Bencana dan Berkah Jurnalis Perempuan
Menjadi jurnalis perempuan yang meliput sepak bola bak dua mata pisau berlawanan. Pada satu sisi bisa memperoleh kemudahan, tapi bisa juga jadi korban kekerasan
Menjadi jurnalis perempuan yang meliput sepak bola bak dua mata pisau berlawanan. Pada satu sisi bisa memperoleh kemudahan, di sisi lain rentan mengalami berbagai jenis kekerasan.
Bencana dan Berkah Jurnalis Perempuan
Ratna (bukan nama sebenarnya) adalah jurnalis perempuan yang paling sering mengalami kekerasan di Stadion Gelora Bung Tomo (GBT) Surabaya. Di sana, ia pernah dicaci maki hingga digoda oknum suporter. Namun, pengalaman terburuknya yakni menjadi saksi Tragedi Kanjuruhan.
Ia tak pernah membayangkan akan melangkahi puluhan mayat di stadion, tempat yang identik dengan pekerjaannya selama ini. Sementara di kanan kiri, ia menyaksikan banyak orang kesakitan usai terkena tembakan gas air mata. Ia tak tahu insiden apa yang sebelumnya terjadi.
-
Siapa yang menjadi jurnalis perempuan pertama di Indonesia? Sebagai jurnalis perempuan pertama di Indonesia, Rohana Kudus mendirikan surat kabar khusus perempuan yang ia pimpin sendiri, bernama Soenting Melajoe pada 10 Juli 1912.
-
Kenapa rumput Stadion Pakansari diganti? Selain mengganti rumput, sistem drainase pun akan diperbaiki. Sejak beroperasi pada 2016, rumput Stadion Pakansari, belum pernah diganti sama sekali. Meski begitu, stadion berkapasita 30 ribu penonton itu, masih digunakan sebagai home base Persikabo 1973 dalam mengarungi Liga 1.
-
Apa yang diperlihatkan oleh suporter Timnas Indonesia di tribun utara? Apa yang diperlihatkan oleh suporter Timnas Indonesia di tribun utara sangat mampu memotivasi Jay Idzes dan rekan-rekannya. Apalagi, ini adalah pertandingan perdana Skuad Garuda di kandang sendiri pada Putaran Ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia.
-
Bagaimana peran PT Semen Indonesia dalam pembangunan Stadion GBK? Bangunan pada Stadion GBK menggunakam Semen Gresik yang mana PT Semen Indonesia (Persero) Tbk berkontribusi dalam menyukseskan program pembangunan yang dicanankan oleh pemerintah solusi produk yang berkualitas dan ramah lingkungan.
-
Apa yang membuat Lala ketagihan menonton sepak bola di Gelora Bung Tomo? Awalnya, mereka waswas tapi ternyata berujung ketagihan.
-
Kenapa Stadion Teladan Medan ambruk? Meski stadion tersebut hanya memiliki kapasitas resmi 30.000 penonton, tingginya antusiasme masyarakat, terutama anak-anak, menyebabkan kepadatan yang luar biasa. Pengunjung datang dari berbagai daerah, secara berombongan.
Pada waktu-waktu tertentu, penggalan-penggalan situasi hari nahas yang menewaskan 135 orang itu masih berkelebat di alam bawah sadarnya. Bencana paling mematikan kedua dalam sejarah sepak bola dunia itu pengalaman terberat Ratna sepanjang kariernya sebagai jurnalis olahraga.
“Selama ini bayanganku kekerasan atau kerusuhan seputar aksi saling lempar, suporter ricuh. Kalau di GBT (Stadion Gelora Bung Tomo), biasanya terjadi saat big match atau Persebaya kalah, aku hampir kena lemparan batu atau botol,” ujarnya.
“Pasti ada suporter resek, catcalling saat aku motret (pertandingan sepak bola). Ada yang minta foto, nomor WA. Waktu hujan, aku pakai mantol dan tetap payungan untuk melindungi kamera, digodain ‘mau payungan sama aku po? enak mepet (berhimpitan)’” jelas jurnalis media siber itu menirukan ucapan pelaku.
“Bagiku yang penting tidak bersinggungan langsung secara fisik,” imbuh dia.
Lika-liku Jadi Minoritas
Pengalaman Ratna sering digoda suporter saat meliput pertandingan sepak bola terjadi karena ia seorang perempuan. Di dunia sepak bola yang mayoritas laki-laki, ia minoritas.
Rekan-rekannya jurnalis sepak bola pun sebagian besar laki-laki. Pengalamannya sering digoda suporter di Stadion Gelora Bung Tomo, menurut Ratna, tak dialami oleh rekan jurnalis laki-laki. Sadar bahwa perempuan di Indonesia masih dipandang sebelah mata, Ratna memilih melakukan hal-hal antisipatif saat bekerja meliput sepak bola.
