Tak Hanya Orang Miskin, Kelas Menengah dan Orang Kaya Ikut Nikmati Anggaran Perlindungan Sosial
Sebenarnya anggaran perlindungan sosial juga dialokasikan untuk subsidi dan kompensasi yang dinikmati hampir seluruh masyarakat Indonesia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan anggaran perlindungan sosial tidak hanya dinikmati masyarakat miskin atau kalangan menengah ke bawah. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga telah disalurkan Pemerintah melalui berbagai program.
"Kita memberikan perlindungan sosial tidak hanya kepada kelompok rentan dan miskin, tapi juga kelompok kelas menengah" kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers RAPBN 2025 di Kantor Ditjen Pajak, Jakarta, Jumat (16/8).
Sri Mulyani membeberkan kebanyakan masyarakat melihat anggaran tersebut hanya untuk program bantuan sosial (bansos). Semisal Program Keluarga Harapan (PKH), program Sembako, Program Indonesia Pintar (PIP), program Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Nasional (PBI JKN).
Berbagai program tersebut pun memang banyak dinikmati masyarakat kelas bawah. Namun, sebenarnya APBN juga dialokasikan untuk subsidi dan kompensasi yang dinikmati hampir seluruh masyarakat. Mulai dari BBM, listrik hingga LPG, sehingga harga barang tersebut lebih murah dari nilai keekonomiannya.
"APBN memberikan bantuan ke masyarakat subsidi dalam bentuk barang yang membuat harga lebih rendah seperti BBM listrik dan LPG," kata Sri Mulyani.
Berbagai subsidi dan kompensasi itu pun pada akhirnya bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat. Namun Sri Mulyani tidak menampikan hal tersebut membuat penerimanya tidak tepat sasaran.
"Subsidi dan kompensasi ini memproteksi daya beli masyarakat, baik kelompok miskin, menengah dan kaya menikmati subsidi tersebut, memang ini menjadi persoalan dari sasaran," kata Sri Mulyani.
Gaji Kelas Menengah Habis Buat Beli Makan
Baru-baru ini Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat-Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM-FEB UI) merilis riset kondisi penduduk kelas menengah terkini. Dalam laporan Seri Analisis Makroekonomi: Indonesia Economic Outlook Triwulan III-2024, tertulis sub judul daya beli kelas menengah terus tergerus.
Pada tahun 2023, total konsumsi dari kelompok calon kelas menengah dan kelas menengah adalah 82,3 persen dari total konsumsi rumah tangga di Indonesia. Dalam hal ini calon kelas menengah menyumbang 45,5 persen dan kelas menengah menyumbang 36,8 persen. Ini menandai peningkatan dari tahun 2014, karena kelompok ini masing-masing menyumbang 41,8 persen dan 34,7 persen dari konsumsi.
Namun, tren mereka mengalami perbedaan dalam lima tahun terakhir. Porsi konsumsi calon kelas menengah meningkat dari 42,4 persen pada tahun 2018. Sebaliknya, porsi konsumsi kelas menengah turun dari 41,9 persen pada periode yang sama.
"Penurunan ini menunjukkan pengurangan konsumsi kelas menengah, yang mencerminkan potensi penurunan daya beli mereka," dikutip dari Seri Analisis Makroekonomi: Indonesia Economic Outlook Triwulan III-2024 LPEM-FEB UI, Kamis (15/8).
Kelas Menengah Butuh Suntikan Subsidi
Pemerintah Indonesia memang terbilang rajin memberikan subsidi kepada masyarakat. Mulai dari subsidi energi berupa BBM, LPG, gas hingga listrik dan subsidi nonenergi seperti program kredit, pupuk termasuk subsidi pajak.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat-Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM-FEB UI) menilai calon kelas menengah menjadi penerima terbesar subsidi dari pemerintah. Sedangkan penduduk kelas menengah hanya mendapatkan sedikit subsidi yang diberikan pemerintah. Sementara itu, penduduk kelas atas tidak menerima subsidi sama sekali.
Distribusi ini menekankan pentingnya mendukung kelas menengah untuk menjaga keseimbangan fiskal. Jika daya beli kelas menengah menurun, hal ini dapat memaksa mereka untuk berpindah ke calon kelas menengah atau rentan, mengurangi peran mereka sebagai kontributor pajak dan meningkatkan ketergantungan mereka pada dukungan
fiskal.
Akibatnya, pemerintah akan menghadapi tekanan keuangan yang lebih besar dan mungkin perlu meningkatkan pengeluaran publik untuk subsidi, yang selanjutnya memengaruhi rasio pajak terhadap PDB dan mempersulit upaya mencapai keberlanjutan fiskal serta mempertahankan pertumbuhan ekonomi.