Kisah Bubukshah dan Gagang Aking dari Zaman Majapahit
Kisah Bubuksah dan Gagang Aking adalah kisah populer yang berkembang sekitar pertengahan abad ke-14 di zaman Majapahit. Berkisah tentang saudara kembar laki-laki, yang tua bernama Kebo-milih, yang muda bernama Kebo-ngraweg.
Kisah Bubukshah dan Gagang Aking adalah kisah populer yang berkembang sekitar pertengahan abad ke-14 di zaman Majapahit. Berkisah tentang saudara kembar laki-laki, yang tua bernama Kebo-milih, yang muda bernama Kebo-ngraweg.
Kisah Bubukshah dan Gagang-Aking diambil dari tulisan Willem Huibert Rassers (1877-1973) berjudul "Siwa dan Buddha di Kepulauan Indonesia". Ulasan Van Stein Callenfels, yang diambilnya pula dari laporan Poerbotjaroko. (Jacob Sumardjo-Arkeologi Budaya Indonesia-2002).
-
Bagaimana KEK Singhasari memanfaatkan sejarah? Keunggulan lain dari KEK Singhasari yakni adanya sektor pariwisata dengan tema heritage and sejarah. Hal ini dilatarbelakangi nilai situs sejarah kerajaan Singhasari.
-
Siapa yang meneliti sejarah Sidoarjo? Mengutip artikel berjudul Di Balik Nama Sidoarjo karya Nur Indah Safira (Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo, 2000), Kabupaten Sidoarjo terkenal dengan sebutan Kota Delta yang merujuk pada sejarah daerah ini yang dulunya dikelilingi lautan.
-
Di mana sejarah terasi dapat ditelusuri? Sejarah terasi di kawasan Cirebon dapat ditelusuri hingga masa kekuasaan Pangeran Cakrabuana, yang memainkan peran penting dalam perkembangan kawasan tersebut.
-
Bagaimana sejarah Waduk Sempor? Waduk Sempor diresmikan pada 1 Maret 1978 yang ditandai dengan adanya prasasti bertanda tangan Presiden Soeharto. Semula, waduk ini difungsikan sebagai sumber pengairan bagi sejumlah kompleks persawahan di sekitarnya. Namun lambat laun waduk itu menjadi destinasi wisata baru bagi warga sekitar.
-
Bagaimana cara Gereja GPIB Immanuel di Medan melestarikan nilai sejarahnya? Diketahui, Gereja GPIB Immanuel sudah didaftarkan dan ditetapkan menjadi salah satu Cagar Budaya di Kota Medan pada tahun 2021 lalu.
-
Bagaimana sejarah Museum di Puro Mangkunegaran? Museum ini terletak tak jauh dari Balai Kota Solo, berdasarkan sejarahnya, museum ini sudah dibangun sejak tahun 1867 dan dulunya digunakan sebagai kantor untuk De Javasche Bank Agentschap Soerakarta.
Ketika masih muda, keduanya ditinggal mati oleh kedua orang tuanya. Karena anak kembar ini sejak muda sudah gemar bersemedi, dan kurang mau membantu bekerja sanak keluarga yang memungut dan mengasuh mereka, maka keduanya diusir.
Bubukshah bersama saudaranya meninggalkan Desa Batur, dan di senja hari tiba di sebuah bale-dana yang dilukisi lakon Sudamala. Kemudian meneruskan perjalanan melalui pemandangan-pemandangan alam yang permai.
Mereka melewati sebelah selatan sebuah bangunan candi yang belum selesai dibangun, kemudian melintasi ladang-ladang padi di daerah Kediri. Mereka sampai di tepi bengawan Brantas. Seseorang yang kebetulan melihat mereka, merasa iba, dan menjanjikan akan menyeberangkan keduanya ke seberang bengawan dengan perahu.
Tetapi betapa kaget dan heran si pemilik perahu, ketika menyadari bahwa perahunya terhanyut oleh arus air sungai, tidak seperti biasanya dengan mudah melintasi sungai. Namun akhirnya kedua anak kembar diceritakan berhasil mencapai seberang bengawan.
