Mengupas Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan, Ciptakan Ruang Intelektual yang Aman
Tujuan akhir yang ingin kita capai melalui UU TPKS ini adalah memberikan kepentingan terbaik untuk korban.
Belakangan kian marak kekerasan seksual di perguruan tinggi
Mengupas Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan, Ciptakan Ruang Intelektual yang Aman
Belakangan semakin marak terjadi kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Korban semakin berani 'speak up' membeberkan perlakuan tak senonoh dari seseorang yang seharusnya mencerdaskan anak bangsa.
Tindakan kekerasan seksual di kampus melibatkan pelaku dari berbagai profesi seperti dosen, tenaga kependidikan, pejabat perguruan tinggi, dosen pembimbing skripsi dan thesis dan di kalangan mahasiswa dan mahasiswi sendiri.
- KPAI Inginkan Pendidikan Seksual Diajarkan Sejak Dini Sebagai Upaya Perlindungan Anak
- UGM Jelaskan Kasus Pelecehan Mahasiswi Terjadi 2016, Kakak Wamenkum HAM Baru Diberhentikan di 2022
- Heboh Pengurus BEM Lecehkan Mahasiswi Baru, Ini Penjelasan UNY
- BEM Bongkar Pelecehan Seksual di Kampus UI: 40 Mahasiswa hingga Dosen Jadi Korban, Pelaku 30
Lokasi kejadian juga bisa terjadi saat proses belajar-mengajar, unit kegiatan mahasiswa, bimbingan, dan kuliah kerja nyata.
Menurut survei Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi tahun 2020, tercatat 27 persen dari keluhan kekerasan seksual dilaporkan berasal dari perguruan tinggi.
Upaya untuk mengatasi masalah ini telah ditempuh oleh berbagai pihak diantaranya dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
UU TPKS ini adalah bukti kehadiran Negara bagi perempuan dan juga anak korban kekerasan seksual.
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menggandeng banyak pihak untuk melakukan advokasi, edukasi dan sosialisasi UU TPKS diantaranya melalui kegiatan dialog interaktif.
Sebagai bagian dari Kampanye Terpadu Nasional 'Pahami UU TPKS: Panggilan Aksi dan Kolaborasi Menyeluruh untuk Melawan Kekerasan Seksual,' Kemen PPPA bersama Radio Republik Indonesia dan komunitas Rahasia Gadis menyelenggarakan Dialog Interaktif 'Mewujudkan Ruang Intelektual yang Bebas Kekerasan Seksual.'
Acara ini dihadiri oleh Ratna Susianawati, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Antik Bintari, Dosen FISIP Universitas Padjadjaran sekaligus Ketua Satgas PPKS Universitas Padjadjaran; serta Adelle OdeliaTanuri dan Dhika Himawan, Co-Founder komunitas perempuan terbesar di Indonesia, Rahasia Gadis.
Ketua Satgas PPKS Universitas Padjadjaran, Antik Bintari menjelaskan bahwa tingginya tingkat kekerasan seksual di perguruan tinggi menuntut respons strategis. Penerbitan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 yang memerintahkan pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) di setiap perguruan tinggi adalah langkah penting.
"Satgas PPKS berperan sebagai garda terdepan dalam mewujudkan kampus bebas kekerasan dan sangat penting dalam penanganan korban, perlindungan, dan pemulihan mereka. Sinergi antara Satgas PPKS dan berbagai pihak terkait adalah kunci untuk mengatasi tantangan dalam menangani kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi," kata Antik Bintari, Jumat (6/10).
Langkah-langkah progresif dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus semakin kuat dengan implementasi UU TPKS, yang bertujuan memberikan keadilan dan melindungi korban.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Kemen PPPA Ratna Susianawati, menekankan peran semua pihak dalam memastikan suksesnya sosialisasi dan implementasi UU TPKS serta Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021.
"UU TPKS sebagai payung hukum yang komprehensif yang menjadi jawaban dalam memastikan pemenuhan hak korban kekerasan seksual. Tujuan akhir yang ingin kita capai melalui UU TPKS ini adalah memberikan kepentingan terbaik untuk korban," kata Ratna.
Kolaborasi menjadi kunci utama dalam melakukan langkah-langkah preventif terkait kekerasan seksual. Ratna menegaskan bahwa hulu hilir dalam upaya pemberantasan atau penurunan tingkat kekerasan seksual perlu dipastikan melalui kerja-kerja kolaboratif, termasuk dalam memberikan pemahaman, edukasi tentang dampak dari TPKS.
Seluruh masyarakat, termasuk komunitas perempuan dan individu, harus aktif dalam memberikan edukasi, membuka pos-pos pengaduan, mempromosikan zero tolerance terhadap kekerasan seksual, dan memberikan dukungan kepada korban untuk pulih dari trauma.
"Korban kekerasan seksual sering kali takut melaporkan atau bahkan tidak menyadari bahwa mereka telah menjadi korban. Kami harus mendengarkan dan mendukung mereka tanpa menghakimi. Dengan dukungan, korban dapat pulih dan menyadari kekuatannya,"
kata Adelle Odelia Tanuri, Co-Founder Rahasia Gadis.
Dhika Himawan, sebagai Co-Founder Rahasia Gadis, menekankan pentingnya sosialisasi edukasi, memberikan pemahaman terkait kekerasan seksual serta membuka ruang-ruang bagi korban untuk melaporkan apa yang telah dialami dengan jaminan keamanan bagi korban.
Selain itu, co founder komunitas dengan pengikut 3,3 juta follower tersebut meminta dukungan bagi korban dan memahami kerentanan yang mereka alami.
Dengan semakin banyaknya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi, keterlibatan aktif seluruh masyarakat dalam melaporkan kejadian tersebut melalui call center Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 dan WhatsApp 08-111-129-129 sangat diperlukan.