Ternyata, Ini Penyebab Ratusan Honorer Bidan Gagal Diangkat Jadi PPPK
Aturan tersebut memberikan wewenang pada pemerintah daerah (Pemda) untuk menambah proses seleksi PPPK di wilayahnya masing-masing.
Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng menyebut bahwa sebanyak 532 peserta seleksi PPPK berijazah D4 Bidan Pendidik dibatalkan kelulusannya. Akhirnya, ini berujung pada pembatalan pengangkatan ASN bagi para bidan yang sudah dinyatakan lulus.
Ombudsman Republik Indonesia menilai gagalnya seleksi ribuan guru honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) karena aturan PermenpanRB Nomor 14 Tahun 2023 Pasal 32.
Aturan tersebut memberikan wewenang pada pemerintah daerah (Pemda) untuk menambah proses seleksi PPPK Guru di wilayahnya masing-masing dengan Seleksi Kompetensi Teknis Tambahan (SKTT). Perlu diketahui, seleksi tambahan ini dilakukan di luar tes CAT (Computer Assisted Test) yang dijalani semua calon ASN.
"Jadi kalau CAT murni itu diberlakukan untuk semua daerah, SKTT ini sebagai kebijakan nasional malah tidak untuk semua daerah, hanya 60 instansi pemerintah daerah yang mengambil SKTT sebagai syarat tambahan," kata Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng dalam konferensi pers di Kantor Ombudsman RI, Jakarta.
"Yang menjadi pertanyaan, kalau kebijakan nasional harusnya berlaku untuk semua tetapi ternyata diserahkan saja kepada instansi, kalau mau gunakan silakan kalau enggak apa-apa. (Perlu ditegaskan) kebijakan nasional itu harus berlaku, tidak bersifat operasional seperti itu," ujar dia.
Robert menjelaskan bobot SKTT sebesar 30 persen dari hasil akhir penilaian seleksi CPPPK Guru, sedangkan tes CAT 70 persen. Karena itu, ketika peserta selesai mengikuti CAT, bagi pemda yang mengusulkan SKTT, nilai CAT tidak bisa dianggap sebagai nilai akhir.
"Bayangkan orang itu lulusan terbaik tapi karena ada menu tambahan kemudian tidak lulus. Ini terjadi di sejumlah daerah yang kita lakukan pemeriksaan," ungkap Robert.
Banyak Ditemukan Kejanggalan
Hasil pemeriksaan Ombudsman menunjukkan berbagai kejanggalan, salah satunya jumlah tim Panitia Seleksi Daerah (Panselda) yang hanya 2 orang, di mana masing-masing daerah biasanya menerima ratusan pelamar CPPPK Guru.
"Hanya dua orang untuk memeriksa sepuluh komponen penilaian dalam waktu seminggu dengan jumlah peserta ratusan Itu nggak mungkin," katanya.
Dengan temuan itu, Robert menilai, kondisi tersebut membuka kemungkinan terjadinya praktik korupsi dan nepotisme. Karena dengan tes SKTT ini pejabat daerah bisa menggugurkan peserta seleksi CPPPK Guru dengan menetapkan nilai yang sangat rendah. Sedangkan mereka yang direncanakan untuk lolos menjadi PPPK Guru akan diberikan nilai yang tinggi.
"Jadi gampang saja cara untuk meluluskan orang, di kasih nilai sangat tinggi 9 itu hampir pastinya lulus, yang tidak diluluskan atau memang rencananya tidak diluluskan itu dikasih nilai 1, otomatis tidak lulus. Bahkan kalau dia CAT-nya tertinggi di daerahnya, jika diberi nilai 1 pasti tidak lulus. Ini yang kita lihat ada ketidak-objektif-an, ada tindakan diskriminatif yang dilakukan yang kemudian membuat proses ini tidak akuntabel," imbuhnya.