Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Kisah Pendiri Toko Gunung Agung, dari Pedagang Rokok Keliling Hingga Jual Buku Bekas

Kisah Pendiri Toko Gunung Agung, dari Pedagang Rokok Keliling Hingga Jual Buku Bekas Toko Buku Gunung Agung. ©2016 istimewa

Merdeka.com - Toko buku Gunung Agung sedang ramai dibicarakan di platform media sosial, salah satunya Twitter. Bagaimana tidak, toko buku yang sudah ada sejak tahun 1953 ini akan menutup seluruh gerainya di akhir tahun ini.

Kabar ini diumumkan oleh pihak perusahaan PT GA Tiga Belas. Katanya, mereka akan menutup outlet toko buku Gunung Agung tersisa di sejumlah kota di Indonesia pada akhir tahun 2023 ini.

Mengutip dari laman Toko Gunung Agung, toko buku legendaris ini hadir berkat tangan dingin Tjio Wie Tay atau yang kini dikenal sebagai Haji Masagung. Dia lahir pada 8 September tahun 1927 sebagai anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan Tjio Koan An dan Tjoa Poppi Nio.

Ayah Masagung diketahui seorang ahli listrik tamatan Belanda. Sementara kakeknya seorang pedagang ternama di kawasan Pasar Baru, Bogor, Jawa Barat kala itu.

Namun sejak usia 4 tahun, Masagung telah menjadi anak yatim. Kepergian ayahnya membuat dia hidup dalam situasi ekonomi yang sulit. Berbagai sumber menyebutkan, Wie Tay tumbuh sebagai anak nakal yang suka berkelahi. Dia memiliki kebiasaan mencuri buku-buku pelajaran kakak-kakaknya untuk dijual di pasar Senen. Uangnya pun digunakan Wie Tay untuk jajan.

Kenakalan masa kecil ini membuat Wie Tay tidak menyelesaikan sekolah. Padahal keluarganya telah mengirim dia sampai ke Bogor dan sempat masuk di dua sekolah berbeda. Dibalik kenakalan tersebut Wie Tay tumbuh sebagai anak pemberani.

Dia tidak takut berkenalan dengan siapa saja, termasuk dengan tentara Jepang yang kala itu mulai masuk ke Banten. Bahkan dari tentara Jepang, dia mendapatkan satu sepeda. Modal keberanian inilah yang kemudian dia bawa masuk ke dalam dunia bisnis, dan tidak bisa dimungkiri, menjadi salah satu senjata andalannya dalam menggerakkan roda bisnisnya.

Memulai Usaha jadi Pedagang Rokok Keliling

Setelah diusir pamannya dari Bogor dan harus kembali ke Jakarta saat berusia 13 tahun, Wie Tay menemukan kenyataan bahwa keadaan ekonomi ibunya belum membaik juga. Tak ada jalan lain baginya kecuali harus mencari uang sendiri.

Sekembalinya dari Bogor, Wie Tay masih melakukan kebiasaannya lamanya. Mencuri buku pelajaran untuk mendapatkan uang. Namun setelah stok buku pelajaran habis, dia mencoba menjadi manusia karet di panggung pertunjukkan senam dan aerobatik, walaupun penghasilannya ternyata tidak seberapa banyak.

Penghasilan yang tak seberapa ini membuat dia banting setir menjadi pedagang rokok keliling. Dia pun berkenalan dengan saudagar rokok besar kala itu, Lie Tay San. Bermodal uang 50 sen, dia menjual rokok keliling di daerah Senen dan Glodok.

Penghasilan yang didapat pun mulai di tabung yang kemudian dibelikan meja untuk berjualan di Glodok di depan toko onderdil di sana. Wie Tay terus mengumpulkan uang hasil berjualan rokok untuk membuka kios di Senen.

Untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar, Wie Tay tidak lagi membeli rokok dari Lie Tay San, melainkan di Pasar Pagi. Setelah itu dia berkenalan dengan The Kie Hoat. Kawan barunya ini bekerja di perusahaan rokok Perola, salah satu merek rokok laris kala itu.

The Kie Hoat kemudian akrab dengan Wie Tay dan Lie Tay San. Suatu hari, The Kie Hoat ditawari relasinya untuk mencarikan pemasaran. Kie Hoat lalu merundingkan dengan kedua sahabatnya tadi. Saat Lie Tay San masih ragu, Wie Tay yang masih sangat belia dalam bisnis itu malah langsung setuju. Dia yakin bisa cepat dijual dan mendatangkan keuntungan besar.

