Kementerian PPPA: Dalam 18 Bulan Terjadi 15.000 Lebih Kekerasan Terhadap Perempuan
KPPPA dan JalaStoria mengajak jurnalis untuk ikut melakukan kampanye dan aktif dalam semua acara tersebut.
Total terjadi 15.921 kasus kekerasan terhadap perempuan
Kementerian PPPA: Dalam 18 Bulan Terjadi 15.000 Lebih Kekerasan Terhadap Perempuan
Dalam 18 bulan terakhir telah terjadi 15.921 kasus kekerasan pada perempuan.
Hal ini diungkap Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dalam acara Kick Off Meeting Kampanye Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) kerja sama KPPPA dengan Perkumpulan JalaStoria Indonesia pada Senin malam 4 September 2023.
Kick Off Meeting Kampanye Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) ini dihadiri puluhan jurnalis secara online mendapatkan informasi dan gambaran tentang isu yang krusial ini.
Data tersebut menunjukkan kalau Kampanye Penghapusan KDRT sangat penting karena pada tahun ini Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PDKRT) tepat berusia 19 tahun.
- Kementerian PPPA bersama JalaStoria Tingkatkan Upaya Kesadaran Seksual dan Perlindungan Hak Perempuan
- Kamar-Kamar Rahasia Ditemukan di Dalam Piramida Mesir, Ini Fungsinya
- Polusi Jakarta Mencekam, Menaker Siapkan Aturan Kerja dari Rumah untuk Karyawan Swasta
- Menteri Arifin Lantik Mantan Jenderal TNI jadi Pejabat Kementerian ESDM, Ini Tugasnya
UU itu harusnya sudah memberikan ruang bagi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) untuk mengupayakan akses terhadap keadilan dan pemulihan. Namun kenyataannya belum maksimal dalam hal implementasi.
Kick Off Meeting ini adalah bagian dari acara kampanye yang akan dilakukan KPPPA dan JalaStoria selama Bulan September 2023. Dalam acara tersebut jurnalis mendapatkan informasi dan gambaran tentang isu yang krusial ini.
Hadir sebagai narasumber Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan, Ibu Eni Widiyanti, S.E., MPP., M.S.E dari KPPPA dan Direktur Eksekutif JalaStoria Dr. Ninik Rahayu, S.H., M.S. Acara ini dipandu oleh Dwi Hernuningsih mantan Dewan Pengawas RRI.
Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan, Ibu Eni Widiyanti, S.E., MPP., M.S.E dalam acara tersebut menekankan kalau Indonesia Indonesia terbentuk untuk melindungi rakyatnya.
"Ada jaminan perlindungan yang terangkum di UUD 45, dan UU lainnya. Perlindungan itu setara untuk perempuan dan anak," kata Eni.
Namun, Eni mengakui kalau masih ada perempuan dan anak perempuan yang menjadi korban kekerasan.
Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPPA) mencatat data pelaporan kasus kekerasan yang terjadi saat ini, sepanjang tahun 2022 sampai dengan bulan Juni 2023 terdapat 15.921 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dengan jumlah korban 16.275 orang.
Sedangkan, untuk kasus kekerasan terhadap anak sebanyak 23.363 kasus dengan jumlah korban 25.802 orang. Berdasarkan jenis kekerasannya, kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa dengan korban berjumlah paling banyak adalah kekerasan fisik dengan jumlah 7.940 kasus, kekerasan psikis berjumlah 6.576, kekerasan seksual berjumlah 2.948 kasus, dan penelantaran sejumlah 2.199 kasus.
Berdasarkan data Simfoni PPA dari Januari-Juni 2023 menurut tempat kejadian, kasus yang paling banyak dialami adalah dalam rumah tangga (KDRT) yakni sebesar 48,04 persen (7.649 kasus) diikuti di tempat kejadian lainnya kemudian fasilitas umum, tempat kerja, sekolah dan lembaga pendidikan. Sedangkan sebanyak 60 persen (14.034 Kasus) kekerasan yang terjadi terhadap anak adalah kasus kekerasan seksual.
"Sekarang yang paling penting adalah bagaimana korban mau bicara. Sehingga mereka bisa mendapatkan bantuan dan juga pertolongan mengatasi trauma, sekaligus pelaku bisa diberikan efek jera," kata Eni.
