarta maupun daerah-daerah lainnya.
(mdk/azz)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Hanya tinggal menghitung hari Toko Buku Gunung Agung ditutup total.
Baca SelengkapnyaToko Buku Gunung Agung memberikan promo buy 1 get 3 untuk memikat para pengunjung jelang tutup permanen.
Baca SelengkapnyaToko buku lawas di gang Jalan Dewi Sartika ini masih terus eksis hingga kini.
Baca SelengkapnyaKatanya, Soe Hok Gie menyatakan perasaannya ke perempuan yang ia kagumi di toko roti ini.
Baca SelengkapnyaBerdiri sejak abad ke-19, toko jamu ini masih eksis bertahan hingga sekarang.
Baca SelengkapnyaMeski sepi pembeli dan harus panas-panasan saat menjual pulpen tersebut, Ahmad mengaku tak ingin menyerah.
Baca SelengkapnyaKondisi Pasar Kenari yang sepi pengunjung membuat pedagang buku memutar otak untuk mendapatkan pembeli.
Baca SelengkapnyaSetiap orang tentu berjuang keras untuk mempertahankan hidupnya.
Baca SelengkapnyaMirisnya bangunan cagar budaya ini dihancurkan untuk pembangunan mall
Baca SelengkapnyaPerjuangan kakek Jagat penjual mainan keliling ini viral, mengaku sering pulang dengan tangan kosong.
Baca SelengkapnyaPedagang kelontong kebanyakan dilakukan orang-orang keturunan China.
Baca SelengkapnyaSejak 1975 silam, ternyata pabrik arang itu sudah beroperasi di sana. Tetapi seiring padatnya penduduk di sana, keberadaan pabrik menjadi masalah.
Baca Selengkapnya