OPINI: AI, Era Society 5.0, dan Meta-AI
AI memiliki peluang yang sama untuk berkembang menjadi alat yang bermanfaat, tetapi transisinya membutuhkan waktu, edukasi, dan regulasi yang tepat.
Oleh: Abdul Kholiq
Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya
-
Apa yang dibayangkan oleh AI? Hasilnya sungguh memesona. Coldplay memainkan musik mereka di tengah latar belakang Gunung Bromo yang diselimuti kabut, menambah pesona dan kemegahan dari acara tersebut. Ribuan penonton terlihat memadati area tersebut.
-
Kapan algoritma AI baru ini diuji coba? Para tim pertama kali mencoba algoritma pembelajaran mesin dengan 134 sampel, yang terdiri dari 59 sampel biotik dan 75 sampel abiotik.
-
Apa yang diproyeksikan oleh Menkominfo terkait AI di Indonesia? Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Budi Arie Setiadi, mengatakan Artificial Intelligence (AI) memiliki peran besar dalam mengubah lanskap industri telekomunikasi. Kata dia, pada 2030 mendatang, diproyeksikan kontribusi AI terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) global mencapai USD 3 triliun.
-
Apa yang sedang disiapkan oleh Kementerian Kominfo terkait teknologi AI? Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tengah menyiapkan pengaturan mengenai Tata Kelola Teknologi Kecerdasan Artifisial atau Artificial Intelligence (AI).
-
Apa yang ditemukan para ahli dengan menggunakan AI? Para ahli dari Universitas Bradford, Nottingham, dan Stanford telah mengembangkan algoritma analisis khusus untuk membuat sebuah penemuan: salah satu objek dalam lukisan karya Raffaello Sanzio/Raphael ternyata tidak dilukis oleh sang maestro.
-
Apa yang diramalkan oleh masyarakat Yunani Kuno terkait dengan AI dan robot? Masyarakat Yunani kuno tidak hanya menciptakan fondasi peradaban modern, namun mereka juga telah meramalkan robot dan inovasi teknologi masa depan lainnya, menurut buku Gods and Robots.
Setakat perkembangan teknologi saat ini, kehadiran artificial intelligence (AI) telah menjadi topik yang tak terhindarkan dalam berbagai sektor, termasuk pendidikan. AI menjadi simbol dari era Society 5.0 yang dalam prinsipnya teknologi dirancang untuk memecahkan masalah sosial dan meningkatkan kualitas hidup manusia. Namun, di tengah pesatnya perkembangan AI, muncul paradoks dalam implementasinya.
Banyak tokoh yang menyuarakan penolakan terhadap penggunaan AI di sektor pendidikan, tetapi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi justru telah menyusun Panduan Penggunaan Generative Artificial Intelligence pada Pembelajaran di Perguruan Tinggi. Hal ini menimbulkan dilema pada akademisi dan praktisi pendidikan.
Keberadaan AI di dunia pendidikan sering kali dikritik karena dianggap dapat melemahkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif siswa. Beberapa pihak berpendapat bahwa AI, seperti ChatGPT atau perangkat lainnya, memberikan jawaban instan yang mengurangi proses analisis mendalam. Kekhawatiran ini mengingatkan kita pada kontroversi penggunaan kalkulator di masa lalu.
Saat itu, kalkulator dianggap sebagai ancaman bagi pembelajaran matematika tradisional. Namun, dalam beberapa dekade, kalkulator menjadi alat bantu yang esensial yang memungkinkan manusia untuk fokus pada aspek yang lebih kompleks dalam matematika dan sains. Begitu pula dengan AI yang memiliki potensi serupa untuk menjadi alat pendukung dalam pendidikan jika digunakan secara bijak.
Analogi lainnya dapat kita lihat pada perkembangan media lainnya, seperti aplikasi ojek online atau Google Translate. Ketika kali pertama dikenalkan, aplikasi ini mendapatkan protes karena dianggap mengancam pekerjaan konvensional dan diragukan akurasinya. Namun, kini aplikasi tersebut menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. AI memiliki peluang yang sama untuk berkembang menjadi alat yang bermanfaat, tetapi transisinya membutuhkan waktu, edukasi, dan regulasi yang tepat.
Salah satu tantangan utama dalam implementasi AI di pendidikan adalah ketergantungan yang berlebihan. Jika tidak diatur dengan baik, AI dapat mengurangi kemampuan siswa untuk belajar secara mandiri. Namun, hal ini tidak berarti AI harus dihindari sepenuhnya. Sebaliknya, manusia harus berperan sebagai pengendali AI.
