Produksi Susu Lokal Belum Cukup untuk Program Makan Bergizi Gratis, Pemerintah Bakal Impor?
Menu susu akan tetap tersedia dalam program makan bergizi gratis, meskipun tidak akan disajikan setiap hari.
Pada pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang pertama di Jakarta pada Senin, 6 Januari 2025, susu tidak termasuk dalam daftar menu. Hal ini disebabkan oleh ketidakcukupan pasokan susu di berbagai daerah yang mengharuskan pemerintah untuk melakukan impor.
Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, menjelaskan bahwa program ini lebih menekankan pada penggunaan produk pangan lokal.
"Kita usahakan dalam negeri semuanya, disesuaikan dengan pangan di daerah. Misalnya kalau di tempat saya orangnya suka makan ikan. Tempe tahu dan yang lain mungkin nomor dua, tapi di Jawa mungkin telur, tempe dan tahu," ungkap Zulkifli Hasan di Graha Mandiri, Jakarta.
Meskipun susu tidak akan disajikan setiap hari, ia tetap menjadi salah satu pilihan dalam program makan bergizi gratis. Zulhas juga mengakui bahwa kebutuhan akan susu impor masih ada.
"Susu kan tertentu aja, kan enggak tiap hari. Susu memang ada impornya, tapi seperti biasa. Tapi yang lain disesuaikan dengan pangan di daerah," tambahnya.
Berdasarkan pantauan Liputan6.com di lapangan, pelaksanaan program MBG, menu yang disajikan hanya terdiri dari nasi, ayam teriyaki, tahu goreng, tumis kacang panjang, dan buah jeruk.
Ketiadaan susu dalam menu ini terlihat di dua sekolah yang dikunjungi oleh Penjabat Gubernur Jakarta, Teguh Setyabudi, yaitu SD Barunawati 2-SMPN Barunawati dan SMPN 61 Palmerah, Jakarta Barat.
Susu disajikan dalam gelas
Menanggapi isu tersebut, Teguh menyatakan bahwa susu akan tetap disediakan dalam MBG tetapi tidak setiap hari. Ia menjelaskan bahwa susu hanya akan disajikan 1-2 kali dalam seminggu.
"Tadi memang sudah disampaikan bahwasanya yang akan disampaikan kurang lebih seminggu adalah 2 kali susu itu," ungkap Teguh di SMPN 61 Palmerah, Jakarta Barat.
Teguh juga menambahkan bahwa kebutuhan susu dalam program tersebut akan disesuaikan dengan kebutuhan atau standar gizi yang setara. Ia menyebutkan bahwa situasi ini mirip dengan nasi, di mana ada anak-anak yang tidak mengonsumsi nasi.
"Memang tidak harus bahwasanya susu, nanti ada sebagian lainnya. Katakanlah misalnya, nasi tidak semua daerah itu pakai nasi. Katakanlah di Papua mungkin sagu," jelasnya.
"Dan wilayah Jakarta kalau tidak ada yang suka dengan nasi atau tidak terbiasa, bisa digantikan kentang, kemudian juga dengan protein, artinya ada variasinya," sambungnya.