Kisah Sentot Ali Basyah, Panglima Perang Diponegoro yang Dibuang ke Bengkulu
Perang Diponegoro (1825-1830) merupakan salah satu perang terbesar yang dihadapi Belanda. Selain Diponegoro, ada banyak tokoh yang muncul dalam perang itu. Salah satunya Sentot Ali Basyah.
Perang Diponegoro (1825-1830) merupakan salah satu perang terbesar yang dihadapi Belanda. Pada saat itu, Pangeran Diponegoro melakukan perlawanan secara gerilya tiada henti. Begitu pula dengan para pengikutnya yang melakukan hal serupa di daerah-daerah perlawanan yang berbeda.
Dari banyak tokoh pengikut Pangeran Diponegoro itu ada nama Sentot Ali Basyah. Sentot Ali Basyah pertama kali bergabung dengan pasukan Diponegoro di Gua Selarong pada Agustus 1825. Pada saat itu Sentot baru menginjak usia 17 tahun.
-
Kenapa Jaka merantau? Dengan penuh tekad, Jaka pun memutuskan untuk merantau ke negeri orang untuk mencari nafkah dan mewujudkan semua impian mereka berdua.
-
Kapan Beji Sirah Keteng dibangun? Mengutip Instagram @purbosasongko_dalang, Situs Beji Sirah Keteng dibangun pada masa pemerintahan Raja Sri Jayawarsa.
-
Apa yang diterima Pemprov Jateng dari Balai Bahasa? Pada Kamis (10/8), Pemprov Jateng menerima hibah dari Balai Bahasa berupa bangunan gedung permanen dan perangkatnya.
-
Bagaimana cara membuat Jenang Saren? Mengutip Kemdikbud.go.id, bahan utama yang digunakan untuk membuat jenang saren adalah tepung ketan dan gula jawa.
-
Kenapa Candi Jago dibangun? Sejarah Candi Jago dibangun atas inisiasi Raja Kertanegara untuk menghormati mendiang sang ayah, Raja Sri Jaya Wisnuaedhana (1248-1268).
-
Bagaimana cara membuat kue jipang? Berasnya dimasukkan ke situ,” ungkap pemilik kanal YouTube Brent Sastro sembari menunjuk sebuah alat pemanas yang dihubungkan ke gas elpiji. Di sebelahnya, tampak sebuah wajan berisi air gula yang dicampur minyak sedang dipanaskan.
Pada awalnya, Pangeran Diponegoro hendak mendidik Sentot menjadi seorang santri. Namun ia tampa tidak berminat. Hingga kelak diketahui bahwa sesungguhnya anak muda itu ingin menjadi panglima perang. Berikut kisah selengkapnya:
Seorang Revolusioner
©Kekunoan.com
Sentot Alibasyah Abdulmustopo Prawirodirdjo merupakan putra dari Raden Ronggo Prawirodirdjo, Bupati Montjonegoro Timur dengan salah seorang selir. Ibu dari Raden Ronggo adalah puteri Hamengku Buwono I. Jadi sama halnya dengan Pangeran Diponegoro, Sentot merupakan buyut dari Hamengku Buwono I.
Perlawanan Sentot muncul setelah melihat betapa mengerikannya perang yang dilancarkan Diponegoro terhadap Belanda. Apalagi ayah Sentot juga merupakan orang yang keras terhadap kolonial. Maka tak heran, Sentot tumbuh menjadi pemuda revolusioner yang menaruh kebencian terhadap Belanda.
Strategi Perang Ala Sentot
©Nusapedia.net
Setelah tiga tahun mengikuti perang bersama Pangeran Diponegoro, pada tahun 1828 Sentot dipilih menjadi panglima perang. Saat itu Gusti Basyah, salah seorang panglima perang Diponegoro, gugur di medan perang. Sebelum wafat, ia berpesan pada Pangeran Diponegoro agar yang menggantikannya adalah Sentot. Pangeran Diponegoro menyetujui usulan itu.
Tak lama setelah diangkat jadi panglima perang, Sentot Ali Basyah langsung menunjukkan kemampuannya. Pada 5 September 1828, dia dikirim ke Progo Timur dan berhasil memukul mundur tentara Belanda di bawah pimpinan Sollewijn.
Beberapa minggu kemudian, dia juga berhasil mengatasi perlawanan Belanda di wilayah Banyumas dan Bagelen. Saat peperangan Sentot seringkali menggunakan penggerebekan sebagai taktik perang.
“Jika Sentot mundur, maka kemunduran itu terjadi secara teratur dan bijaksana. Tentaranya disebar sehingga susah menyusulnya dan kerap kali berbahaya. Jadi tak dapat dipastikan apakah pelarian itu tipu-tipu atau tidak. Tentara pemburu yang formasinya tak tertutup lagi, bisalah menjadi korban,” kata E.S de Klerck dalam bukunya yang berjudul “De-Java-oorlog van 1825-1830”.
Kejatuhan Sentot Ali Basyah
Kepandaian Sentot dalam urusan menyusun taktik perang gerilya membuat Sentot tak hanya dihormati oleh pasukannya, namun juga oleh pasukan Belanda. Namun suatu kekalahan besar terjadi pada 8 Januari 1829.
Saat itu Belanda telah membangun benteng baru yang besar di Nanggulan. Namun Sentot tidak bereaksi cepat karena sibuk mengurus keuangan. Saat Sentot memerintahkan pasukannya untuk menyerang benteng itu, pasukan Belanda sudah terlanjur kuat. Pasukan Sentot mengalami kekalahan.
Pada 16 Oktober 1829, Sentot akhirnya menyerah kepada Belanda. Ada beberapa sumber yang menyatakan alasan kenapa Sentot menyerah. Ada yang menyebut kalau ia mengambil keuntungan pribadi, ada pula yang menyebut kalau dia sudah tak sanggup melihat kondisi perekonomian rakyat yang selama perang menjadi penyuplai utama logistik.
Jalani Masa Pembuangan
©kemdikbud.go.id
Setelah menyerah, Sentot ditangkap dan diadili di Batavia. Ia kemudian dibebaskan kembali dan diperintahkan untuk menumpas pemberontakan Cina di Karawang dan Salatiga. Setelah berhasil, Sentot kembali dipanggil ke Batavia dan diminta membantu serdadu Belanda melawan Kaum Paderi di Sumatera Barat.
Akan tetapi sewaktu di Sumatera, ia secara diam-diam melakukan siasat kerja sama dengan Imam Bonjol dan pasukannya. Hal itu diketahui Belanda dan membuat ia kembali dipanggil ke Batavia untuk selanjutnya menjalani masa pembuangan di Bengkulu.
Sebelum menjalani masa hukumannya di tahun 1833, Sentot diizinkan untuk menunaikan ibadah haji ke Makkah. Dalam pembuangannya, ia banyak mengajarkan ilmu-ilmu dan kaidah-kaidah agama Islam kepada masyarakat Bengkulu. Sentot meninggal pada 17 April 1955 selama masa pembuangan itu.