Macam-macam ritual yang digelar memperingati malam satu suro
Ritual tersebut menjadi sebuah tradisi yang sangat sakral bagi para pemeluk agama Islam di tanah Jawa.
Dalam merayakan hari pergantian tahun, masyarakat biasanya melakukan hal-hal yang identik dengan kemeriahan dan juga penuh dengan hura-hura, seperti pesta kembang api, keriuhan tiupan terompet dan berbagai macam hiburan lainnya. Namun berbeda dengan malam pergantian tahun Islam atau biasa disebut malam satu suro.
Peringatan malam satu suro atau tahun baru Islam (1 Muharram) biasa diperingati pemeluk agama Islam di tanah Jawa dengan berbagai macam tradisi ritual. Ritual tersebut menjadi sebuah tradisi yang sangat sakral bagi para pemeluk agama Islam di tanah Jawa, seperti tirakatan dan cuci pusaka (ngumbah pusaka) seperti keris dan sebagainya.
Selain dua ritual itu, sebenarnya masih banyak ritual lain yang digelar di kalangan masyarakat Jawa ini. Namun merdeka.com, bakal menyarikan lima ritual saja yang digelar tepat malam satu suro. Berikut ini ritual-ritual itu:
-
Apa yang diikuti Ganjar Pranowo di Malam Satu Suro? Pada Selasa (18/7) malam, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengikuti prosesi Kirab Pusaka Dalem Praja Mangkunegaran, Kirab itu dilaksanakan untuk menyambut malam 1 Sura Jimawal 1957 atau tahun baru dalam kalender Jawa.
-
Siapa Suguru Geto? Suguru Geto adalah seorang mantan penyihir yang berbalik menjadi penjahat. Dia memiliki kekuatan untuk mengendalikan kutukan, makhluk-makhluk gaib yang menyerang manusia.Dia ingin membunuh semua manusia yang tidak memiliki kekuatan sihir dan menciptakan dunia baru bagi kutukan.
-
Bagaimana Sertu Sarijo berjualan sate? Saya dan istri mempersiapkan bahan-bahannya dari rumah lalu saya keliling," sambungnya.
-
Apa itu Surat Batak? Aksara Batak ini biasa disebut dengan Surat Batak atau Surat na Sampulu Sia yang artinya kesembilan belas huruf atau bisa juga disebut Si Sia-sia.
-
Siapa Suparna Sastra Diredja? Sosok ini bergerak masif di bawah tanah untuk mengajak rakyat melawan penjajah. Suparna Sastra Diredja menjadi sosok heroik yang membela rakyat Indonesia hingga akhir hayat.
-
Kapan surat itu ditulis? "P.J Féret, penduduk Dieppe, anggota dari berbagai komunitas intelektual, melakukan penggalian di sini pada Januari 1825. Dia melanjutkan penyelidikannya di daerah yang luas ini yang dikenal dengan nama Cité de Limes or Caesar’s Camp."
Cuci keris (ngumbah keris)
Keris, sebuah senjata pusaka yang sangat erat kaitannya dengan tradisi masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa dikenal dengan senjata andalannya yaitu keris yang kerap digunakan sebagai jimat.
Banyak sekali nama-nama keris Jawa yang cukup terkenal, misalnya keris Mpu Gandring sebuah keris yang dimiliki oleh Ken Arok yang kemudian menjadi Raja Singosari yang pertama. Keris Kyai Sengkelat, keris Nogososro Sabuk Inten dan kerisâkeris lain yang mungkin dinamakan sesuai dengan pembuatnya.
Di malam satu suro salah satu ritual paling popular adalah ngumbah keris (membersihkan keris). Ritual ini adalah tradisi mencuci/membersihkan keris pusaka bagi orang yang memilikinya. Dalam tradisi masyarakat Jawa, ngumbah keris menjadi sesuatu kegiatan spiritual cukup sakral.
"Kenapa tiap malam satu Suro kebanyakan orang Jawa atau para kolektor pusaka selalu 'ngumbah gaman/kersi' miliknya? Karena seperti yang saya jelaskan, bahwa 1 Muharram adalah malam penuh keramat, malam penuh dengan kekuatan magis. Karena pusaka-pusaka itu juga dikeramatkan, makanya perlu dirituali di malam 1 Suro, agar kekuatan gaibnya bertambah," kata Sugiman, seorang kolektor pusaka asal Sidoarjo.
Kirab koleksi benda pusaka Keraton Surakarta
Selain cuci pusaka, di Keraton Surakarta terdapat sebuah tradisi yang mewajibkan untuk meng-kirab koleksi pusaka yang merupakan peninggalan dari Dinasti Kerajaan Mataram. Kirab pusaka tersebut diperuntukkan khusus menyambut tahun baru dalam penanggalan Jawa yang disebut 'Tahun Sultan Agungan' yang jatuh pada 1 Suro 1948 atau 25 Oktober 2014.
Dalam setiap tahunnya, Keraton Surakarta meng-kirab sejumlah pusaka yang berbeda-beda. Tahun ini sebanyak 11 pusaka dikirab pada malam 1 Suro, Jumat (24/10) malam. Jumlah pusaka yang dikirab tersebut sedikit lebih banyak dibanding kirab tahun sebelumnya yakni 9 pusaka. Namun pusaka apa saja yang akan dikirab, Keraton Surokarta enggan mengungkapkannya.