Ditambahkan Eni, bahwa Penghapusan KDRT ini harus disosialisasikan dengan beberapa alasan, diantaranya data kekerasan masih tinggi dan UU PKDRT sudah hampir dua dekade.
Eni mengatakan bahwa kolaborasi sangat penting untuk bisa membantu kampanye penghapusan KDRT di masyarakat.
"Dukungan dari media, dengan upaya penghapusan KDRT ini menjadi upaya kolaborasi. Tanpa upaya semua pihak cita-cita untuk melindungi bangsa terutama perempuan dan anak tidak bisa dicapai," kata Eni.
Sementara itu Direktur Eksekutif JalaStoria Dr. Ninik Rahayu, S.H., M.S. menjabarkan bahwa acara Kampanye Penghapusan KDRT akan dilakukan secara berkesinambungan dalam September 2023 ini.
Selain Kick off Meeting dengan jurnalis, akan ada tiga dialog yang masing-masing akan dihadiri tokoh agama, lembaga pengada layanan dan aparat penegak hukum.
Kemudian akan ada satu pertemuan besar di ruang publik yang melibatkan masyarakat luas sebagai bagian dari kampanye implementasi UU PKDRT.
"Kita akan mendengarkan tantangan yang dihadapi aparat penegak hukum, lembaga penyedia layanan, dan juga tokoh agama dalam penyelesaian KDRT. Tiga institusi ini yang kerap didatangi korban pertama kali," kata Ninik.
Dialog dengan tokoh agama akan dilakukan tanggal 8 September 2023.
"Kami mengundang semua representasi agama yang ada di Indonesia. Kami ingin mendengar seberapa besar mereka memberi pemahaman pada publik soal KDRT juga refleksi bila didatangi korban," kata Ninik.
Dialog dengan pengada layanan akan dilakukan tanggal 12 September 2023. Dialog dengan aparat penegak hukum akan dilakukan tanggal 19 September 2023.
Dan acara puncak akan dilakukan di Plataran Sarinah Jakarta bersamaan dengan car free day pada 17 September 2023.
Tujuan dari kampanye adalah untuk mengetahui tantangan implementasi UU PKDRT baik dari pihak penegak hukum, lembaga pengada layanan dan tokoh agama.
KPPPA dan JalaStoria mengajak jurnalis untuk ikut melakukan kampanye dan aktif dalam semua acara tersebut. Kehadiran jurnalis sangatlah penting karena salah satu tugas media adalah untuk memberikan informasi dan pendidikan pada masyarakat.
Menurut Ninik masih sulitnya implementasi UU PKDRT ini tidak bisa dilihat dari satu sisi saja. Kurangnya sosialisasi dan juga tantangan dalam memberi keadilan bagi korban menjadi dua hal yang ditengarai sebagai masalah yang harus dicari solusinya.
Banyak hal yang menyebabkan KDRT begitu marak di Indonesia misalnya ketidaksetaraan gender, ketidaksetaraan dalam hubungan rumah tangga, ada masalah ekonomi, ketidakadilan sosial, kekerasan keluarga yang merupakan budaya tersembunyi, dan kurangnya pendidikan dan kesadaran tentang hak-hak individu.
Padahal KDRT ini memiliki dampak yang merugikan secara fisik, psikis dan sosial. Korban KDRT seringkali mengalami luka fisik, luka berat, trauma emosional, depresi, kecemasan, dan masalah kesehatan mental lainnya.
Kekerasan dalam rumah tangga juga dapat menyebabkan perpecahan keluarga, disfungsi keluarga, dan reproduksi siklus kekerasan pada generasi berikutnya.
"Penghapusan kekerasan KDRT ini butuh dukungan karena penegakanannya belum dipahami oleh masyarakat dan penegak hukum, sehingga butuh tetap dikampanyekan," kata Ninik Rahayu.
Ninik mengatakan ada kasus yang mencuat, namun ada juga kasus yang belum muncul. Akses untuk menyelesaikan dengan jalur hukum juga belum banyak diketahui masyarakat. Belum lagi KDRT dianggap tabu dan biasa di budaya patriarki.
"Adanya delik aduan dalam UU PKDRT di beberapa pasal juga menyebabkan kasus KDRT diselesikan secara damai," kata Ninik.