Mulai Beralih ke Bisnis Perbukuan

Namun sayangnya The Kie Hoat akhirnya dipecat dari Perola karena dinilai melanggar aturan perusahaan, menjual rokok ke pihak luar yang bukan distributor. Ketiga sahabat ini kemudian bergabung dan mendirikan usaha bersama pada tahun 1945 bernama Tay San Kongsie.

Tiga bersaudara ini memang masih menjual rokok, tetapi melebar ke agen bir cap Burung Kenari. Pada saat bersamaan mereka juga mulai serius berbisnis buku. Atas bantuan seorang kerabat, mereka bisa menjual buku-buku berbahasa Belanda yang diimpor dari luar.

Buku-buku yang dijual mereka ternyata laku keras. Mereka berjualan di lapangan Kramat Bunder, tidak jauh dari rumah Lie Tay San. Setelah itu mereka membuka toko 3x3 meter persegi, kemudian diperluas menjadi 6x9 meter persegi. Lantaran keuntungan dari penjualan buku sangat besar, mereka lalu memutuskan berhenti berjualan rokok dan berkonsentrasi hanya menjual buku dan alat tulis menulis.

Tahun 1948, mereka sepakat mengukuhkan bisnis mereka dalam bentuk firma, menjadi Firma Tay San Kongsie. Saham terbesar dimiliki Lie Tay San (40 persen), The Kie Hoat (27 persen) dan Wie Tay (33 persen). Wie Tay ditunjuk memimpin perusahaan ini. Mereka kemudian membuka toko di kawasan Kwitang. Ketika orang-orang Belanda hendak meninggalkan Indonesia, Wie Tay mendatangi rumah orang-orang Belanda tersebut dan meminta buku-buku bekas mereka untuk dijual dengan harga murah.

Tahun 1952, Wie Tay berpikir untuk mengembangkan usaha menjadi besar. Dia mengusulkan kepada kedua rekannya untuk menambah modal. Namun Lie Tay San keberatan, dia memutuskan mundur dan tetap dengan toko bukunya di lapangan Kramat Bunder (kini Toko Buku Kramat Bundar).

Sementara Tjio Wie Tay bersama Kie Hoat membangun toko sendiri di Jln Kwitang No. 13, sekarang menjadi Gedung Idayu dan Toko Walisongo. Saat itu, Kwitang masih sepi. Jangankan kios buku, toko lainnya pun belum ada. Baru ketika Wie Tay membuka toko di sana, keramaian mulai tercipta. Sejumlah gerobak buku mulai kelihatan. Sejak saat itu Kwitang menjadi ramai.

Merambah Ke Bisnis Lain

Sukses menjalankan bisnis perbukuan, Wie Tay alias Masagung merambah ke bisnis lain. Dikutip dari Liputan6.com, dia tercatat mengelola bisnis ritel bekerja sama dengan pusat perbelanjaan Sarinah di Jalan MH Thamrin. Lalu masuk ke Duty Free Shop, money changer, dan perhotelan. Mereka juga mengageni produk pena, rokok, majalah Time, sampai komputer Honeywell.

Tak hanya itum, dia juga mendirikan PT Jaya Bali Agung, sebuah perusahaan pariwisata. Haji Masagung pernah menjadi Direktur PT Jaya Mandarin Agung, pengelola Hotel Mandarin, Jakarta, sebuah usaha patungan dengan Hong Kong.

Setelah Masagung meninggal dunia pada 24 September 1990, gurita bisnis Masagung diteruskan oleh putra sulungnya, Ketut Masagung, dan kedua adiknya, Putra Masagung dan Made Oka Masagung. Namun pada 2020, Ketut Masagung juga meninggal dunia di Amsterdam, Belanda.

Setelah itulah, mulai tersirat kabar menurunnya omset dari Toko Buku Gunung Agung yang terus merugi. Sejak beberapa tahun terakhir, sejumlah toko sudah ditutup termasuk yang berlokasi di berbagai mal besar di Jakarta maupun daerah-daerah lainnya.

(mdk/azz)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Toko Buku Gunung Agung Tinggal Kenangan
Toko Buku Gunung Agung Tinggal Kenangan

Hanya tinggal menghitung hari Toko Buku Gunung Agung ditutup total.