"Pusaka di keraton itu banyak sekali, ada ratusan. Kita belum tahu apa yang akan kita kirab, semua tergantung situasi dan kondisi nanti," ujar Wakil Pengageng Sasono Wilopo Keraton Solo, Kanjeng Pangeran (KP) Winarno Kusumo, kepada wartawan, Kamis (23/10).
Lebih lanjut Winarno mengemukakan, sebelum kirab pusaka dilakukan, akan diawali dengan khol (peringatan hari wafat) Paku Buwono (PB) X yang ke 72, di Bangsal Maligi keraton dengan tahlilan, lalu dilanjutkan persiapan kirab. Mulai dari menyiapkan petugas pembawa pusaka dan kerbau Kiai Slamet. Kemudian pukul 23.30 WIB pusaka yang terdiri dari tombak dikeluarkan dari keraton untuk dikirab.
Nonton wayang kulit semalam suntuk
Tradisi dan warisan budaya Jawa ini tak pernah lepas dari tiap momen penting, khususnya adat di Yogyakarta. Apalagi malam Satu Suro di kawasan pantai selatan dengan segala macam pernak-pernik mistisnya. Dalam memperingati malam Satu Suro, biasanya warga kerap melakukan lek-lekan atau melek semalam suntuk. Dan ritual ini menjadi sebuah media agar warga yang memperingati Malam Satu Suro tidak mengantuk.
Biasanya pada Malam Satu Suro, pertunjukkan wayang kulit akan dijubeli oleh ratusan pengunjung. Para pedagang pun ikut mengambil untung dari adanya pertunjukkan wayang kulit ini, sehingga Malam Satu Suro menjadi sebuah ritual yang bisa mendatangkan rezeki tersendiri bagi sebagian kalangan seperti pedagang.
Kirab Kebo Bule di Keraton Surakarta
Kirab Kebo Bule ini merupakan ritual Keraton Kasunanan Surakarta. Kirab ini Kebo Bule ini juga digelar saban malam satu Suro, di mana sekawanan kerbau (kebo) yang dipercaya keramat, yaitu Kebo Bule Kiai Slamet. Konon kerbau ini bukan sembarang kerbau.
Dalam buku Babad Solo karya Raden Mas (RM) Said, leluhur kebo bule adalah hewan klangenan atau kesayangan Paku Buwono II. Maka dari itu, kebo bule ini dianggap sebagai pusaka keraton. Adapun kirab itu sendiri berlangsung tengah malam, tergantung 'kemauan' dari kebo Kyai Slamet.
Uniknya, dalam kirab ini, orang-orang sekitar Keraton akan berjalan mengikuti kirab. Mereka saling berebut dan berusaha menyentuh tubuh kebo bule. Tak cukup menyentuh, bahkan orang-orang tersebut terus berjalan di belakang kerbau, menunggu sekawanan kebo bule buang kotoran. Bila kotoran jatuh, mereka saling berebut mendapatkannya.
Orang-orang itu beranggapan bahwa kotoran tersebut sebagai tradisi ngalap berkah, atau mencari berkah Kiai Slamet.
Mubeng beteng di Keraton Yogyakarta
Tidak hanya Surakarta, di Yogyakarta juga kerap melakukan ritual yang mewajibkan untuk mengkirab pusaka milik Sultan Hamengkubuwono. Di Istana Sultan Hamengkubuwono, setiap malam Satu Suro digelar acara mengarak benda pusaka mengelilingi benteng keraton yang diikuti oleh ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya.
Selama melakukan ritual mubeng beteng tidak diperkenankan berbicara seperti halnya orang sedang bertapa. Inilah yang dikenal dengan istilah tapa bisu mubeng beteng.
Tirakatan
Ritual lain yang kerap dilakukan saat Malam Satu Suro adalah Tirakatan. Tirakat diambil dari kata 'Thoriqot' atau Jalan, yang dimaknai sebagai usaha mencari jalan agar dekat dengan Allah.
Tirakatan ini digelar setiap malam satu Suro oleh kelompok-kelompok penganut aliran kepercayaan Kejawen yang masih banyak dijumpai di pedesaan. Mereka menyambut datangnya tahun baru Jawa dengan tirakatan atau selamatan.
Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada. Eling artinya manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan di mana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan.
Tapa Bisu
Ritual lain adalah Tapa Bisu atau mengunci mulut. Sesuai namanya, Ritual ini dilakukan dengan cara diam tanpa mengeluarkan sedikitpun suara ataupun kata-kata selama ritual berjalan. Ritual ini juga bisa dimaknai sebagai upacara untuk mawas diri, berkaca pada diri atas apa yang dilakoninya selama setahun penuh. Selain itu, ini dilakukan untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi tahun baru di esok paginya.
Selain untuk introspeksi diri, tradisi Tapa Bisu yang di lakukan di kota Yogyakarta ini dilakukan untuk memohon perlindungan dan keselamatan kepada Allah SWT dengan harapan diberikan yang terbaik untuk Kota Yogyakarta dalam tahun baru Islam.