“Saat kerja ke stadion saya sangat memperhatikan penampilan agar tidak memancing orang berperilaku kurang ajar. Saya biasanya pakai celana jins atau celana kain, kaos panjang, jilbab model biasa. Ya meskipun masih ada saja yang tetap godain,” ungkapnya.
“Kalau kerusuhan, aku biasanya nempel satu temen cowok yang badannya gede dan bisa melindungiku,” terangnya.
Naning (bukan nama sebenarnya), jurnalis olahraga salah satu media siber di Jawa Timur juga punya pengalaman terkait kerusuhan suporter di Stadion GBT.
“Aku liputan selalu di bawah (lapangan) karena sambil motret. Waktu mau masuk ke ruangan, di depanku ada suporter bawa kayu terus (aku) kayak mau dikepruk. Aku diselamatkan anak Metro TV sama polisi kalau enggak salah,” ungkap Naning.
Dua kali terjebak kericuhan suporter di Stadion GBT membuat Naning sempat khawatir dengan pekerjaannya.
“Aku sempet males liputan. Dilempari botol, sandal mungkin sudah lumrah ya. Tapi kalau sampai kayak diancam mau dikepruk pakai kayu itu (ganggu) psikis banget,” jelasnya.
Tantangan
Tantangan lain yang sering dialami jurnalis saat meliput sepak bola yakni terkait pengambilan foto dan video. Misalnya saat suporter merusak fasilitas, jurnalis punya dua tantangan. Pertama, tuntutan pekerjaan yang membuat mereka harus memotret atau memvideo anarkisme suporter. Kedua, ada kalanya suporter tidak terima jika aksi anarkis mereka didokumentasikan jurnalis.
- Gaya Lincah Jenderal Bintang 3 TNI Gocek Bola di Lapangan, Bikin Lawan Kewalahan
- Mengejutkan, Pembunuh Bocah Perempuan dalam Karung di Bekasi Simpan Alat Dukun dan Foto Anak-Anak
- 6 Kesalahan yang Harus Dihindari Sebelum Mulai Berlari atau Melakukan Olahraga Lain
- Mencekam, Makam Kuno Ini Berisi Sisa-Sisa Tulang Bocah Berusia 3.000 Tahun Bersama Kerangka Kuda Berhias Kalung Perunggu
Tesis Hery Gunawan berjudul Cara Kerja Wartawan Sepak Bola Indonesia (Studi Etnografi Adaptasi Wartawan Desk Sepak Bola di Jawa Pos Radar Jogja, Goal Indonesia, dan Bola dalam Menghadapi Kekerasan dan Dinamika Kerja di Tahun 2021 menyatakan hal serupa. Tantangan kerja jurnalis sepak bola di lapangan masih banyak. Mulai potensi kekerasan fisik maupun verbal, upah kurang layak, beban kerja berat, hingga belum ada jaminan kesehatan dan keselamatan dari kantor.
“Beban kerja wartawan sepak bola Indonesia juga berbeda-beda sesuai dengan kebijakan kantor masing-masing,” terang alumnus Magister Ilmu Komunikasi Universitas Gajah Mada itu.
Serangan Digital
Ratna dan Naning juga beberapa kali diserang melalui media sosial.
Satu yang paling diingat Ratna adalah kejadian tahun 2018 usai ia menerbitkan artikel tentang salah satu klub sepak bola ternama di Jawa Timur. Beberapa oknum suporter klub tidak terima dan menyerang Ratna melalui Instagram.
Para suporter menganggap karya jurnalistik yang ditulis Ratna menjelek-jelekkan tim kebanggaan mereka. Bahkan, tak hanya kalangan suporter, salah satu jurnalis yang disinyalir dekat dengan klub juga memprotes artikel Ratna. Sementara itu, Ratna menyatakan bahwa artikel yang ia tulis sudah menerapkan prinsip disiplin verifikasi.
Ratna kemudian melaporkan serangan digital yang ia alami kepada atasannya di kantor. Menanggapi laporan tersebut, sang redaktur mengatakan bahwa apa yang dialami Ratna merupakan risiko pekerjaan jurnalis. Tak ada tindakan tegas yang dilakukan sang atasan.
Belajar dari peristiwa tersebut, Ratna memilih melakukan langkah-langkah antisipatif agar tidak lagi menjadi sasaran serangan digital suporter.
“Aku memilih tidak terlalu sering mengomentari postingan yang berhubungan dengan kerjaan. Misalnya akun pengamat sepak bola, medsos klub,” jelasnya.
