Kisah Hidup NH Dini Penulis Legendaris Asal Semarang, Mantan Pramugari yang Hidup Berkelana di Luar Negeri
Sastrawan Goenawan Moehammad pernah mengatakan karya-karya NH Dini ibarat titik-titik embun pada daun
Nurhayati Srihardini lahir di Semarang pada tanggal 29 Februari 1936. Ia merupakan seorang pengarang legendaris asal Indonesia yang lebih dikenal dengan nama NH Dini. Ia merupakan anak bungsu dari lima bersaudara. Ayahnya, Salyowijoyo, merupakan seorang pegawai perusahaan kereta api.
Dikutip dari kanal YouTube Penjelajah Waktu, NH Dini dikenal karena karya-karyanya yang indah. Sastrawan Goenawan Moehammad pernah mengatakan karya-karya NH Dini ibarat titik-titik embun pada daun: ringan, bersih, segar, transparan, dan cepat menguap.
-
Siapa yang berperan sebagai Dini di sinetron Bidadari Surgamu? Salah satu aktris yang mencuri perhatian adalah Mentari De Marelle. Memerankan tokoh Dini di sinetron tersebut, kehadirannya pun membawa warna baru pada jalan cerita sinetron ini.
-
Siapa yang mendandani Nindya? Didandani oleh MakeUp Artist Lokal Selain pakaiannya, riasan wajah Nindya tentu menjadi sorotan. Ia mengandalkan tangan ajaib seorang MakeUp Artist di Pekanbaru bernama Meti Rosari yang menyebut gaya riasan itu dengan ‘Flawless Natural Look Addict’ dalam caption Instagramnya @metirosari.
-
Di mana TNI dibentuk? Dahulu TNI dibentuk dan dikembangkan dari sebuah organisasi bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR).
-
Kenapa NISN penting? Nomor tersebut menjadi pembeda antara satu siswa dengan siswa lainnya di seluruh sekolah Indonesia maupun Sekolah Indonesia di Luar Negeri.
-
Di mana Niki kuliah? Setelah beranjak dewasa, NIKI memutuskan pindah ke Amerika untuk kuliah. Serius dengan musik, Niki pun berkuliah di Universitas Lipscomb dan mengambil jurusan musik.
Lalu seperti apa perjalanan hidup NH Dini? Berikut selengkapnya:
Sempat Jadi Pramugari
NH Dini sudah gemar menulis sejak masih duduk di bangku di kelas 2 SMP. Saat itu ia menulis karena rasa rindu pada kakaknya yang lama tidak berjumpa. Ia juga menulis karena tertarik melihat keindahan alam.
Lalu ia menulis karena melihat ketidakadilan. Sejak duduk di bangku SMA, ia giat dalam perkumpulan sastra. Saat itu ia rajin membawakan sandiwara radio.
Selanjutnya ia berkarier sebagai pramugari untuk maskapai Garuda Indonesia. Dari pekerjaannya, ia mengenal seorang wakil konsulat Prancis di Jakarta bernama Yves Coffin.
Pada Juni 1960, ia menikah di Kobe, Jepang. Di saat bekerja sebagai pramugari itulah muncul cerita-ceritanya tentang udara. Tulisannya itu muncul di berbagai majalah seperti “Siasat” dan “Mimbar Indonesia”.
- Kriuk Gurihnya Kerupuk Jangek, Olahan Kulit Sapi Legendaris dari Minangkabau
- Sisi Lain Penyanyi Legendaris Gombloh, Tak Betah Kuliah di Jurusan Arsitektur hingga Pernah Berbagi BH ke PSK
- Cerita di Balik Kue Kembang Goyang yang Legendaris, Cara Ibu-Ibu Betawi Menghibur Belanda
- Mengunjungi Petilasan Ki Ageng Mangir, Sosok Legendaris Musuh Bebuyutan Panembahan Senopati
Hidup Berpindah-Pindah
Di kalangan para sastrawan, Dini dianggap sebagai pengarang perempuan yang tajam dan teliti dalam pengamatannya terhadap keadaan masyarakat. Bila tidak suka akan sesuatu, ia akan berterus terang. Ia menganggap perempuan punya persamaan dengan laki-laki dalam hal hak dan kewajiban.
Pada tahun 1955, berita kedatangan NH Dini ke Jakarta membuat heboh pengarang-pengarang muda di sana. Mereka kemudian mengajak Dini berdiskusi, bertemu para tokoh sastra, dan menyusuri daerah hitam di Jakarta.
Selama hidupnya, Dini memang hidup berpindah-pindah mulai dari Jepang, Kamboja, Amerika, Belanda, dan Prancis. Selama lebih dari 20 tahun ia bermukim di luar negeri.
Akhir Hayat NH Dini
Pada akhir 1980, NH Dini kembali ke Indonesia untuk berobat. Sekembalinya ke Indonesia, ia memperoleh kembali kewarganegaraan Indonesia. Selama bertahun-tahun setelah itu, Dini mengelola sebuah lembaga nirlaba yang dikhususkan untuk literasi anak-anak.
Pada masa senjanya, Dini tinggal di sebuah panti jompo Katolik di Semarang. Ia meninggal dunia pada 4 Desember 2018 karena tabrakan antara mobil taksi yang ia tumpangi dengan sebuah truk di jalan raya Semarang.
Semasa hidupnya, Dini menerbitkan buku antara lain “Pada Sebuah Kapal” (1973), La Barka (1975), Namaku Hiroko (1977), Keberangkatan (1977), Sebuah Lorong di Kotaku (1978), Padang Ilalang di Belakang Rumahku (1979), dan Langit dan Bumi Sahabat Kami (1980).