Keduanya meneruskan perjalanan, dan sampai di sebuah pendapa. Mereka istirahat duduk di pendapa tersebut, dan anjing-anjing menggonggongi keduanya. Mereka meminta air minum sedikit. Jauh dari mereka, duduklah seorang hyang guru dengan murid-muridnya.
Guru tersebut menyuruh salah seorang muridnya untuk menanyakan siapa kedua anak kembar yang mirip satu sama lain itu. Keduanya menghadap hyang guru dan menjawab. Anak kembar ini menyatakan ingin berguru supaya memperoleh ilmu tentang hakikat Tuhan Yang Maha Agung. Keduanya diterima sebagai murid.
Nama kedua anak kembar itu diganti oleh guru mereka, Kebo milih diganti nama Gagang Aking, sedang Kebo Ngraweg diganti nama Bubukshah.
Sekian lama berguru, keduannya lantas meneruskan perjalanan dan tiba di sebuah pancuran air, dan keduanya mandi di situ. Menjelang pagi, mereka meneruskan perjalanan melintasi hutan-hutan yang sunyi. Mereka sampai di lambung gunung, dan terbentanglah di depan mereka padang-padang Jenggala dan Majapahit.
Kemudian meneruskan perjalanan menaiki gunung Setelah sampai di puncak, keduanya memutuskan untuk mendirikan gubuk masing-masing di situ. Gagang Aking, sebagai yang tua, mendirikan gubuknya di sebelah barat, sedangkan Bubukshah di sebelah timur.
Sedang di tengah-tengah dua gubuk tersebut akan dibangun balai bersama, tempat itu ternyata dekat mata air, sesuai dengan yang mereka inginkan. Mata air tersebut ada di sebelah sebuah candi yang rupanya dahulu didirikan oleh para wiku.
Percandian ini sama dengan penemuan sumber air dan percandian yang baru ditemukan pada 2020 lalu.
Arkeolog Nugroho Harjo Lukito mengatakan penemuaan sumber air tersebut berawal dari kegiatan zonasi Candi Klotok pada tahun 2017 lalu. Berdasarkan hasil survei di kawasan Gunung Klotok, ditemukan sejumlah titik lokasi yang berpotensi menyimpan benda cagar budaya. Salah satunya struktur batu bata kuno dan sumber mata air yang dimanfaatkan penduduk setempat sebagai irigasi.
Dari hasil eskavasi hari kedua, tampak sebuah bangunan bekas patirtaan kuno yang memanjang dari utara ke selatan. Selama ini, bangunan tersebut tertimbun oleh abu vulkanis dari letusan Gunung Kelud serta material tanah longsor dari puncak Gunung Klotok.
"Bangunan petirtaan biasanya digunakan sebagai tempat mensucikan diri sebelum melakukan ritual peribadatan di candi yang ada di puncak," kata Ketua Tim Eskavasi Nugroho Harjo Lukito.
Di candi tersebut bergambar lakon Jamur-juwang yang sedang bertapa, bercakap-cakap dengan seekor harimau, dan digoda oleh tujuh bidadari. Candi itu amat indah, sehingga keduanya berpikir tak mungkin candi itu dibangun oleh tangan manusia.
Setelah gubug dan balai selesai dibangun, keduanya mulai membuka hutan dengan menebangi pohon-pohon serta membakarnya. Dampak penebangan hutan itu banyak binatang yang lari dan ada yang terbakar. Binatang yang terbakar segera dimakan dengan rakus oleh Bubukshah. Untuk minumnya, Bubukshah menghilangkan dahaga dengan air nira.
