Kisah Pilu Tiga Saudara di Purbalingga Berjuang Melawan Thallasemia
Eva duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Perjuangannya menempuh pendidikan juga tak mudah. Menuju ke sekolah, ia harus berjalan kaki selama 1 jam.
Eva Tiana mengidamkan obat dan jarum tak lagi membayangi hidupnya. Sudah tujuh tahun lamanya, ia mesti bolak balik dari rumahnya di Dusun Bawahan, Desa Gunung Wuled, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga ke RS Goetheng Tanuadibrata.
Bocah berusia 13 tahun itu, saban bulan mesti transfusi darah. Saat berusia 6 tahun, Eva divonis mengidap thallasemia
-
Apa itu penyakit langka? Penyakit langka adalah penyakit yang jumlah penderitanya sangat sedikit, yaitu kurang dari lima orang dari 100.000 orang penduduk. Ada banyak jenis penyakit langka yang telah diidentifikasi, yang sebagian besar bersifat genetik, kronis, dan mengancam jiwa.
-
Kapan Purnawarman meninggal? Purnawarman meninggal tahun 434 M.
-
Apa itu penyakit lambung? Penyakit lambung merupakan masalah kesehatan yang umum terjadi di masyarakat, memengaruhi kualitas hidup dan kesejahteraan banyak individu.
-
Kapan batuk perlu diwaspadai sebagai gejala penyakit paru? Namun, batuk yang berlangsung lama bisa jadi pertanda adanya masalah pada paru-paru yang memerlukan perhatian medis agar tidak berkembang menjadi komplikasi yang berbahaya
-
Mengapa Pilkada penting? Pilkada memberikan kesempatan kepada warga negara untuk mengekspresikan aspirasi mereka melalui pemilihan langsung, sehingga pemimpin yang terpilih benar-benar mewakili kehendak dan kebutuhan masyarakat setempat.
-
Bagaimana cara mencegah penyakit lambung? Dengan pemahaman lebih mendalam tentang kondisi ini, diharapkan masyarakat dapat mengambil langkah-langkah preventif untuk menjaga kesehatan sistem pencernaan mereka dan meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan.
Dalam lubuk hati, Eva ingin seperti teman-teman sebayanya. Beraktivitas tanpa ketergantungan pada obat.
"Ingin sekolah secara normal seperti anak-anak yang lain. Saya sering bolos karena sakit," kata Eva, Minggu (21/6).
Eva duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Perjuangannya menempuh pendidikan juga tak mudah. Menuju ke sekolah, ia harus berjalan kaki selama 1 jam.
Kondisi ekonomi keluarga, tidak memungkinkan bagi Eva untuk memanfaatkan jasa pengojek di kampungnya.
Giseroseni, ibu Eva berusia 47 tahun. Sehari-hari, ia dan suaminya, Sunarso, bekerja sebagai buruh tani serabutan. Pendapatan keluarga, kata Giseroseni, hanya cukup untuk makan.
"Sisa uang kami kumpulkan agar bisa membayar ojek ke rumah sakit. Itupun kadang-kadang tidak langsung dibayar, nunggu ada uang lagi," kata Giseroseni.
Meski untuk tranfusi gratis, namun biaya transport ke rumah sakit acapkali jadi kendala. Tak jarang, demi kesembuhan anaknya, Giseroseni berhutang.
"Dulu pernah beberapa kali diantar oleh Baznas, tapi kadang bisa kadang tidak. Apalagi ditambah sekarang masa pandemi jadi lebih susah," imbuhnya.
Di lingkungan keluarga ini, Eva tak sendirian mengidap thallasemia. Dari empat buah hati pasangan Giseroseni dan Sunarso (47), tiga anak mengidap thallasemia. Anak pertama Sumiarti (26), mengidap penyakit tersebut ketika berusia 12 tahun. Sedang anak kedua, Keriyani (25) mengidap thallasemia sejak berusia 14 tahun.
Giseroseni bercerita, kediaman mereka yang terpelosok membuatnya cukup kesulitan untuk mengetahui sejak awal jenis penyakit yang diderita oleh anak-anaknya. Baru setelah ke RS Goeteng, ia mengetahui, bahwa thalasemia yang kerap membuat anak-anaknya mengeluh lemas.
Sumiarti, si anak sulung, pernah merasa dijauhi teman-temannya karena takut akan tertular penyakitnya. Selain itu ia kerap mendapat cibiran ketika perutnya membuncit. Teman-temannya pernah mengira ia sedang hamil.
Aktivitas sehari-hari Sumarni, menyulam bulu mata palsu yang populer disebut mengidep di Purbalingga. Meski uang yang ia peroleh tak seberapa, kegiatan ini baginya dapat mengisi kegiatan di rumah. Pasalnya, kondisi kesehatannya tak memungkinkan bagi Sumari untuk bekerja diluar rumah.
Ia dan adiknya, Keriyani, mesti berhenti sekolah karena sering alami sakit-sakitan.
"Memang tidak melanjutkan lagi karena tidak ada biaya," katanya.
Problem lain yang dialami keluarga ini di masa pandemi covid-19, mereka kesulitan untuk transfusi darah. Pasalnya, jumlah stok darah di rumah sakit berkurang.
"Biasanya dapat 2-3 kantong, kalau sekarang paling 1 kantong, itupun kalo ada semua. Kalau nggak ada ya gantian transfusinya," kata Sumarni sembari membereskan bulu mata palsu hasil kerjaannya.
(mdk/rhm)