Pada 2019 silam, suporter ricuh usai Persebaya kalah melawan PSS Sleman. Mereka menyalurkan amarah dengan merusak sejumlah fasilitas Stadion GBT. Lintasan karet untuk atletik dibakar, kursi penonton di bangku VIP dicopot dan dilempar ke tengah stadion, kursi macthcom dan kursi bench pemain bagian kanan dan kiri dirobohkan, papan reklame iklan dibakar.
“Sebagai jurnalis melihat sisi anarkis mereka, aku menulis dan posting itu di Instagram. Postinganku ramai dikomentari suporter, intinya mereka enggak terima disalahkan,” ujar Naning kepada Merdeka.com, Selasa (31/1/2023).
Diskriminasi vs Hak Istimewa
Jurnalis perempuan yang ditugaskan meliput sepak bola, menurut Ratna dan Naning, ada kalanya menyenangkan, ada kalanya menyedihkan.
Saat kerusuhan, rekan jurnalis laki-laki jadi pelindung bagi Ratna dan jurnalis perempuan lain. Namun untuk urusan lain seperti wawancara cegat (doorstop) atau konferensi pers, mereka tak berlaku demikian.“Kalau narasumber orang penting, semua (jurnalis) berdesak-desakan. Tapi kalau narasumber kurang penting, jurnalis perempuan yang disuruh maju duluan (oleh jurnalis laki-laki),” terang Ratna.
“(Kalau kondisi mendesak) petugas kesehatan menawarkan untuk motret dari ambulans,” kenang dia.
Kenang-kenangan baik Ratna di lapangan sepak bola itu seketika berganti duka saat ia meliput laga derbi Jawa Timur, Persebaya kontra Arema FC di Stadion Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 lalu.
Tak lama setelah tragedi mematikan itu, Ratna mengajukan cuti kerja selama sepekan. Ia juga puasa media sosial, tak mau menyimak berita terbaru tentang Tragedi Kanjuruhan atau berita sepak bola lain. Selain cuti, Ratna mengaku beruntung pertandingan sepak bola di Jawa Timur sempat ditiadakan sesaat buntut Tragedi Kanjuruhan. Hal itu membuat ia tidak harus bekerja dan punya waktu lebih banyak memulihkan trauma.
“Aku suka sepak bola sejak kecil. Keluargaku semua suka sepak bola,” tandasnya.
Jurnalis Sepak Bola
Tips Aman Meliput Sepak Bola di Stadion Gelora Bung Tomo
- Fisik sehat
- Pakaian nyaman, sopan sesuai nilai sosial setempat, tidak indentik dengan identitas tim tamu
- Bawa air minum dan perbekalan secukupnya
4. Bawa ID Pers
5. Selalu bersama rekan jurnalis lain saat kericuhan
6. Pulang akhir untuk hindari kerumunan
7. Tahu jalur evakuasi saat terjadi kerusuhan
Sebaliknya, jurnalis sebaiknya tidak nekat meliput pertandingan sepak bola saat tengah sakit. Jurnalis sebaiknya tidak mengenakan pakaian identik dengan identitas tim tamu, serta tidak sendirian saat kericuhan.
Metode Penelitian dan Atribusi
Pengumpulan data dilakukan dengan menyebar kuesioner secara terbuka kepada jurnalis, suporter, tim ofisial, dan masyarakat umum yang memiliki pengalaman menonton sepak bola di Stadion Maguwoharjo Sleman dan Gelora Bung Tomo (GBT) Surabaya. Kuesioner dibagikan mulai 7 Juni 2023 hingga 6 Agustus 2023. Kami menargetkan 200 sampel dengan margin error 10 persen. Ada 215 responden yang mengisi kuesioner, namun hanya 203 responden yang memenuhi kriteria sampel. Adapun kriteria sampel terpenuhi apabila responden memiliki pengalaman langsung menonton sepak bola di Stadion GBT dan/atau Maguwoharjo, serta menjawab seluruh pertanyan.
Adapun latar belakang dari 203 responden terdiri dari 154 suporter, 5 pemain sepak bola, 41 jurnalis, dan 3 orang terdiri dari ofisial tim, fotografer, serta masyarakat umum.
Riset:
Sirojul Khafid & Rizka Nur Laily Muallifa
Fotografer:
Sirojul Khafid, Rizka Nur Laily Muallifa, Faizal Insani, Wahyu Andinia, Wahyu Hestiningdiah, Hendra Permana
Desainer Grafis:
Rizka Nur Laily Muallifa
*Karya ini merupakan bagian dari program Jaring Aman yang diselenggarakan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) bersama TIFA Foundation dan Human Right Working Group (HRWG)