Kisah Hari-hari Terakhir Ismail Marzuki, Maestro Musik Indonesia yang Karyanya Melegenda
Ismail Marzuki wafat setelah menderita penyakit paru-paru.
Lagu Halo Halo Bandung, Hari Lebaran, Sepasang Mata Bola, hingga Rayuan Pulau Kelapa merupakan empat dari seabreg karya jenius maestro musik ternama Indonesia, Ismail Marzuki.
Ismail tak mematok tema spesifik dalam lagu-lagunya, namun ia membawa pesan tertentu yang bisa diresap oleh para pendengarnya. Nada yang dibuat juga nyaman didengar, dengan tempo yang bervariasi.
-
Kapan Abdul Karim Amrullah meninggal dunia? Abdul Karim menutup usia pada 2 Juni 1945 di Jakarta.
-
Kapan Ilyas Ya'kub meninggal dunia? Ilyas mengembuskan napas terakhirnya pada 2 Agustus 1958 dan dimakamkan di depan Masjid Raya Al-Munawarah Koto Barapak, Bayang, Pesisir Selatan.
-
Kapan W.R. Soepratman meninggal dunia? Pada 17 Agustus 1938, Wage meninggal dunia di Jalan Mangga Tambak Sari Surabaya karena gangguan jantung.
-
Kapan Ivan Gunawan meresmikan Masjid Indonesia? Setelah dua tahun pembangunannya, masjid ini akhirnya selesai dan diresmikan langsung oleh Ivan Gunawan bersama pengurus masjid.
-
Kapan ayah Irjen Krishna Murti meninggal dunia? Telah meninggal dunia ayahanda tercinta kami Brigjen TNI (P) Bom Soerjanto Bin Soejitno, Rabu jam 01.35 WIB,
-
Siapa Imad Aqil? Kelompok Hamas mempunyai sosok pejuang yang menjadi inspirasi mereka dalam melawan pasukan Israel. Imad Aqil, salah satu pejuang Hamas yang namanya dikenal di Palestina.
Ismail menjadi sosok yang benar-benar menyelami dunia musik. Ia multi instrumentalis karena mampu memainkan piano, gitar, flute, terompet hingga saksofon. Bahkan ia masih melakoni pertunjukan di hari-hari terakhir kehidupannya.
Ismail Marzuki wafat setelah menderita penyakit paru-paru.
Totalitas dalam Bermusik
Totalitas dalam bermusik selalu ditunjukan oleh Ismail Marzuki di setiap karya musiknya. Ismail mempelajari banyak instrumental, untuk menunjang pembuatan karya yang penuh dengan elemen berbagai jenis alat musik.
Hampir seluruh komposisi musik di lagunya, Ismail ciptakan sendiri dan ia gabungkan sehingga menghasilkan nada yang harmonis.
Itulah mengapa, sebelum menciptakan banyak lagu, ia bisa membawa nama grup musik Lief Java terangkat dan bermain banyak instrumen di sana seperti gitar, saksofon dan terompet. Grup ini kemudian melejit di Bandung, Jawa Barat.
- Kisah Cinta Komponis Ismail Marzuki dan Istri Eulis Zuraida, Ditolak Mentah-mentah hingga Luluh Usai Mabuk Laut
- Mengenang Sosok Galang Rambu Anarki, Putra Sulung Iwan Fals yang Wafat di Usia 15 Tahun
- Kerap Diputar saat Idulfitri, Ini Makna Lagu 'Selamat Lebaran' Karya Ismail Marzuki yang Ternyata Penuh Sindiran
- Kisah Hidup Basiyo, Maestro Lawak Dagelan Mataram dari Yogyakarta
Senang Mengumpulkan Berbagai Alat Musik
Kecintaannya terhadap musik juga ditunjukan Ismail dengan menjadi kolektor berbagai instrumen. Ia mengoleksi alat musik tiup, petik, hingga tabuh yang sesekali ia mainkan saat pertunjukan.
Alat musik inilah yang membantu kesuksesan Ismail di dunia musik hingga namanya dikenal harum saat ini.
“Sebagai penggemar musik, Ismail senang mengumpulkan pelbagai instrument musik. Ia punya biola, banyo, gitar, ukulele, saksofon, xylofon, harmonium, chandran, akordeon, Hohner hingga clarinet,” tulis Ninok Leksono di buku Seabad Ismail Marzuki: Senandung Melintas Zaman, dikutip Jumat (6/9).
