Mengenal Ritual Sidekah Kupat, Jejak Kerajaan Pasundan di Provinsi Jateng
Ritual Sidekah Kupat biasanya dilaksanakan pada hari terakhir di Bulan Sapar. Menurut penuturan warga desa setempat, ritual itu sudah berumur 494 tahun. Ritual itu dilakukan dalam rangka memperingati perjalanan raja-raja Pasundan yang melewati kawasan Dayeuhluhur, Cilacap.
Bulan Sapar diperingati warga di Kecamatan Dayeuhluhur, Cilacap sebagai masa di mana raja-raja Pasundan melakukan ziarah rohani. Saat itu, mereka melakukan perjalanan melewati jalan-jalan kampung. Demi memperingati perjalanan para raja-raja Pasundan, warga di sana menggelar ritual “Sidekah Kupat”. Ritual itu masih berjalan hingga kini.
Dilansir dari Jatengprov.go.id, ritual Sidekah Kupat biasanya dilaksanakan pada hari terakhir di Bulan Sapar. Menurut penuturan warga desa setempat, ritual itu sudah berumur 494 tahun. Ketua Lembaga Adat Desa Hanum, Ceceng Rusmana mengatakan, ada berbagai versi terkait sejarah ritual itu.
-
Kenapa Jaka merantau? Dengan penuh tekad, Jaka pun memutuskan untuk merantau ke negeri orang untuk mencari nafkah dan mewujudkan semua impian mereka berdua.
-
Kapan Beji Sirah Keteng dibangun? Mengutip Instagram @purbosasongko_dalang, Situs Beji Sirah Keteng dibangun pada masa pemerintahan Raja Sri Jayawarsa.
-
Apa yang diterima Pemprov Jateng dari Balai Bahasa? Pada Kamis (10/8), Pemprov Jateng menerima hibah dari Balai Bahasa berupa bangunan gedung permanen dan perangkatnya.
-
Bagaimana cara membuat Jenang Saren? Mengutip Kemdikbud.go.id, bahan utama yang digunakan untuk membuat jenang saren adalah tepung ketan dan gula jawa.
-
Kenapa Candi Jago dibangun? Sejarah Candi Jago dibangun atas inisiasi Raja Kertanegara untuk menghormati mendiang sang ayah, Raja Sri Jaya Wisnuaedhana (1248-1268).
-
Bagaimana cara membuat kue jipang? Berasnya dimasukkan ke situ,” ungkap pemilik kanal YouTube Brent Sastro sembari menunjuk sebuah alat pemanas yang dihubungkan ke gas elpiji. Di sebelahnya, tampak sebuah wajan berisi air gula yang dicampur minyak sedang dipanaskan.
Salah satunya adalah peristiwa yang terkait dengan sejarah raja-raja Pasundan dan Kerajaan Mataram, baik Mataram Kuno maupun Mataram Islam. Lalu bagaimana keseruan ritual tersebut? Berikut selengkapnya:
Jalur Kuno
©jatengprov.go.id
Ceceng mengatakan, Mataram merupakan tempat ziarah bagi raja-raja Pasundan. Apalagi di tempat itu ada bangunan rohani seperti candi maupun tempat-tempat ziarah lainnya.
“Dulu di sini dipercaya sebagai alur puraga atau jalur darat kuno sebelum adanya Jalan Daendles. Pada zaman Mataram Kuno itu banyak Raja Pasundan yang berziarah ke Candi Dieng dan Prambanan lewat sini. Begitu pula saat Mataram Islam, banyak yang ziarah. Kalau lewat utara dan selatan kan kebanyakan masih rawa-rawa,” kata Ceceng dikutip dari Jatengprov.go.id pada Rabu (21/9).
Bekal Bagi Para Raja
©jatengprov.go.id
Sebagai rasa bakti penduduk kepada para raja-raja Pasundan, mereka mempersembahkan ketupat para rombongan itu. Ketupat itu disajikan dengan digantung pada sebuah tongkat melintang di perbatasan-perbatasan desa.
“Warga menyediakan bekal pada iring-iringan raja. Selain itu zaman dulu pada bulan Sapar, warga juga membersihkan jalan desa sebagai persiapan iring-iringan raja yang melakukan perjalanan,” lanjut Ceceng.
Masih Dilestarikan
©jatengprov.go.id
Meskipun saat ini kerajaan Pasundan telah tiada, tradisi itu masih dilestarikan warga di zaman modern ini. Setiap Rabu Wekasan Bulan Sapar pukul 06.00, warga berkumpul di batas desa. Mereka membawa ketupat yang disajikan di sebuah tiang melintang.
Nantinya, siapapun yang melintas di jalan itu bebas mengambil ketupat. Sebelum ritual dimulai, sesepuh desa membacakan riwayat tentang tetirah para raja Pasundan menggunakan bahasa Sunda lengkap beserta sesajen dan bebakaran dupa.
“Yang warga kampung lain bisa mengambil ketupat itu. Sedangkan warga desa setempat membawa bekal ketupat sendiri dan dimakan bersama-sama di perbatasan desa,” kata Ceceng.
Geliatkan Ekonomi Warga
©jatengprov.go.id
Pada tahun 2022 ini, Pemprov Jateng bekerja sama dengan Pemkab Cilacap turut memeriahkan Sidekah Kupat dengan menggelar festival budaya. Selain karena pandemi COVID-19 telah mereda, adanya acara ini diharapkan menggeliatkan perekonomian warga setempat.
“Gotong royong bersama dari semua pemangku kebijakan, termasuk perekonomian perlu bicara. Dari Pemprov memberikan triger, berharap bisa menjadi spirit. Berharap seperti Dieng Culture Festival yang sudah 13 tahun. Ini baru sekali, tentu butuh pondasi elementer yakni masyarakat. Nanti kemajuan itu akan direngkuh oleh masyarakat sendiri,” kata Kabid Pembinaan Kebudayaan Disdikbud Jateng, Eris Yunianto, dikutip dari Jatengprov.go.id.