Hotel Singapore Semarang, Saksi Bisu Kebiadaban Tentara Jepang Paksa Para Perempuan Jadi Budak Seks
Bangunan Hotel Singapore menjadi saksi bisu kebiadaban tentara Jepang yang memaksa para perempuan menjadi jugun ianfu untuk melayani hasrat seksual mereka.
Bangunan bertuliskan "Hotel Singapore" di Semarang menjadi saksi bisu kebiadaban tentara Jepang saat menjajah wilayah Asia. Tempat ini menjadi salah satu lokasi, kaum perempuan pribumi, Eropa, China, Arab, dan India dipaksa menjadi jugun ianfu atau wanita yang melayani hasrat seksual tentara Jepang.
Hotel Singapore Semarang, Saksi Bisu Kebiadaban Tentara Jepang Paksa Para Perempuan Jadi Budak Seks
Pemerhati sejarah, Mozes Christian Budiono mengatakan, ada empat rumah bordil di Semarang berbentuk losmen, di antaranya Hotel Singapore di Jalan Imam Bonjol dan Jalan S Parman Semarang. Bangunan yang masih berdiri itu menjadi saksi bisu para wanita melayani hasrat seksual tentara Jepang.
- Dua Polisi Terlibat Kekerasan Seksual, Modus Ingin Lihat Tato di Badan Teman Perempuan
- Miliuner Indonesia Bangun Hotel Mewah di Singapura, Ini Dia Sosoknya
- Awalnya Mau Cari Hotel, Ini Pengakuan Bule Italia Akhirnya Berhubungan Intim di Depan Rumah Warga
- Genap 43 Tahun, Intip Momen Mewah Ulang Tahun Syahrini di Jepang
"Sejarah yang saya baca, (fasilitas ini) untuk mencegah dan mengawasi Tentara Jepang melampiaskan hasrat seksual di sembarang tempat. Biar tidak kena penyakit."
Pemerhati sejarah, Mozes Christian Budiono, Rabu (19/7).
Aktivitas Jugun Lanfu tersebut diinisiasi Kolonel Okubo atas persetujuan Jenderal Muzaki. Hasil koordinasi dengan markas Jepang di Jakarta diperbolehkan untuk mendirikan rumah bordil di Semarang pada awal bulan Februari 1944.
"Karena disetujui, akhirnya tentara yang butuh tinggal ambil gadis-gadis ke kamp yang ada di Ambarawa dan Semarang. Mereka yang dibawa wanita yang tidak punya riwayat penyakit dan belum menikah dan dipaksa untuk dipekerjakan," ujarnya.
Total ada sekitar 35 orang Eropa yang ditempatkan untuk menjadi perempuan penghibur di Kota Semarang. Selain itu, ada 100 perempuan lainnya dari China, Arab, India, dan pribumi yang turut menjadi pelayan hasrat seksual Tentara Jepang di tempat bordil itu.
"Ya mereka melayani tentara. Kalau menolak melayani mereka (Jugun Ianfu) dipukul, ditodong pakai samurai. Pokoknya dianiaya."
Pemerhati sejarah, Mozes Christian Budiono.
Perbudakan seks yang dilakukan Tentara Jepang mulai berembus keras di dunia Internasional tahun 1991. Kim Hak Soon perempuan asal Korea yang jadi korban perbudakan seks Tentara Jepang jadi pelopor membuka aib yang selama ini ditutupi.
Diduga tertutupnya peristiwa kelam yang menimpa kaum perempuan itu karena mereka malu, merasa terpukul dan terhina untuk mengungkapkan kasus tersebut. Setelah itu, banyak korban-korban lain yang kemudian speak up dengan menulis buku.
"Ada beberapa penyitas yang membuat buku salah satunya Jan Ruff O'Herne warga Belanda yang menulis buku berjudul '50 Years Of Silence Comfort Women of Indonesia'. Isinya menceritakan pengalaman pahit dia ditarik dari Kamp Ambarawa dan dipindahkan ke daerah Semarang bawah untuk dijadikan budak seks," ujarnya.
Pemerintah Jepang akhirnya meminta maaf setelah dinyatakan bersalah di Peradilan Internasional di Den Haag, Belanda pada tanggal 4 Desember 2001. Keputusan pengadilan menyatakan Jepang harus bertanggung jawab atas perbudakan pada 200 ribu perempuan di wilayah Asia. Informasi yang dihimpun pemerintah Jepang memberikan kompensasi kepada penyintas. Namun, ia heran uang kompensasi yang disalurkan Pemerintah Jepang kepada Dinas Sosial tidak diberikan kepada penyintas, melainkan digunakan untuk membangun panti jompo. "Jadi kompensasi uang yang diberikan itu tetap tidak setimpal. Trauma penyitas dibawa sampai mati. Seharusnya cerita-cerita Jugun Ianfu harus ditulis dan diketahui warga Jepang. Atau dibuat sebuah monumen untuk mengenang mereka," tutup Mozes.