Mahasiswa Universitas Brawijaya temukan alat penyaring udara kotor
Kegunaan alat tersebut secara otomatis akan menyedot udara kotor atau polusi yang terdeteksi di udara.
Lima mahasiswa Universitas Brawijaya Malang menemukan sebuah alat yang berfungsi sebagai penyaring udara kotor. Alat itu diberi nama Automatic Sedot Asap Polusi (ASAP).
Para mahasiswa tersebut adalah Bagus Prasetyo, Hedy Pamungkas, Rafi Fajar Hidayat, Fungky Pandu Fantara dan Yandra Charlos. Mereka tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Komputer Universitas Brawijaya jurusan Sistem Komputer angkatan 2014.
Kegunaan alat tersebut secara otomatis akan menyedot udara kotor atau polusi yang terdeteksi di udara. Tiga sensor di dalamnya akan berfungsi mendeteksi asap, karbon monoksida dan suhu udara.
Setelah mendeteksi adanya polusi dalam udara, alat akan aktif menyedot udara kemudian menyaringnya dalam empat tahapan penyaringan.
"Pertama penyaringan dilakukan dengan busa yang kerapatannya cukup renggang, dilanjutkan dengan pre-filter, lalu ada pre-carbon-filter dan yang terakhir disaring dengan carbon yang tingkat kerapatannya tinggi serta memiliki fungsi menghilangkan bau," jelas Bagus, Sabtu (27/2).
Alat tersebut juga dirancang dengan konsep ramah lingkungan dengan memanfaatkan panel tenaga surya sebagai sumber tenaga penggerak. Selain itu, juga memiliki kemampuan menganalisa kualitas udara yang telah disaring.
Data kualitas udara kemudian dikirimkan ke internet untuk dapat diakses oleh masyarakat luas. Lewat internet, pengguna atau masyarakat dapat mengetahui kadar polusi sebelum dan sesudah dilakukan penyaringan.
Bagus dan kawan-kawan telah membuat software untuk mengakses hasil data analisa dalam berbagai platform. Data tersebut bisa tersaji dalam bentuk website, aplikasi mobile Android dengan nama ASAP apps, dan juga Twitter for ASAP.
Ide ASAP bermula dari melihat bencana kabut asap yang terjadi hampir setiap tahun. Mereka ingin mencari solusi dari polusi yang ditimbulkan.
Karya tersebut telah mengantongi juara 1 kategori hardware di Blue Techno Festival di Bandung, Februari 2016. Mereka bersaing dengan 16 tim dari berbagai universitas di Indonesia.
"Awalnya tidak menyangka akan mendapatkan juara 1. Kami tadinya hanya berpikir untuk sekedar mencari pengalaman sebelum mengikuti kompetisi yang lebih besar," katanya.