Hidup Penuh Keterbatasan, Pasangan Lansia Asal Purbalingga Ini Nekat Buka Warung di Tengah Pegunungan
Untuk bisa sampai ke warung itu, pengunjung butuh berjalan kaki selama satu jam melewati jalan menanjak yang curam dan dipenuhi batu.
Hidup penuh keterbatasa tak menyurutkan semangat Bu Ratmini dan Pak Wiarji untuk mencari nafkah. Di usianya yang telah beranjak senja, sepasang lansia itu justru nekat membuka sebuah warung kecil di atas gunung.
Melalui video yang diunggah pada Rabu (18/9) lalu, pemilik kanal YouTube Tedhong Telu berkesempatan mengunjungi warung kecil itu dan bertemu dengan Bu Ratmini dan Pak Wiarji.
-
Kapan Warung Kolak Mangga Besar buka? Hanya Dijual saat Ramadan Mengutip Fokus Indosiar, kolak ini jadi buruan warga Jakarta dan sekitarnya karena hanya dijual selama sebulan tiap tahunnya. Kedai ini rupanya hanya buka di bulan Ramadan saja.
-
Apa yang terjadi pada warung Mbok Yem saat kebakaran Gunung Lawu? Berdasarkan keterangan akun Instagram @lawumountain, warung sebelah Mbok Yem terbakar separuh. "Mbok Yem Alhamdulillah sehat wal afiat dan warungnya tidak terbakar. Yang terbakar separoh adalah warung pak Giyar yg berada di dekatnya warung mbok Yem" tulis @lawumountain pada Senin (2/10).
-
Kenapa Ibu Hartini membuka warung di tengah hutan? Walaupun membuka warung di hutan yang sepi, namun Ibu Hartini mengaku tidak takut.
-
Kapan Keisya mendaki gunung? Belum lama ini, Keisya membagikan foto-foto serunya saat mendaki gunung bersama empat temannya.
-
Bagaimana cara lantai dapur Kampung Naga mengelola sisa makanan? Menurut Yani, warga di Kampung Naga membedakan lantai di dapur dengan ruang-ruang lainnya. Khusus di dapur, lantainya menggunakan susunan bambu bernama Palupuh. Sedangkan ruang lainnya berbahan kayu.Palupuh disebut memiliki fungsi untuk mengelola sisa makanan setelah dihidangkan dan disantap bersama keluarga. Jadi makanan yang tumpah atau sisa bisa dibuang langsung lewat lantai bambu Palupuh yang bisa dibuka dan langsung jatuh ke kandang ayam.
-
Di mana warung unik di tengah sawah ini berada? Adapun posisi warung tersebut diketahui berada di tengah-tengah area persawahan, Desa Citengah, Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Persisnya, warung berada di bawah pinggir jalan desa, sehingga siapapun yang ingin membeli dan menikmati jajanan serta pemandangan, ia harus menuruni jalan setapak.
Mereka menyambut kedatangan Tedhong Telu dengan ramah. Dari warung itu bisa dilihat hamparan rumah-rumah dan ladang milik warga di bawah sana.
Lalu seperti apa kisah dari sepasang lansia itu? Berikut selengkapnya:
Berada di Lokasi Terpencil
Lokasi warung itu benar-benar terpencil di atas Pegunungan Ardilawet yang secara administratif masuk wilayah Desa Penusupan, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga. Untuk bisa sampai ke warung itu, pengunjung butuh berjalan kaki selama satu jam melewati jalan menanjak yang curam dan dipenuhi batu.
Pak Wiarji bercerita, di warung itu ia dan istrinya menjual aneka makanan dan minuman. Namun tak semua makanan bisa mereka hidangkan. Bu Ratmini mengaku sudah tidak bisa lagi memasak gorengan karena keterbatasan fisik yang ia miliki. Saat ini Bu Ratmini sudah berusia 60-an tahun, sementara Pak Wiarji 70-an tahun.
Berada di Jalur Pendakian
Pak Wiarji mengatakan, ia dan istrinya terpaksa membuka warung di atas sana demi mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga. Jalan setapak yang berada di depan warung itu merupakan jalur pendakian ke puncak Pegunungan Ardilawet. Di puncak pegunungan itu ada makam seorang ulama bernama Syekh Jambu Karang. Lokasinya masih sejauh dua kilometer lagi dari warung itu ke arah puncak.
- Kakak Beradik Bacok Teman Nongkrong Pakai Parang Hingga Tewas, Ini Pemicunya
- Pasangan Lansia Tinggal di Rumah Mewah di Tengah Sawah, Begini Cara Mengangkut Bahan Bangunannya
- Pria di Pelalawan Perkosa Menantu yang Sedang Terbaring Sakit
- Pasangan Lansia Hidup dengan Damai di Tengah Hutan, Rumahnya Sederhana Berdinding Bilik Bambu
“Nanti buat orang yang tidak mampu mendaki, biar istirahat di sini. Atau buat yang capek, sebelum lanjut mendaki bisa istirahat di sini dulu. Jadi dari para pendaki itu kami mendapat penghasilan,” kata Pak Wiarji dikutip dari kanal YouTube Tedhong Telu.
Jadi Tempat Istirahat Para Peziarah
Bu Ratmini melanjutkan, ramainya warung ditentukan dari jumlah peziarah yang datang ke makam Syekh Jambu Karang. Ia mengatakan, tidak setiap hari makam itu ramai dikunjungi peziarah. Biasanya mereka akan berbondong-bondong datang ke warung itu pada Rabu Pon, Kamis Wage, dan Malam Jumat Kliwon.
“Kalau peziarah banyak yang datang, mereka pasti mampir ke warung ini. Beli teh manis, kopi, atau minum-minuman ini. Apa saja. Tapi kalau gorengan atau mendoan emang nggak jual karena saya sudah repot, nggak bisa bikin,” kata Bu Ratmini.
Sudah 9 Tahun Buka Warung
Bu Ratmini mengatakan, mereka sudah membuka warung di sana selama 9 tahun. Warung itu buka 24 jam. Sehari-hari mereka memang tinggal di warung itu. Kata Bu Ratmini, rumah mereka di desa kondisinya sudah memprihatinkan.
Sementara ketiga anak mereka sudah berumah tangga dan masing-masing sudah memiliki rumah sendiri.
“Biasanya bapak pulang ke rumah 7-10 hari sekali. Kalau pulang biasanya nge-cash aki soalnya di sini nggak ada listrik. Kalau mau nyalain lampu harus pakai aki,” kata Bu Ratmini.
Kondisi Warung yang Memprihatinkan
Dalam kesempatan itu, pemilik kanal YouTube Tedhong Telu berkesempatan melihat sendiri warung milik kedua pasangan lansia itu. kondisinya benar-benar memprihatinkan. Untuk tempat tidurnya hanya berupa karpet tipis yang lantainya beralaskan kardus bekas. Di sanalah Bu Ratmini dan Pak Wiarji biasa beristirahat.
Sementara dinding dan atapnya terbuat dari seng. Kondisi dapurnya dipenuhi barang-barang dan kondisinya sempit. Untuk penerangannya, keluarga itu hanya mengandalkan aki. Lampu itu terpasang di beberapa titik. Tapi untuk menghemat aki, biasanya hanya satu lampu yang dinyalakan.
“Ya memang tempatnya seadanya seperti ini. Tapi saya nggak malu kalau tinggal di sini,” kata Bu Ratmini dikutip dari kanal YouTube Tedhong Telu.