AI dan Potensi Manusia
Dalam konteks Society 5.0, teknologi seperti AI harus digunakan secara aktif untuk mencapai tujuan manusia. Artinya, peran manusia bukan sekadar sebagai penerima respons dari AI, tetapi sebagai pemantau dan pengontrol yang menentukan potensi AI digunakan untuk memaksimalkan potensi manusia.
Keberadaan AI juga mengajarkan kita untuk meninjau kembali posisi manusia di tengah kemajuan teknologi. Era Society 5.0 menuntut manusia untuk beradaptasi dengan peran baru, yaitu sebagai meta pada AI—meta-AI. Sebagai meta-AI, manusia memegang kendali penuh atas kecerdasan buatan dirancang, diterapkan, dan dievaluasi.
Peran ini mencakup pengawasan terhadap algoritma, penentuan batasan etis, dan pengambilan keputusan strategis untuk memastikan bahwa AI tidak hanya memudahkan pekerjaan teknis, tetapi juga mendukung nilai-nilai kemanusiaan. Dengan pendekatan ini, manusia dapat mengarahkan AI agar selaras dengan visi pembangunan masyarakat yang inklusif dan berkelanjutan, sehingga peran teknologi tidak hanya menjadi alat, tetapi juga mitra dalam mencapai tujuan bersama.
Manusia harus menjadi pemantau, pengontrol, dan pengendali AI, bukan sekadar "penikmat" yang menerima respons AI tanpa filter. Dalam peran ini, manusia tidak hanya memanfaatkan AI untuk mempermudah pekerjaan, tetapi juga memastikan bahwa teknologi tersebut digunakan sesuai dengan tujuan yang mendukung kesejahteraan manusia.
Panduan Penggunaan Generative Artificial Intelligence pada Pembelajaran di Perguruan Tinggi yang disusun oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi adalah langkah awal yang positif. Panduan ini menunjukkan bahwa AI tidak dilihat sebagai ancaman, tetapi sebagai peluang untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses pembelajaran.
Misalnya, AI dapat digunakan untuk memberikan umpan balik yang cepat pada tugas siswa, membantu pengajar dalam menyusun materi, atau bahkan mendukung penelitian melalui analisis data yang kompleks.
Namun, penting untuk memastikan bahwa AI tidak menggantikan peran guru atau dosen. Kehadiran manusia tetap menjadi kunci dalam pendidikan karena nilai-nilai seperti empati, kreativitas, dan etika tidak dapat sepenuhnya digantikan oleh mesin.
Guru dan dosen harus dilatih untuk memanfaatkan AI sebagai alat bantu, bukan sebagai pengganti. Dengan demikian, mereka dapat fokus pada pengembangan aspek-aspek non-teknis dari pembelajaran, seperti membangun karakter dan keterampilan sosial siswa.
Kita tidak dapat menolak hadirnya AI, tetapi kita dapat menggeser cara pandang terhadapnya. AI harus dilihat sebagai mitra yang membantu manusia mencapai potensi terbaiknya, bukan sebagai ancaman yang mengurangi peran manusia.
Sama seperti kalkulator yang kini menjadi alat bantu esensial, AI memiliki peluang untuk menjadi pendorong transformasi positif di berbagai sektor, termasuk pendidikan. Tantangannya adalah bagaimana kita, sebagai manusia, mengambil kendali dan memastikan bahwa AI digunakan untuk memajukan peradaban kita menuju era Society 5.0 yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Sebagai penutup, adaptasi manusia terhadap AI bukan hanya soal menerima kehadiran teknologi, tetapi juga memahami memanfaatkan AI secara optimal dan bertanggung jawab. Dengan pendekatan yang tepat, manusia dapat memetakan hubungan harmonis antara inovasi teknologi dan kebutuhan sosial.
Kolaborasi ini melibatkan manusia sebagai pemegang kendali utama, mengarahkan AI agar selaras dengan prinsip era society 5.0, di antaranya inklusivitas, efisiensi, dan keberlanjutan. Dengan demikian, AI dapat berkembang menjadi mitra strategis dalam membangun masyarakat yang lebih maju, sambil tetap menjaga esensi kemanusiaan dalam setiap langkah transformasi.
Disclaimer: Tulisan di atas menggunakan bantuan AI dengan beberapa adaptasi, di antaranya penyempurnaan bahasa, penyesuaian istilah, pencegahan bias topik, dan penggambaran konsep manusia sebagai meta-AI.