Tinggalkan Hidup Enak di Istana, Ini Sosok Mbah Demang Keturunan Raja Bangkalan yang Memilih Jadi Warga Biasa
Dalam pengasingannya, ia berusaha menyembuyikan jati dirinya sebagai bangsawan.
Dalam pengasingannya, ia berusaha menyembunyikan jati dirinya sebagai bangsawan.
Tinggalkan Hidup Enak di Istana, Ini Sosok Mbah Demang Keturunan Raja Bangkalan yang Memilih Jadi Warga Biasa
Sebelum menjadi kabupaten, Bangkalan dulunya berbentuk kerajaan yang dipimpin seorang sultan. Kehidupan bangsawan kerajaan tentu saja jauh lebih enak dibanding kaum pribumi biasa saat itu. Meski demikian, kehidupan nyaman tak menjamin seluruh anggota kerajaan betah tinggal di dalamnya.
-
Kapan Sri Sultan Hamengkubuwono II memerintah? Ia memerintah pada kurun waktu tahun 1792-1828.
-
Kapan Sultan Iskandar Muda berkuasa? Ia berkuasa dari tahun 1607 sampai 1636.
-
Di mana Sri Sultan HB X mencoblos? Baru pagi-pagi hari, Gubernur DIY Sri Sultan HB X sudah hadir di TPS 12 Panembahan, Kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta.
-
Mengapa Pangeran Antasari diangkat sebagai Sultan Banjar? Sepeninggal Pangeran Hidayatullah II, rakyat Banjar dan Dayak menabalkan Pengeran Antasari sebagai Sultan Banjar pada Maret 1862.
-
Kapan Dewan Banteng resmi dibentuk? Sebanyak 612 anggota aktif dan pensiunan menyetujui pembentukan Dewan Banteng ini yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein. Dewan Banteng resmi terbentuk pada tanggal 25 November 1956.
-
Siapa cucu dari Mbah Kholil Bin Abdul Lathif Bangkalan? Profil Ra Lilur merupakan putra dari Kiai Ahmad Tamyiz dan Nyai Romlah. Ibunya merupakan cucu Mbah Kholil Bin Abdul Lathif Bangkalan.
Tinggalkan Kemewahan
Pangeran Cokrokusumo, putra ke-25 Sultan Bangkalan II meninggalkan kehidupan serba enak di kerajaan. Ia memilih hidup sangat sederhana berbaur dengan masyarakat biasa.
Alasan Tinggalkan Istana
Pada zaman itu sering terjadi pertikaian dan peperangan antar kelompok atau kerajaan akibat taktik adu domba yang dilakukan pemerintah Belanda.
Mengutip situs rodovid.org, Pangeran Cokrokusumo beranggapan bahwa memenuhi permintaan Pemerintah Hindia Belanda sama dengan menciptakan penderitaan bagi sanak keluarganya.
Di sisi lain, Pangeran Cokrokusumo sadar cepat atau lambat ia akan menerima giliran memimpin barisan Madura untuk melawan sesama bangsa pribumi.
Menolak tugas sama saja melawan pemerintah Hindia Belanda. Hal itu tentu saja akan berakibat buruk baginya.
Atas dasar itulah, akhirnya Pangeran Cokrokusumo memutuskan meninggalkan Bangkalan membawa istri, anak-anak dan kerabat dekatnya.
Selain menghindari tugas dari Pemerintah Hindia Belanda, Pangeran Cokrokusumo juga bercita-cita agar kelak, anak-anak dan keturunannya hidup damai dan sejahtera.
Perjalanan
Pada tahun 1845, rombongan Pangeran Cokrokusumo berangkat dari istana Kesultanan Bangkalan dengan menyeberangi selat Madura dan mendarat di pantai Gresik.
Selanjutnya, mereka melanjutkan perjalanan menuju sebuah perguruan (pesantren) Dosermo melalui Surabaya dan Wonokromo.
- Disambut Meriah, Kirab Pataka Jer Basuki Mawa Beya Tiba di Banyuwangi
- Bantah Dadakan, Istana: Pembicaraan Mundurnya Kepala dan Wakil OIKN Sudah Lama
- Tanggapi Kubu Ganjar, Istana: Penyaluran Bansos Tak Ada Hubungan dengan Proses Pemilu
- Teguhkan Keragaman, Upacara HUT Banyuwangi Diwarnai Busana Khas Suku Nusantara
Sembunyikan Identitas
Selama perjalanan, rombongan Pangeran Cokrokusumo berusaha menyembunyikan jati diri sebagai bangsawan. Mereka mengubah nama dan identitas lainnya. Pangeran Cokrokusumo mengubah namanya menjadi Kyai Mendhung.
Pangeran CokrokusumoMakam
Mengutip situs p2k.stekom.ac.id, Pangeran Cokrokusumo atau Mbah Mendhung meninggal pada tahun 1843. Jasadnya dimakamkan di Dusun Kaliboto, Desa Jatialun-alun, Kecamatan Prambon, Kabupaten Sidoarjo.
Masyarakat setempat menyebut makam tersebut dengan sebutan makam Mbah Demang. Hingga kini, makam tersebut dikeramatkan dan dirawat oleh penduduk desa karena sosok Mbah Demang dianggap sesepuh desa.