Kebiasaan Bubukshah makan daging binatang dan minum tuak sepanjang hari ini, diingatkan oleh saudaranya, Gagang Aking. Ia mengingatkan cara hidup semacam itu bertentangan dengan ajaran guru mereka, Rahulu Kembang. Apalagi makan daging itu dosa, namun Bubukshah tidak mempedulikannya dan tetap menangkap binatang dengan jeratnya, dan memakannya,
Pembangunan tempat tinggal itu akhirnya selesai, tempat ini menjelma menjadi tempat yang indah dipenuhi tumbuhan bunga-bunga. Di kejauhan tampak pemandangan laut, keramaian pasar Daha dan hilir mudiknya perahu-perahu di bengawan.
Bubukshah tetap menjalani hidupnya tanpa tirakat, selalu makan dan mengisi waktunya dengan tidur. Tidak ketinggalan pula minum tuak dan makan daging binatang yang dimasak dengan berbagai cara menjadi kebiasaan setiap harinya.
Atas kebiasaan saudarannya itu, Gagang Aking sering memperingatkan bahwa cara hidup demikian pasti tidak akan mengantarkannya mencapai kesempurnaan surgawi. Tidak hanya itu, ketika Gagang Aking mengajak saudaranya itu untuk pergi ke ladang, Bubukshah selalu menolak. Alasannya sibuk memeriksa jebakan, siapa tahu ada binatang yang tertangkap.
Meski berbeda kebiasaan, namun ada kebiasaan yang sama yakni bertapa olah rasa. Hingga suatu waktu saat kebiasaan bertapa keduannya terdengar sampai di kedewaan.
Keduanya lantas mendapat ujian. Gagang Aking berhasil menahan godaan karena hanya memakan pisang dan tales saja, sedang Bubukshah gagal menahan godaan akibat kerakusannya memakan segala daging binatang, memakan, ikan serta nasi.
Kedua cara hidup saudara kembar itu akhirnya menimbulkan perdebatan yang berujung pada pertengkaran antara keduanya. Keduanya bersikukuh mempertahankan cara hidup masing-masing.
Ujungnya dari perdebatan itu mereka memutuskan untuk melepaskan diri dari raga masing-masing dan menghadap Batara Guru. Mereka ingin kepastian cara siapa yang paling baik menuju kesempurnaan.
Alih-alih mendapat jawaban, jawaban Batara guru malah sukar dipahami, sehingga diputuskan ketika keduanya kembali ke raga masing-masing.
Macan putih Kalawijaya diperintahkan Batara Guru untuk menguji kedua saudara kembar itu, siapa yang lebih tyaga.
Kemudian Kalawijaya turun ke gunung Wilis sebagai macan putih. Kali pertama yang didatangi Gagang Aking. Macan putih minta makan sedikit saja, makanan yang dia inginkan adalah daging manusia.
Gagang Aking menolak, ia mengaku masih menyayangi jiwanya, dan menjawab terlalu kurus. Ia menyarankan kepada macan putih agar memakan saudaranya yang gemuk.
Macan putih kemudian mendatangi Bubukshah dan meminta permintaan yang sama seperti ke Gagang Aking. Bubukshah justru menyambut dengan ramah dan menyiapkan nasi, daging, tuak, dan ikan. Dan ketika macan putih Kalawijaya menyatakan hanya dapat memakan daging manusia, Bubukshah dengan gembira menyediakan dirinya untuk dimakan macan putih.
Bubukshah berdalih, kebiasaannya memakan daging agar binatang itu pada penjelmaannya kelak dapat menjadi makhluk-makhluk yang lebih tinggi derajatnya.
Sebelum menyatakan siap dimakan macan putih, Bubukshah menyantap habis semua hewan tangkapan. Dia lantas mandi dan memakai pakaian terbaiknya serta wewangian.
Bukannya takut, Bubukshah tetap tenang. Setelah ternyata Bubukshah tak tergoyah, baru macan putih mengaku dirinya diutus dewa untuk menguji.
Atas kejadian itu Gagang Aking mengakui kebenaran cara bertapa Bubukshah, sehingga mengaku kalah, dan meminta kepada saudaranya itu agar ia boleh mengikutinya ke mana pun dia pergi. Bubukshah meluluskan permintaan ini.