Baca Selengkapnya
FOTO: Promo Buy 1 Get 3, Toko Buku Gunung Agung Kwitang Diserbu Warga, Antrean Sampai Membludak
FOTO: Promo Buy 1 Get 3, Toko Buku Gunung Agung Kwitang Diserbu Warga, Antrean Sampai Membludak

Toko Buku Gunung Agung memberikan promo buy 1 get 3 untuk memikat para pengunjung jelang tutup permanen.

Baca Selengkapnya
Berada di Dalam Gang, Toko Buku Legendaris di Ciputat Ini Menolak Tergerus Zaman
Berada di Dalam Gang, Toko Buku Legendaris di Ciputat Ini Menolak Tergerus Zaman

Toko buku lawas di gang Jalan Dewi Sartika ini masih terus eksis hingga kini.

Baca Selengkapnya
Cerita Toko Roti Tegal di Matraman, Tempat Soe Hok Gie Nyatakan Cinta Sebelum Meninggal di Gunung Semeru
Cerita Toko Roti Tegal di Matraman, Tempat Soe Hok Gie Nyatakan Cinta Sebelum Meninggal di Gunung Semeru

Katanya, Soe Hok Gie menyatakan perasaannya ke perempuan yang ia kagumi di toko roti ini.

Baca Selengkapnya
Potret Toko Jamu Tertua di Indonesia, Umurnya Hampir 2 Abad Sejak Kolonial Belanda
Potret Toko Jamu Tertua di Indonesia, Umurnya Hampir 2 Abad Sejak Kolonial Belanda

Berdiri sejak abad ke-19, toko jamu ini masih eksis bertahan hingga sekarang.

Baca Selengkapnya
Viral Pria Paruh Baya Jualan Pulpen di Depan Sekolah, Keliling dari Bandung sampai Cirebon
Viral Pria Paruh Baya Jualan Pulpen di Depan Sekolah, Keliling dari Bandung sampai Cirebon

Meski sepi pembeli dan harus panas-panasan saat menjual pulpen tersebut, Ahmad mengaku tak ingin menyerah.

Baca Selengkapnya
FOTO: Pengunjung Sepi, Pedagang Buku di Pasar Kenari Berjualan Secara Online
FOTO: Pengunjung Sepi, Pedagang Buku di Pasar Kenari Berjualan Secara Online

Kondisi Pasar Kenari yang sepi pengunjung membuat pedagang buku memutar otak untuk mendapatkan pembeli.

Baca Selengkapnya
Pria Penyandang Disabilitas Ini Masih Gigih Berjualan Mainan Anak Keliling, Curi Perhatian Warganet
Pria Penyandang Disabilitas Ini Masih Gigih Berjualan Mainan Anak Keliling, Curi Perhatian Warganet

Setiap orang tentu berjuang keras untuk mempertahankan hidupnya.

Baca Selengkapnya
Kini Tinggal Kenangan, Ini Potret Toko Pertama yang Sediakan Jasa Antar Barang dan Jadi Tempat Nongkrong Pemuda Pejuang Surabaya
Kini Tinggal Kenangan, Ini Potret Toko Pertama yang Sediakan Jasa Antar Barang dan Jadi Tempat Nongkrong Pemuda Pejuang Surabaya

Mirisnya bangunan cagar budaya ini dihancurkan untuk pembangunan mall

Baca Selengkapnya
Kisah Kakek Jagat Penjual Mainan Keliling yang Sering Pulang dengan Tangan Kosong, Bikin Haru
Kisah Kakek Jagat Penjual Mainan Keliling yang Sering Pulang dengan Tangan Kosong, Bikin Haru

Perjuangan kakek Jagat penjual mainan keliling ini viral, mengaku sering pulang dengan tangan kosong.

Baca Selengkapnya
Simak Asal Usul Toko Kelontong yang Kini Berubah jadi Supermarket Modern
Simak Asal Usul Toko Kelontong yang Kini Berubah jadi Supermarket Modern

Pedagang kelontong kebanyakan dilakukan orang-orang keturunan China.

Baca Selengkapnya
Akhir Kejayaan Pabrik Arang Legendaris di DKI, Setop Operasi Buntut Biang Polusi
Akhir Kejayaan Pabrik Arang Legendaris di DKI, Setop Operasi Buntut Biang Polusi

Sejak 1975 silam, ternyata pabrik arang itu sudah beroperasi di sana. Tetapi seiring padatnya penduduk di sana, keberadaan pabrik menjadi masalah.

Baca Selengkapnya