Sakit Paru-paru Usai Membeli Saksofon Baru
Sampai dekade 1940 hingga 1950-an, Ismail masih aktif di bandnya Java Leaf. Ia terus mengadakan pertunjukan dan pembuatan musik. Kemudian, kebutuhan Ismail terkait alat musik juga tinggi karena ia gunakan bergantian saat tampil di banyak daerah.
Saat ia aktif di orkes ini, salah satu anggota bandnya dilarang mengunakan alat tiup saksofon oleh dokter. Ia lantas menawarkan saksofon kepada Ismail, dan instrumen tiup itu ia beli tanpa bertanya lebih jauh sebab mengapa ia dilarang menggunakan saksofon tersebut atau menderita penyakit tertentu.
Setelah ia membeli dari rekannya itu, saksofon dibersihkannya luar dalam. Mengganti peniup (blow pipe) dengan yang baru, termasuk bagian lidah atau bamboo piece-nya. Usut punya usut, Ismail terserang penyakit paru-paru.
“Beberapa bulan setelah menggunakannya, tenggorokan Ismail sering merasa gata. Ia tidak batuk, namun hanya berdehem-dehem. Ismail kemudian mengurangi rokok dan selalu mengantongi permen hisap pereda gatal tenggorokan,” tulisnya.
Hasil Pemeriksaan Dokter
Hasil pemeriksaan dokter menyebut, bahwa paru-parunya bermasalah. Dari foto rongent didapati kondisi paru-paru sebelah kirinya mengalami bintik-bintik tipis. Saat itu dokter mengatakan bahwa penyakitnya masih belum apa-apa.
Kemudian, beberapa bulan berlalu, kondisi paru-parunya berangsur-angsur sembuh. Ismail selanjutnya justru medapat kabar bahwa temannya yang menjual saksofon mengalami penyakit paru-paru akut hingga akhirnya meninggal dunia.
“Saksofon pembawa penyakit itu akhirnya ia bakar,” tulisnya lagi.
Penyakit Paru-paru Ismail Marzuki Kian Parah
Setelah beberapa waktu, penyakit paru-paru Ismail kembali kambuh. Bahkan kali ini kondisinya makin parah, seperti terjadi pada acara Pemilihan Bintang Radio 1951. Seusai perhelatan, Ismail langsung ambruk.
Meski hari-hari berikutnya, kondisinya semakin membaik dan ia hanya pergi ke RRI selama beberapa jam saja untuk memeriksa alat lalu kembali ke rumahnya.
Ismail kemudian masih sempat tampil di beberapa pementasan dan membuat aneka lagu untuk kebutuhan rekam. Namun sayangnya, kondisi Ismail Marzuki mulai berubah.
“Ismail mulai banyak mengurung diri di kamar, meski sebenarnya keaktifannya mengarang lagu di malam hari memperparah keadaannya,” tambah dia.
Kondisi Tubuh Kurus Kering Menjelang Akhir Hayat
Dituturkan sang istri, masa puncak penyakit paru-parunya adalah di tahun 1957-1958. Saat batuk, kondisinya selalu beruntun hingga terbungkuk-bungkuk. Kondisi ini diperparah dengan sakit telinga di sebelah kiri hingga tidak bisa difungsikan lagi.
“Meski masih lahir lagu ‘Lara Asih’ dan ‘Di Ambang Sore’ namun sejak itu ia tidak pernah lagi ke luar rumah. Untuk kebutuhan hidup ia mendapat penghasilan dari RRI sebesar Rp700 rupiah,” tulis di buku itu.
Kondisinya kian memprihatinkan saat detik-detik terakhir kehidupannya. Tubuh Ismail kurus, dengan jajaran tulang iga yang menonjol. Sang istri, kemudian merawatnya dengan sepenuh hati agar kondisi Ismail membaik.
“Teman-teman yang menjenguknya di rumah merasa kaget dengan kondisi Ismail. Tubuhnya kurus, dengan jajaran tulang yang menonjol,” tambahnya.
Ismail akhirnya meninggal dunia di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada 25 Mei 1958 dalam usia 44 tahun. Sebelumnya Ismail lahir pada 11 Mei 1914, dan untuk mengenangnya ia kini telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.