Berbisnis demi kemandirian santri
Pesantren Sidogiri telah memiliki 180 cabang koperasi usaha ritel.
Tidak selamanya bisnis dilakoni para ustaz moncer. Usaha mereka bisa redup seiring merosotnya popularitas mereka.
Namun Pondok Pesantren Sidogiri di Desa Sidogiri Keraton, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, tidak mau mengandalkan pamor Kiai Sadoelah Nawawie untuk berbisnis. Awalnya mendirikan kedai makanan dan toko kelontong pada 1961.
Berkat kegigihannya dan semangat tinggi para santri, usaha pesantren ini berkembang. Hingga pada medio Juli 1997, mereka telah memiliki badan hukum. Pada Rapat Anggota Biasa 2012, aset Kopontren Sidogiri diketahui naik 38,84 persen, yaitu dari Rp 28.151.201.070,93 pada 2011 menjadi Rp 39.085.893.271,44 pada 2012. Sisa Hasil Usaha paket BASMALAH Rp 3.2 miliar.
Omzet Kopontren Sidogiri saban bulan rata-rata Rp 15 miliar dan per tahun Rp 170 miliar. "Di 2011, omzet kita Rp 91 miliar, sedangkan di 2012 Rp 138 miliar. SHU untuk Kopontren mencapai Rp 18 miliar," kata Manajer Umum Kopontren Sidogiri Achmad Edy Amin kepada merdeka.com Sabtu dua pekan lalu.
Pesantren ini didirikan pada 1745 oleh Sayid Sulaiman asal Cirebon, Jawa Barat. Dia merupakan putra pertama dari Sayid Abdurrahman bin Umar Basyaiban dan Syarifah Khadijah, cucu dari Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati. Bersama santrinya, Aminullah dari Bawean, Sayid Sulaiman membabat tanah Sidogiri masih berupa hutan belantara untuk membangun pesantren.
Edy Amin mengatakan pihaknya bermimpi membesarkan usahanya demi kemaslahatan umat. Saat ini mereka telah memiliki 180 cabang. "Ke depan kami menjajaki membuka cabang di Bali, NTB, bahkan sampai ke Papua," ujafrnya.
Dia yakin usaha pesantrennya bisa menyaingi jafringan ritel Alfamart dan Indomaret. "Saat ini kami sudah mampu memproduksi sejumlah barang dari hasil karya sendiri dan UKM masyarakat, seperti air minum kemasan merk Santri, hasil pertanian warga sekitar, dan banyak lagi."